"Bapak bilang apa barusan?" semprot Ratu kesal, tak dapat menahan rasa emosinya. Rasa terpananya beberapa saat lalu, langsung menguap begitu saja. Tak ada juga pipi yang bersemu merah mengingat pelukan kala itu. Yang ada sekarang adalah rasa kesal seperti sebelum-sebelumnya. "Emangnya Bapak pikir anak orang kaya itu enggak bisa ngapa-ngapain? Pemikiran macam apa itu? Seorang dosen kok begitu ngomongnya. Lucu sekali anda ini, Pak.”
Aditya mengusap wajahnya. "Kamu barusan terluka— "
"Saya itu terluka karena kaget tiba-tiba ngeliat kehadiran Bapak, tahu nggak?" Ratu seolah melupakan bahwa sosok lelaki di hadapannya sekarang adalah dosen pembimbingnya yang sangat berpengaruh akan urusan skripsinya ke depannya. Dia terlihat tak gentar menatap tajam lelaki yang usianya terpaut jauh darinya tersebut. "Bapak nongol begitu aja. Mana kayak skeleton, ya otomatis fokus saya teralih ke Bapak. Begitu kok nggak ngerti? Hadeeeeehhhhhh!”
Aditya menaikkan alisnya. Apa kata perempuan itu? Skeleton? Dirinya dibilang seperti skeleton? Sekurus dan seseram itu kah dirinya hingga disebut begitu? Perasaan, dia tak terlalu kurus. Malah badannya cukup bagus karena sering olahraga.
"Kenapa lihatin saya begitu?" Ratu berkacak pinggang saat ini. Tak ada takut-takutnya berucap dengan nada tinggi kepada sang dosen. "Jangan mentang-mentang dosen di kampus dan sebagai pembimbing skripsi saya juga, Bapak bisa seenaknya berkata apa pun terhadap saya. Sekarang, di sini, Bapak hanya lah abang dari teman saya. Awas aja kalau Bapak sampai campur adukkan urusan skripsi saya dengan urusan pribadi saat ini, saya yang misuh-misuh sama Bapak saat ini."
Aditya tak menjawab. Dia menatap heran perempuan itu yang menatapnya dengan sorot mata tajam. Siapa juga yang niat mencampurkan adukkan? Bagi dia, hal saat ini juga sepele.
"Saya itu bisa gunain pisau itu, ya! Nggak cuma buat ngupas dan motong buah aja, tapi bisa juga untuk iris mulut Bapak yang ngomong asal kayak barusan. Mau dites nggak?”
Aditya tetap tenang menatap perempuan itu, tanpa ada rasa amarah sedikit pun. Dia tak menyangka jika mahasiswinya satu itu begitu galak, berani memaki-makinya. Terlihat mungil imut, tetapi nyali perempuan bernama Ratu tersebut begitu besar. Oh ya, Aditya lupa, perempuan itu bahkan pernah memukul seorang lelaki di depan sebuah cafe. Dan juga bersamanya waktu itu menghadapi para begal. Perempuan itu jago takewondo, Aditya telah mengetahui hal itu.
"Ada apa ini?" Sukma tiba-tiba datang ke arah dapur karena mendengar suara keributan. Suaranya Ratu terdengar hingga ke kamarnya yang tak terkunci.
"Bukan apa-apa." Aditya yang menyahut duluan. "Kamu udah merasa enakan?"
Sukma menggeleng lemah dengan muka yang masih tampak begitu pucat. Dia memegangi kepalanya yang agak nyeri juga, tetapi penasaran barusan karena terdengar suara yang berisik dari arah dapur.
"Ya udah, istirahat aja. Abang ke kamar dulu." Tak jadi ke kamar mandi, Aditya memasuki kamar saja berganti pakaian dan hendak istirahat sejenak.
Ketika baru akan memasuki kamar, ada ayahnya yang membuka pintu duluan yang duduk di ats kursi rodanya.
"Dit, baru pulang?"
Aditya mengangguk. "Barusan ayah dengar suara keributan kayaknya."
"Ah itu, tadi ada kecoa. Temannya Sukma yang waktu itu yang teriak-teriak barusan."
"Ooh."
"Aku mau ke kamar dulu, Yah. Mau ganti baju."
Ayahnya Aditya mengangguk. Dia pun keluar dengan kursi rodanya. Beliau mengarahkan kursi rodanya ke arah dapur dan mendapati Sukma dan temannya di sana. Dia mengenal teman dari anaknya itu. Sosok perempuan yang sepertinya baik.
"Om... " Ratu tersenyum, menyapa lelaki paruh baya yang merupakan ayah dari Sukma dan Aditya tersebut. "Apa kabar, Om?" Ratu setelah mencuci tangan sejenak, langsung menyalami lelaki itu.
"Baik. Kamu udah dari tadi datangnya?" Ayahnya Sukma dan Aditya itu menyukai sosok Ratu. Perempuan itu bertanggung jawab telah menyenggol motor yang dikendarai Sukma waktu itu, padahal lukanya Sukma tak parah. Dan motornya juga kegores sedikit saja.
"Belum lama. Om baru bangun?”
”Iya.” Hadi, ayahnya Sukma dan Aditya itu manggut-manggut. "Om ke depan dulu, ya!"
"Iya, Om."
Ratu kembali melanjutkan apa yang tertunda barusan. Mengupas mangga dan memotongnya.
"Kamu tunggu di kamar aja ya, Suk?" Ratu menipiskan bibirnya. Dia menyadari Sukma yang tak hanya terlihat pucat, tetapi juga memiji-mijit kening. Ratu nanti akan membujuk perempuan itu agar mau ke klinik. "Aku sedikit lagi ini. Entar kamu pusing kelamaan berdiri.”
“Ya udah, aku tunggu di kamar.”
Tak lama, Ratu pun selesai memotong mangga tersebut walau di dalam hatinya sambil misuh-misuh ingat kata-kata yang keluar dari mulutnya Aditya beberapa saat lalu. Lelaki itu benar-benar keterlaluan mulutnya.
Memasuki kamar, Sukma yang berbaring, langsung mendudukkan diri bersandar. Dan Ratu mendudukkan diri di pinggir kasur.
“Wait… aku ambil tasku dulu.”
“Aku udah bawain tadi.” Sukma menunju tas kecil miliknya Ratu yang diletakkannya di atas meja belajar. “Karena aku ke dalam dan nggak ada orang di luar, jadi kubawa ke sini.”
“Iya. Makasih, ya!” Ratu tersenyum. Lalu, menusuk sepotong mangga di mangkok plastik yang dibawanya dengan sebuah garpu. “Yuk, makan mangga dulu. Setelah itu baru entar makan nasi.”
“Aku makan sendiri aja, Tu.” Sukma merasa tak enak disuapin. Dia juga masih sanggup makan potongan buah itu sendirian.
“Ya udah. Aku cek pesanan dulu.” Ratu meraih ponselnya. Dia cek pesanan makanannya tadi. Di sana ada tanda bahwa makanan telah di-pick up dan saat ini sedang di antar menuju ke sini. Estimasi sekitar 15 menit lagi.
“Tu, barusan itu kenapa di dapur? Jujur aja, enggak apa-apa.” Sukma tak percaya ucapan sang kakak dan Ratu barusan, yang mana Ratu bilang jika dirinya berteriak karena kaget melihat kecoa. “Bukan karena ada kecoa, ‘kan? Aku dengar nada tinggi bicaranya kamu dari dalam kamar. Ada masalah sama Bang Adit?”
Ratu seketika mendongak.
“Cerita aja, meski itu ada hubungannya dengan Bang Adit.”
“Dibilang nggak kenapa-napa. Cuma kecoa aja.” Ratu mengusap hidungnya, tanpa menatap ke arahnya Sukma.
“Masa, sih? Aku ada denger kamu kayak marah-marah begitu. Tu, ayo lah… aku cuma pengen tahu aja. Apa Bang Adit bikin kamu enggak nyaman.”
Sukma terus mendesak Ratu agar jujur padanya.
Didesak terus, akhirnya Ratu pun bercerita. “Gitu, Suk. Ngeselin banget, ‘kan? Dipikir aku orang kaya yang enggak bisa ngapa-ngapain? Cuma anak manja yang ngabisin uang orang tua doang? Enggak lah! Meski ada Mbak di rumah pun, aku tetap kenal dapur. Aku bisa masak walau sedikit-sedikit. Ngupas mangga doang pakai pisau, ya pasti bisa. Aku cuma cuma kaget ada dia tiba-tiba nongol. Makanya, nggak sengaja kena pisau tanganku itu.”
“Maafin Abangku ya, Tu. Aku juga nggak nyangka kalau keluar kata-kata begitu dari mulutnya.”
“Entah.” Ratu mengedikkan bahunya. “Mungkin dia sama kayak aku, sama-sama sebal. Aku yang sebal sama sikapnya dan kasih aku nilai C, dan dia kayaknya juga nggak suka sama mahasiswa macamku ini. Kebawa-bawa sampai di luar kampus.”
“Perasaan kamu aja kayaknya, Tu. Abang nggak ada bilang dia sebal sama kamu. Nggak… aku lagi nggak belain abangku. Cuma aku pernah bahas tentang kamu, dia biasa aja responnya. Nggak ada dia bilang sebal sama kamu.”
Sukma tak bohong. Dia sama sekali tak melihat ada rasa kebencian sang kakak kepada teman barunya itu.
***
Sukma tersenyum melihat Ratu yang tertidur di tempat tidur sederhana di kamarnya ini. Ada AC juga di kamar ini, satu-satunya AC di rumah ini yang dibeli Aditya waktu dulu. Agar adik-adik perempuannya merasa nyaman. Kamar ini sebelumnya tak hanya ditempati oleh Sukma seorang, tetapi juga kedua kakak perempuannya yang terpaut usia cukup jauh juga, Yeyen dan Lusi namanya. Kamar di rumah ini ada tiga, namun satunya merupakan kamar yang kecil sekali ukurannya. Yang sekarang ditempati oleh adiknya Sukma yang masih duduk di bangku SMA.
Setelah makan tadi, mereka berdua mengobrol sambil duduk bersandar. Pada akhirnya, keduanya sama-sama tertidur. Akan tetapi, Sukma hanya sebentar saja sudah terbangun. Karena dia sudah banyak tidur sejak sebelum Ratu datang.
Tangannya Sukma terulur menyentuh keningnya, masih hangat terasa. Dia beranjak dari kasur, hendak ke kamar mandi. Di rumah ini hanya ada satu kamar mandi saja yang di dekat dapur. Sukma melangkah pelan menuju kamar mandi tersebut. Dia masih merasa begitu lemas.
Beberapa saat kemudian, dia keluar kamar mandi dan mendapati sang kakak tengah minum. Sukma pun teringat pembicaraannya dengan Ratu tadi.
“Bang… “
“Hmmm?”
"Abang nggak suka sama Ratu, ya?”
Aditya seketika menoleh ke arah adiknya itu. "Siapa bilang? Dia yang bilang begitu sama kamu?" Aditya biasa saja terhadap mahasiswanya satu itu. Tak ada membenci sedikit pun, meski tadi dimaki-maki oleh perempuan itu.
"Aku yang nyimpulin sendiri. Kenapa sih, Bang?"
"Kenapa apanya?"
"Nggak semua orang kaya itu sama, Bang. Kok bisa-bisanya Abang bilang begitu sama Ratu?"
"Dia bilang gimana kamu?”
"Aku maksa dia buat cerita. Aku dari kamar tadi tuh dengar suaranya, makanya aku nyamperin ke dapur.” Sukma duduk di sebuah bangku plastik di dekat kulkas. “Abang seharusnya enggak bilang begitu sama Ratu. Ya pasti tersinggung lah dia. Lagian, Bang, aku lihat Ratu itu berbeda dari kebanyakan orang kaya lainnya.”
“Iya… iya, Abang ngaku salah. Abang cuma— “
“Nanti harus minta maaf sama dia. Aku nggak mau tahu. Aku takut dia entar kapok main ke sini.”
Aditya menghela napasnya.
“Bang?”
“Iya. Nanti Abang minta maaf.”
“Ratu itu tulus banget sama aku, Bang. Meski belum lama saling kenal, dia effort banget segitunya pas tabu aku sakit. Dia bahkan nggak risih berada di dapur rumah kita yang sederhana, yang mungkin nggak ada apa-apanya dibandingkan rumah dia. Jarang ada orang kaya yang begitu. Tolong, jangan bikin dia nggak nyaman di sini. Aku tuh bersyukur banget-banget bisa kenal sama dia. Bersyukur dia mau temenan sama aku.”
Aditya hanya menyahut dengan sebuah deheman.
“Satu lagi, tolong jangan dipersulit juga skripsinya dia.”
“Nggak ada Abang persulit.”
“Katanya, udah dua kali revisi.”
“Itu memang harus direvisi, Suk. Jangan mentang-mentang dia teman yang kamu sayang, terus Abang harus terima-terima aja apa yang dia kerjakan meski ada yang nggak sesuai?” Aditya terkekeh pelan. “Enggak begitu juga. Tetap harus sesuai prosedurnya. Abang sebagai dosen pembimbing, kan nggak mau mahasiswa Abang asal lulus dengan isi skripsi yang sembarangan.”
Sukma kembali ke kamar setelah selesai menyampaikan protesnya kepada sang kakak. Dia berbaring lagi di sisi Ratu. Untung di kamar ini ada ACnya, jadi Ratu tak kegerahan pada cuaca yang cukup panas belakangan ini.
Pukul setengah lima, Ratu baru terbangun. Dia terkejut karena ketiduran di rumah orang. Bukan rumahnya Vika, akan tetapi rumah teman baru yang belum lama dikenalnya.
Ratu menguap. Dia ingat harus membujuk Sukma agar mau ke klinik.
“Udah bangun?” Sukma terbangun juga karena pergerakan Ratu.
“Maaf, aku malah ketiduran di sini.”
“Nggak apa-apa. Justru aku seneng ada temannya.”
Ratu tersenyum. Tangannya terulur menyentuh keningnya Sukma. Masih hangat.
“Kita ke dokter, ya? Sebentar doang, kok. Ke klinik terdekat aja.”
“Nanti juga sehat sendiri, Tu.”
Ratu berdecak. “Tapi kan lama. Kamunya udah lemas begini, pucat dan masih hangat juga. Ayo, aku anterin sekarang.”
“Tapi— “
“Nggak ada tapi-tapian.”
Sukma terkekeh kecil. “Oke deh!”
“Suk, aku pengen ke kamar mandi, tapi takut ada kecoa lagi kayak waktu itu.”
“Nggak ada lagi. Udah disemprot anti kecoa setiap harinya sama Bang Adit.”
“Hmmm… oke. Habis dari kamar mandi, kita langsung jalan, ya? Kamu ganti baju dulu aja. Eh pakai piyama begini juga enggak apa-apa. Eh, wait… aku nggak tahan pengen pipis.”
Ratu beranjak dari tempat tidur. Dia melangkah cepat keluar kamar. Karena terburu-buru hendak pipis, dia bertubrukan dengan sesuatu yang keras. Ratu mendongak. Dadanya lelaki itu lagi yang ditabrak olehnya.
Ratu jadi penasaran bagaimana bentuk dadanya lelaki itu dibalik baju yang dikenakan lelaki itu. Ratu menggeleng cepat. Kenapa pikirannya malah melayang ke mana-mana? Dia ingat seketika kalau sedang gondok kepada lelaki di hadapannya saat ini. Ratu mendelik sebal. Mereka sama-sama terdiam.
Menggeser tubuhnya ke arah kiri hendak melewati lelaki itu, Ratu mendapati Aditya juga bergerak ke arah yang sama. Beberapa kali begitu.
Ratu mendengkus sebal.
“Sana lewat dulu!” Ratu menggeser tubuhnya ke arah kiri, agar Aditya bisa melewatinya lebih dulu.
Aditya menghela napas. “Maaf.”
Ratu mengernyit.
“Maaf atas perkataan saya yang menyinggung kamu tadi.”