Bab 15 — Kembali Berkunjung

2039 Words
"Kamu sakit?" Ratu mendengar suaranya Sukma yang serak saat mengangkat teleponnya. Mereka memang terus berkomunikasi via chat atau telepon. Ratu awalnya ingin mengajak Sukma nongkrong di luar rumah, sambil mengerjakan skripsi. "Iya, sejak kemarin." "Sakit apa? Udah berobat belom?" "Demam dan bapil. Aku belom berobat, di rumah aja." "Kenapa nggak berobat? Nggak ada yang antar kah? Abangmu sibuk?" Ratu khawatir, pasalnya Sukma satu-satunya perempuan di rumah itu. Ayah dari perempuan itu tak bisa apa-apa, sang adik bekerja dan pulang menjelang sore. Dan kakak dari perempuan itu yang sibuk bekerja jarang ada di rumah. "Nggak kenapa-napa. Nanti juga sembuh sendiri." "Aku ke sana sekarang, ya?" Ratu langsung ingin menjenguk ke sana. Ratu prihatin dengan kehidupan perempuan itu, meski mereka belum lama saling mengenal. "Kamu mau dibawain apa? Nanti aku antar berobat juga." "Nggak mau repotin kamu, Tu. Kalau mau ke sini, nggak apa-apa ke sini aja. Enggak usah repot bebawaan segala." "Hmmm. Ya udah, aku mandi bentar dan habis itu langsung ke sana." Ratu tanpa berpikir panjang berniat ke rumah itu lagi. Mau gimana? Ratu paling tak tega jika ada teman yang kehidupannya memprihatinkan begitu. Ratu adalah sosok orang yang sangat peduli dengan temannya, apa lagi Sukma dianggapnya sebagai teman baru yang cukup dekat saat ini. Jam segini, si Aditya itu pasti enggak ada di rumah, 'kan? Waktu itu dia pulangnya kan pas udah mau sore. Kata Sukma juga, dia jarang banget pulang jam segitu. Biasa pulang malam terus. Ratu hendak bertanya kepada Sukma, tapi sungkan. Kesannya dia ke sana setelah memastikan di rumah itu tidak ada Aditya. Beberapa saat kemudian, Ratu pun telah mandi dan rapih. Dia menuruni tangga dan mendapati Zee, mamanya itu tengah duduk santai di sofa ruang tengah dengan ponsel di tangannya. Zee menoleh ketika melihat sang anak yang baru saja menuruni tangga terakhir. "Mau ke mana, Tu?" tanya Zee saat Ratu menghampirinya. Pasalnya belum ini ditanya saat sarapan, Ratu bilang tak ke mana-mana hari ini. Di rumah saja mengerjakan skripsi dan rebahan. "Katanya tadi nggak ke mana-mana hari ini." "Mau ke rumahnya teman, Ma." Ratu menyalami sang mama, hendak pamit pergi. "Ke rumah Vika?" "Bukan. Temanku yang lain lagi." Ratu punya banyak teman sebenarnya, tapi yang dia anggap layaknya saudara sedekat nadi, hanya Vika seorang. "Teman yang mana?" Zee mengernyit. Biasanya Ratu itu selalu bilang nama temannya jika ingin pergi atau sang teman yang akan main ke rumah. "Oh iya, belum cerita sama mama, ya?" Ratu menunda sejenak keluar rumah. Dia mendudukkan diri dulu di sebelah Zee. "Jadi, aku punya teman baru, Ma." Ratu memang mudah bergaul dengan siapa pun, Zee tahu sekali bagaimana anaknya itu. Tak jauh betbeda darinya waktu dulu. "Siapa teman baru kamu?" Zee tak pernah menganggap rendah semisalkan ada temannya Ratu yang berasal dari keluarga biasa, contoh nyatanya adalah Vika. Temannya Ratu satu itu yang sangat disayang oleh Zee layaknya anak sendiri. Mengalirlah cerita dari mulutnya Ratu. Dia meminta maaf kepada mamanya karena kemarin ini tak cerita jika dirinya tak sengaja menyenggol motor seseorang, di hari yang sama dengan kecelakaan yang dialami adiknya Vika. "Tapi beneran nggak ada luka serius orang itu?" "Enggak ada, Ma. Aku udah pastiin banget. Dan setelah itu, kami berdua menjadi dekat. Yang awalnya aku hanya tanya gimana keadaan lukanya, terus jadi bahas apa aja. Mungkin karena kami seumuran kali, ya?" Zee tersenyum. "Tapi orang tuanya nggak marah sama kamu, 'kan?" "Enggak kok, Ma. Aku ketemu ayahnya waktu habis nganterin dia dari klinik waktu itu, udah minta maaf juga. Kasihan kehidupannya, Ma, udah nggak ada lagi ibunya. Dia cuma tinggal sama ayahnya yang lumpuh, dan sama kakak dan adeknya juga. Dia itu cewek sendirian di rumah itu yang sehari-harinya nggak mikirin kuliah aja. Dia harus ngerjain tugas rumah." "Di-dia... dari keluarga nggak mampu?" "Nggak miskin-miskin banget sih, Ma. Nggak jauh berbeda dari Vika. Dia punya abang, terus abangnya ini yang menanggung segala kebutuhan keluarganya. Dan kebetulan, abangnya ini dosen pembimbing skripsiku." "Kasihan sekali ya, Tu?" Zee prihatin mendengar ceritanya Ratu. "Kapan-kapan kamu ajakin dia main ke sini deh! Kenalin sama mama." Ratu itu menjadikan Zee sebagai role modelnya. Zee yang biar pun gaul di usia yang tak lagi muda, tetapi rasa kemanusiaan sang mama begitu tinggi. Mamanya sangat baik kepada siapa pun tanpa memandang status sosial. "Iya, Ma. Aku kemarin ini udah ajakin, sih, tapi belum sempat aja dianya. Dan barusan aku teleponan, katanya lagi sakit. Ya udah, aku mau ke sana jenguk, sekalian mau ajakin berobat." "Jangan lupa bawain buah atau apa gitu, ya!" "Siap!! Nanti aku beli-beli dulu sebelum ke sana. Dah, aku berangkat dulu ya, Ma?" "Iya. Hati-hati bawa mobilnya!" Ratu mengangkat jempolnya. Ratu itu sangat-sangat bersyukur, memiliki keluarga cemara. Orang tua masih lengkap dengan materi yang tak kurang, serta kasih sayang melimpah yang mungkin diimpikan banyak anak. Meski kedua orang tuanya merupakan pebisnis, Ratu tak kekurangan kasih sayang sedikit pun. Mereka sekeluarga sering family time, traveling ke mana pun. Vika pun juga sering diajak oleh keluarganya Ratu. *** Ratu mampir ke swalayan sejenak sebelum ke rumahnya Sukma. Dia tak hanya membeli buah, tetapi ada banyak yang lainnya juga seperti roti, biskuit, s**u, yoghurt, dan juga beberapa frozen food. Ada sekitar 3 kantong belanjaan. Jam 12 siang Ratu tiba di rumahnya Sukma. Dia tak melihat ada motornya Aditya di sana. Ratu legah. Dia membuka sabuk pengaman, lalu membuka pintu di belakang kemudi untuk mengambil barang belanjaannya. Pagar sederhana di depannya terbuka dan Ratu langsung masuk menyicil barang bawaanya. Dia bawa dua kantong dulu, lalu ditaruh di depan pintu rumah yang tertutup. Kemudian, dia kembali lagi mengambil satu kantong belanjaan lagi sembari mengunci mobilnya. Ratu mengetuk pintu dan tak lama muncul Sukma yang tampil dengan piyama sederhana, tampak begitu pucat mukanya. "Pucet banget kamu, Suk." Sukma tersenyum tipis. "Yuk masuk!" Lalu, matanya menangkap beberapa kantong di depannnya. Yang Ratu pegang dua kantong tersebut. "Bawa apa itu? Ah, kamu repot-repot banget." "Enggak apa-apa, ih! Kan sesekali aja. Kamu lagi sakit, pasti nggak selera makan, 'kan? Makanya, aku bawain ini semua." "Aku seharusnya enggak bilang kalau sakit." "Ih, jangan begitu." Ratu melangkah masuk mengikuti Sukma. "Sebentar, aku ambil satu kantong lagi. Kamu duduk aja di kursi sana." Sudut bibir Sukma terangkat memperhatikan gerak-gerik teman yang baru dikenalnya itu. Perempuan itu baik sekali. Tak hanya memiliki paras yang cantik, tetapi sifatnya juga tak kalah cantik. Sejak kenal hingga hari ini, Ratu terlihat begitu tulus. Itu terpancar dari wajahnya, tanpa dibuat-buat. Bagaimana gestur tubuh dan raut wajah Ratu ketika berbicara, Sukma memperhatikan itu semua. Sukma begitu mengagumi sosok teman barunya itu. "Dah." Ratu meletakkan semua kantong belanjaan itu di depan TV. "Kamu mau makan apa? Pasti nggak selera makan kalau lagi sakit begini, ya?" Sukma mengangguk. "Tadi pagi abang beliin bubur sebelum ke kampus, tapi cuma kemakan beberapa sendok aja." “Kamu minum obat apa, gitu?” “Udah. Semalam abangku beliin.” Tangannya Ratu terulur menyentuh keningnya Sukma. Panas sekali kening perempuan itu. Sukma demam tinggi. “Makan lagi, ya? Mau roti, sereal atau biskuit nggak?” Sukma menggeleng lemah. “Entar aja, Tu.” “Aku potongin buah aja, mau? Eh, ini aku boleh ke belakang nggak? Aku beli frozen food dan mau taro makanan-makanan ini.” “Boleh.” Sukma tersenyum tipis. “Baik sekali kamu, Tu. Padahal kita belum lama saling mengenal.” “Memangnya harus lama kenal dulu, baru berbuat baik?” Ratu terkekeh kecil. “Oh ya, Suk, ayah kamu ada?” Sukma cerita, kadang sesekali ayahnya minta di antar ke rumah kakaknya yang perempuan di bawah Aditya persis. Itu jarang tapinya. “Ada di kamar, ayah kan emang jarang-jarang keluar. Paling nanti keluar pas mau makan.” “Ya udah, aku bawa ini ke belakang, ya? Aku izin masuk-masukin ke dalam kulkas juga. Kamu sanderan aja di kursi, kalau nggak di kamar tiduran aja biar nyaman. Enggak pusing. Nanti aku ke sana, setelah potong buah.” “Iya.” “Eh, apa aku pesan buat makan siang dulu, ya? Kan lumayan lama nunggunya.” Ratu mengurungkan niatnya untuk ke belakang sejenak. “Mau makan apa yang kira-kira kemakan sama kamu? Sekalian buat ayah kamu juga.” “Aku nggak enak repotin kamu. Biar aku pesan sendiri aja.” “Biarin aku yang pesan, nggak apa-apa sesekali.” Ratu meraih ponselnya, membuka aplikasi untuk delivery makanan. “Ada nasi nggak? Kalau nggak, sekalian aku pesanin juga.” “Abang tadi masak nasi.” “Oke-oke. Aku pesan lauknya aja, ya? Buat sayur, mau capcay nggak?” “Boleh.” “Lauk lainnya, mau apa? Ikan mau nggak?” “Terserah aja. Tapi kamu makan di sini juga, ‘kan? Nemenin aku? Kamu nggak buru-buru pulang, ‘kan?” “Iya, aku makan di sini juga. Yap, aku nanti mau ajakin kamu berobat juga. Mau, ya ya ya? Biar cepat sembuh.” *** Tak ada jadwal mahasiswa yang bimbingan hari ini, Aditya langsung pulang setelah mengajar. Dia tak ke bengkel hari ini, karena adiknya sakit sejak kemarin. Adik perempuannya yang biasa mengerjakan tugas di rumah dan juga memasak. Yang tak pernah mengeluh lelah padanya. Namun, Aditya suka ikut berpartisipasi mengerjakan tugas rumah juga di waktu luangnya. Maklum, Aditya jarang sekali memiliki waktu yang benar-benar luang. Hampir tiba di dekat rumah, Aditya baru ingat jika dia belum membeli lauk. Adiknya tak memasak dan dia pun tak sempat juga karena harus segera ke kampus. Aditya hanya memasak nasi tadi. Aditya pun menuju salah satu rumah makan. Sebelum turun dari motornya, dia pun menghubungi sang adik ingin bertanya lauk yang ingin dibeli. “Mau makan apa kamu, Suk? Sekalian tanyain ayah, mau makan apa.” “Nggak usah, Kak. Udah pesan lauk barusan banget, nunggu nyampe aja.” “Ooh… kamu yang pesan? Ada saldo emangnya?” “Bukan aku yang pesan, tapi Ratu.” Aditya mengernyit. “Ratu?” “Ratu ke sini jengukin aku. Belum lama nyampenya. Dia bawa buah dan lain banyak buat aku, terus barusan mesenin lauk juga.” Perempuan itu ternyata berkunjung lagi ke rumahnya. “Berarti abang nggak usah beli lagi?” “Nggak usah. Ratu pesan banyak barusan lauknya. Dia makan di sini juga.” “Ooh. Ada yang mau kamu titip sama abang?” “Enggak ada, sih. Abang langsung pulang atau ke bengkel?” “Langsung pulang. Enggak ke bengkel hari ini.” “Oke-oke.” Tak jadi memasuki rumah makan di depannya, Aditya pun melajukan motornya kembali. Tak lama, dia tiba di rumah dan mendapati mobilnya Ratu terparkir di depan rumahnya. Perempuan itu baik dan perhatian sekali kepada adiknya. Aditya heran. Aditya membawa helmnya masuk pada pintu yang terbuka. Dia tak mendapati sosok siapa pun saat memasuki rumah, lalu membuka sepatunya. Sepertinya semua orang tengah berada di dalam kamar. Usai membuka sepatunya, Aditya meletakkan ranselnya di atas kursi. Dia akan ke kamar mandi dulu sebelum masuk ke kamar dan berganti pakaian. Baru saja menuju area dapur, langkah kakinya terhenti melihat Ratu yang tengah mengupas sebuah mangga. Ratu yang baru menyadari kehadiran lelaki itu, tampak terkejut. Dia meringis kesakitan, pisau yang digunakannya tak sengaja melukai tangannya hingga berdarah. Mungkin karena dia kaget melihat Aditya, dengan pisau yang bergerak refleks. “Hati-hati.” Aditya langsung mendekat. Lelaki itu mengambil alih pisau dan mangga dari tangan Ratu. Setelahnya, meraih jemari tangan perempuan itu ke wajahnya. Aditya langsung menghisap luka di tangan perempuan itu, lalu membuang ludahnya di wastafel. Ratu terdiam kakuh. Terlalu terkejut hingga speechless. Diam saja terhadap apa yang Aditya lakukan. Tetapi, memperhatikan bagaimana wajah lelaki itu dari jarak yang sangat dekat. Dekat sekali… nyaris tak berjarak. “Bentar, saya ambilkan dulu plester.” Ratu hanya mengangguk, tanpa mampu bersuara. Jantungnya tiba-tiba berdegup dengan sangat kencang. Dia tak bergerak sedikit pun, hingga Aditya cepat kembali lagi dengan sebuah plester di tangannya. Lelaki itu memasangkan plester tersebut pada jemari Ratu yang terkena pisau. “Lain kali, hati-hati. Kalau nggak pernah melakukan itu di rumah, enggak usah sok-sok’an. Udah, biar saya aja yang lanjut motongin.” Enggak usah sok-sok’an katanya? Raut wajahnya Ratu langsung berubah. Dia akui kalau baru saja terpana sesaat dengan apa yang dilakukan lelaki itu, tetapi kata-kata yang keluar dari mulutnya sungguh menyebalkan. “Kenapa?” Tatapan kedua orang itu beradu. “Kamu anak orang kaya, pasti nggak pernah ngerjain ini di rumah, ‘kan? Saya nggak mau adek atau saya sampai disalahin gara-gara kamu main ke sini dan terluka. Nggak usah ngapa-ngapain kalau ke sini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD