Bab 11 — Kecoak Terbang

1907 Words
Sambil berjalan menuju mobilnya, Ratu mengetikkan balasan pesannya Sukma. Memasuki mobil, ponselnya menyala yang memunculkan nama Sukma memanggil pada layar ponselnya tersebut. Ratu pun menyentuh tanda hijau pada layar ponselnya itu, tak langsung menjalankan mobilnya. "Kamu mau langsung pulang dari kampus?" tanya Sukma dari seberang sana. "Kalau nggak ada acara, mau mampir main ke rumah aku nggak?" Ratu senang-senang saja punya teman baru, meski perempuan itu merupakan adik dari lelaki yang tak disukainya. Berawal dari ketidaksengajaannya waktu itu menyenggol motornya Sukma, Ratu intens menjalin komunikasi dengan perempuan itu. Tak sekedar bertanya bagaimana luka perempuan itu. "Kamu lagi di rumah emangnya sekarang?" Ratu balik bertanya. Dia mau-mau saja ke rumahnya Sukma, tak masalah mengobrol-ngobrol di rumah perempuan itu juga. Lagi pula, dia memang tak kepikiran untuk langsung pulang ke rumah. Niat mencari makan siang dulu. Tetapi, Ratu takut nanti tiba-tiba ada Aditya yang mungkin saja tak menyukai keberadaannya di sana. "Ada siapa aja di rumah?" "Iya, aku di rumah sama ayah. Adekku paling tar sorean pulangnya, mau ke rumah teman dulu katanya tadi. Kalau abangku, dia biasanya pulang malam.” Ratu manggut-manggut. Dia sekalian ingin bertanya-tanya juga kepada Sukma, mencari tahu tentang bagaimana abangnya itu. Ratu merasa berbicara dengan lelaki itu seperti bicara dengan robot, kaku. Siapa tahu nanti Ratu mendapatkan trik dari Sukma, bagaimana cara menghadapi dosen satu itu. "Kamu udah makan belom?" Ratu melirik jam di mobilnya yang menunjukkan pukul setengah dua siang. Ratu belum makan. Dia merasa lapar karena tadi sarapan tak seberapa, sibuk dengan skripsinya sejak semalam. "Aku mau makan dulu baru ke sana deh!" "Udah barusan. Kamu mau makan di sini aja nggak? Aku masak tadi. Emm... kalau kamu mau, sih. Aku masak ayam goreng, tempe, bikin sambal dan sayur kangkung." "Kamu pintar masak sepertinya. Emang boleh aku makan di sana?" Ratu sama sekali tak keberatan makan di rumah sederhana itu, tak seperti yang Aditya tuduhkan. Malam itu dia menolak ketika ditawarin makan, karena pikirannya bercabang ke mana-mana. Tak enak sudah melakukan kesalahan, malah numpang makan. Lagi juga, dia harus segera menemui Vika yang membutuhkan dirinya. Aditya malah mengiranya keberatan makan di rumah itu. "Ya, boleh dong! Yuk, makan di sini aja dari pada kamu makan sendirian di luar. Sekalian, cerita-cerita tentang skripsi kita." Duh, masalahnya, Ratu itu ingin menggibahi kakaknya Sukma sendiri. Apa Sukma akan marah jika kakaknya itu menjadi bahan ghibah? "Oke. Aku jalan sekarang. Kurleb jam 2'an aku sampe di sana, ya?" "Ditunggu." Tepat jam 2, mobil yang dikendarai Ratu pun tiba di depan rumahnya Sukma. Perempuan itu turun membawa tas serta laptopnya, dan disambut oleh Sukma di depan pintu. Sukma tersenyum lebar menyambut kedatangan Ratu, senang sekali. Seolah sudah berteman lama dengan perempuan itu. "Yuk, masuk!" "Lelah banget rasanya," keluh Ratu sambil mengikuti langkah kakinya Sukma, lalu duduk di sebuah kursi. "Mumet kepalaku. Mana panas banget tadi di kampus.” "Skripsi?" Ratu mengangguk sembari meletakkan tas laptop di sisinya. "Mau minum apa kamu?” "Air putih dingin aja." "Oke. Sebentar." Sukma pun menuju ke dapur untuk mengambil air dingin di kulkas. Setelahnya dia mengambil sebuah gelas kosong, lalu kembali ke depan membawa air dingin di botol dan gelas. Ratu langsung meneguk segelas air dingin yang Sukma baru saja tuangkan ke dalam gelas. "Segerrr!" Tak ada jaim-jaimnya Ratu ini, padahal baru beberapa hari kenal dengan Sukma. "Kenapa, sih? Mumet banget sama skripsinya? Udah mulai bab satu, 'kan? Aku aja baru ajuin judul, baru mau mulai ngerjain bab satu.” "Yaa... gitu. Ternyata tak semudah itu bikinnya, ya? Pasti ada aja yang revisi." "Banyak?" "Lumayan." "Abangku nggak galak kan, Tu? Kamu nggak jawab tadi. Abangku itu... nggak kebayang aku gimana caranya ngadepin mahasiswa. Dia itu kan kaku, luwesnya mungkin cuma keluarga dan orang terdekat aja." "Gitu deh!" "Galak?” "Gimana, ya?" Ratu menggaruk pipinya yang tak gatal. "Galak sih, enggak. Tapi... " Ratu menjeda ucapannya. "Ah, enggak usah bahas. Nanti kamu bilang sama dia. Ngeri aku kalau entar skripsiku dipersulit. Aku cuma pengen segera lulus, nggak mau cari masalah.” "Ya, enggak lah! Janji, aku nggak akan cerita." Sukma terkekeh singkat, lalu mengangkat jemari tangannya. "Aku cuma penasaran, gimana abangku itu kalau di kampus." "Dingin kayak air yang barusan aku minum. Disiplin banget, kalau ada salah sedikit aja, nggak ada toleransi sedikit pun. Meski itu mahasiswa udah mohon-mohon sampe nangis pula, dia enggak peduli." Ratu curcol. Dia mengeluarkan unek-uneknya tentang lelaki itu. "Serius abangku begitu?" Ratu mengangguk. "Jangan bilang lagi kalau aku cerita tapinya.” "Iya... iya, enggak akan bilang, kok." "Nggak tahu lah proses skripsiku ini gimana sama abangmu itu, Suk. Dia itu perfectionist banget. Pusing aku lihat lembaran bab satuku banyak coretan begitu. Baru bab satu loh! Gimana yang lain entar?" Ratu bisa-bisanya dengan lancar mengeluhkan abang dari Sukma tersebut. "Eh, sorry ya, Suk, aku jadi curcol." "Nggak apa-apa. Santai." Sukma tersenyum. "Mau makan sekarang? Tadi katanya belum makan. Habis energi banget bimbingan tadi, 'kan?" "Ah, iya banget lagi. Maaf ya, numpang makan." "Kan aku yang nawarin kamu makan di sini. Yuk, mau ambil sendiri atau aku ambilin? Aku nggak tahu seberapa banyak porsimu." "Ambil sendiri aja, tapi temenin." "Iya." Ratu bangkit berdiri mengikuti langkah kakinya Sukma ke dapur, sambil memperhatikan sekitar. Rumah ini tampak kecil, tapi begitu terawat. Bersih. Bagian dapur rumah ini juga tak berantakan dan bersih. Sukma memberikan piring kepada Ratu. Dan Ratu membuka magic com, sudah biasa di rumahnya Vika. Beda dengan di rumahnya sendiri, yang mana semua sudah tersedia di meja makan. Jika hendak makan belakangan, asisten rumah tangga mempersiapkan nasi di meja makan. Setelah mengambil nasi secukupnya, Ratu mengambil sepotong ayam, sambal dan juga sayur kangkung. "Kamu yang masak semua, Suk?" "Iya. Siapa lagi emang? Kadang Bang Adit bantuan, sih. Abang juga suka masak kalau lagi ada waktu senggang di rumah." Ratu tahu bahwa ibunya Sukma telah meninggal. Hanya Sukma satu-satunya perempuan di rumah ini. Ada dua orang kakaknya lagi perempuan, tapi telah menikah dan ikut dengan suaminya masing-masing. "Pak Aditya bisa masak juga emang?" Sukma mengangguk sembari menutup tudung saji usai Ratu mengambil lauk. "Abang bisa apa aja. Nyuci juga dia bisa. Semisal ada pakaian yang nggak masuk mesin cuci, dia kadang cuci sendiri pakai tangan." Ratu manggut-manggut. Rajin sekali lelaki itu. Kemudian keduanya kembali ke depan, duduk beralaskan sebuah karpet sederhana. "Abangku itu baik sebenarnya, Tu. Cuma dia emang kakuh begitu, jarang senyum sama orang selain keluarga. Aku kadang suka ingetin, jadi dosen jangan dingin-dingin amat. Nanti mahasiswanya kan pada takut." Ratu terkekeh kecil. Ratu bukannya takut juga, tapi sebal saja akan sikap lelaki itu. "Aku juga pernah bilang, jangan persulit skripsinya mahasiswa." "Terus, apa dia bilang?" Ratu mulai makan. "Suk, enak banget ini sambelnya! Kangkungnya juga, enak." "Iya kah? Syukur lah, kamu suka." Ratu mengangguk, kembali menyuap nasi dan lauknya. Masakan Sukma terasa pas di lidahnya. "Terus... terus... lanjut, gimana setelah kamu bilang begitu? Abangmu jawab apa?" "Ya... gitu. Katanya dia cuma bersikap tegas dan disiplin sebagai dosen, memberikan bimbingan yang terbaik." "Hmmm." "Apa Abang ada galak sama kamu tadi pas bimbingan? Kalau iya, nanti aku tegor." "Enggak galak juga, sih. Emm... aku harus gimana ya, agar bimbinganku lancar? Aku pasti akan berusaha, tapi kadang aku ngerasa abangmu itu enggak bisa ditebak." *** Ratu sontak menegang, gerakan mulutnya yang sedang mengunyah seketika terhenti melihat kedatangan Aditya. Ratu melirik Sukma, karena tadi perempuan itu bilang jika Aditya akan pulang malam. Sukma menjawab lewat lirikan mata sambil tersenyum, seolah berkata, “nggak apa-apa, santai aja”. "Lah, tumben udah pulang jam segini, Bang?" Sukma beralih pada sang kakak. "Nggak ke bengkel hari ini," jawab Aditya sembari membuka sepatunya di dekat pintu, lalu meletakkannya di rak sepatu. Lelaki itu bertanya-tanya di dalam hati, seorang puteri kaya raya makan di rumah kecil begini dengan duduk di atas karpet sederhana yang menutupi lantai? Barusan dia terkejut mendapati mobil yang familier baginya itu terparkir di depan rumahnya. Tambah kaget lagi saat memasuki rumah dan mendapati perempuan itu makan di rumahnya. Duduk di karpet sederhana, bukan di meja makan seperti rumah perempuan itu yang mewah. Dulu pernah Aditya memasuki rumah orang tua perempuan itu untuk urusan pekerjaan. Sukma manggut-manggut. "Udah makan belum? Aku masak tadi." "Belum." "Ya udah sana makan dulu." "Iya." Aditya melangkahkan kaki melewati keduanya dan Ratu menganggukkan kepala kepada lelaki itu, meski tak menoleh ke arahnya. Aditya berlalu menuju kamar yang ditempatinya bersama sang ayah. Ayahnya terlihat tidur. Aditya pun mengganti baju dengan pakaian santai, kemudian keluar kamar dan menuju dapur kecil. Aditya lapar. Dia mencuci tangan di wastafel, lalu mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk. Lelaki itu menarik kursi, makan di dapur dengan piringnya yang berada di dekat magic com. “Aku langsung pulang habis makan ya, Suk,” ujar Ratu mencicit pelan. Makannya tinggal sedikit lagi, namun mendadak kenyang karena kehadiran Aditya. “Kenapa emangnya? Gara-gara ada abangku? Nggak apa-apa, kok. Kita pindah ke kamar aja setelah ini. Ya ya ya? Kan baru sebentar kamu di sini.” “Tapi— “ “Bang Adit enggak makan orang. Tenang aja. Kamu udah selesai makannya? Sini aku taruh piring di belakang.” “Bareng, Suk! Aku juga mau cuci tangan.” Ratu melihat Aditya ke arah dapur dan belum kembali ke kamar. Canggung jika berpapasan dengan lelaki itu di dapur. Di dapur, Ratu melihat dosennya itu tengah makan. Sama sekali tak menoleh ke arahnya yang akan mencuci tangan. Lelaki itu menunduk saja makannya. “Suk, aku numpang ke kamar mandi, ya?” “Di sebelah situ.” Sukma yang baru saja meletakkan piring kotor dan akan mencucinya, menunjuk ke arah kamar mandi yang terletak di bagian ujung dapur. “Oke.” Ratu tiba-tiba saja merasa mules. Ratu pun memasuki kamar mandi tersebut. Di dalam kamar mandi, Ratu tiba-tiba ingat ucapan Vika. Katanya kalau BAB di rumah orang, kemungkinan akan betah di tempat tersebut. Hmmm. Teori macam apa itu? Ratu senang saja sebenarnya main ke sini, mengobrol dengan Sukma itu menyenangkan. Tetapi, Ratu tak akan betah berada di sini apa bila si Aditya itu ada di rumah. Malas sekali Ratu melihat mukanya Aditya itu. Muka lelaki itu terlihat begitu menyebalkan. Selesai BAB, Ratu langsung mencuci tangan. Saat itu, Ratu melihat kecoak merayap di dinding. Ratu pucat. Dia bergegas hendak keluar dan berteriak histeris kala mendapati kecoak tersebut terbang. “Kenap— “ “Ada kecoak terbang! Takut!!” “Lepas dulu.” Mukanya Ratu langsung memerah. Ratu baru menyadari barusan reflek memeluk dosen yang dadanya terasa begitu keras. Ya ampun, malu sekali rasanya. “Ma-af… saya nggak sengaja. Bapak jangan marah!” Lelaki itu tak menyahut dan Ratu bergegas menghampiri Sukma yang baru saja datang ke dapur, entah dari mana barusan. “Kenapa, Tu? Barusan kamu teriak kenapa?” “I-itu… barusan ada kecoak di kamar mandi.” Kamar mandi tersebut bersih dan wangi. Ratu tak tahu kenapa tiba-tiba bisa muncul kecoak di sana. “Suk, aku mau langsung pulang aja kayaknya. Lupa belum kabarin mamaku.” Ratu langsung berjalan ke depan, tak melihat lagi ke arah belakang. Malu. Bisa-bisanya Ratu langsung memeluk dosen pembimbingnya sendiri, seseorang yang menyebalkan. Ratu mengerucutkan bibirnya sebal, membayangkan Aditya yang bisa jadi tengah menertawainya yang takut akan seekor kecoak saja. Kecoak sialan memang. Gara-gara hewan kecil menggelikan itu, Ratu yang takut malah memeluk Aditya. Bagaimana dia akan menghadapi lelaki itu pada pertemuan bimbingan selanjutnya? Pura-pura anggap nggak pernah terjadi apa-apa aja nggak, sih? Ratu menggumam. “Tu—hey? Kamu beneran jadi mau pulang sekarang? Maaf ya, gara-gara kecoak itu kamu jadi nggak betah? Udah dibuang sama Bang Adit, sih.” Bukan gara-gara itu, Sukma! Gue malu sama abang lo itu gara-gara reflek meluk dia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD