"Selesai adzan baru pulang," ujar Aditya yang tiba-tiba muncul di dekatnya, membuat Ratu terkejut.
Ratu melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir jam 6 memang. Sudah terdengar suara orang mengaji dari mesjid yang sepertinya tak jauh dari bengkel tersebut, tak tahu persisnya sebelah mana. Mungkin masuk ke dalam perumahan.
Mendengarkan kata lelaki itu, Ratu mengurungkan niatnya yang hendak mengendarai motor tersebut. Ratu mematikan mesin motor dan kembali duduk di sebuah kursi. Ratu mendongak ketika sebuah tangan menyodorkan sebotol air mineral dingin kepadanya, tangannya si Aditya.
"Terima kasih." Ratu menerima air mineral tersebut karena memang sedang haus juga.
"Hmmm. Bisa ke ruangan di dalam dulu kalau mau maghrib," ucap lelaki itu datar.
Ratu membuka tutup botol air mineral tersebut, dan mengangguk tipis kepada Aditya.
Tak banyak bicara, Ratu baru mengendarai motor dari bengkel tersebut pada pukul setengah tujuh. Dia kembali mengucapkan kata 'terima kasih' kepada lelaki itu sebelum beranjak pergi. Ratu mengendarai motor tersebut pelan-pelan, karena memang dia tak terbiasa. Ratu tak tahu saja kalau dia diikuti dari belakang oleh seseorang yang mengkhawatirkan dirinya.
Setahunya Aditya, yang saat ini sedang mengikuti Ratu di belakang dengan sedikit menjaga jarak, perempuan itu terbiasa ke mana-mana menggunakan mobil. Memang sejak malam itu, Aditya sedikit banyaknya mencari tahu tentang Ratu. Setelah memastikan perempuan itu tiba di sebuah rumah dan memasuki pagar, baru lah Aditya beranjak dari sana. Ratu yang telah dipastikan membawa motor itu pulang ke rumah temannya.
Memasuki pagar rumahnya Vika, Ratu mendapati rumah teras rumah perempuan itu yang gelap. Setelah memarkirkan motor, Ratu memasuki mobilnya. Untung saja kunci mobil dari tadi dibawa olehnya di dalam sling bag kecil. Di dalam mobil, Ratu jemari Ratu kembali bergerak pada layar ponselnya. Vika tak kunjung ada kabar juga.
Layar ponselnya Ratu menunjukkan ada panggilan telepon dari mamanya. Ratu pun segera mengangkat telepon tersebut. Ratu bercerita tentang adiknya Vika yang mengalami kecelakaan, meminta sang mama membantu semisalkan Vika mengalami kesulitaan dalam biaya rumah sakit.
"Iya... iya, yang sabar kamu, ya? Vika mungkin lagi panik. Nanti dia pasti kabarin kamu."
"Aku nunggu kabar dari Vika dulu ya, Ma. Paling aku ke minimarket di dekat sini nunggunya." Pintu rumahnya Vika terkunci tentunya, tak bisa Ratu masuk ke dalamnya untuk sekedar menyalakan lampu luar.
"Kabarin mama atau papa aja nanti gimana-gimananya."
"Oke, Ma."
Ratu pun melajukan motornya menuju sebuah minimarket, menunggu kabar dari Vika. Ingin bertanya kepada ibunya Vika, pasti ibu dari temannya itu juga tengah panik dan sedih jauh di sana. Tak lama, Ratu pun hendak memarkirkan mobilnya di depan minimarket. Namun, lengah sedikit karena melihat layar ponselnya yang menyala, Ratu tak sengaja menyenggol motor saat hendak parkir. Ratu terkejut. Dia dengan cepat mendorong tuas pada mode parkir, dan setelah keluar dari mobil. Untung saja di depan minimarket tersebut tak begitu ramai pada jam 7'an tersebut.
"Kak, maaf… aku enggak sengaja." Motor yang tak sengaja Ratu senggol adalah miliki seorang perempuan. Ada tukang parkir di sana dan pengunjung yang membantu motor itu tegak kembali. Sementara perempuan pemilik motor, tampak meringis kecil.
"Nggak apa-apa, Kak," sahut perempuan itu tersenyum tipis. Dia mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantunya berdiri, juga meminta mereka tak membesarkan masalah ini. Dan mereka semua beranjak dari sana.
"Maaf... maaf banget. Kakaknya ada yang luka? Sakit banget?" Sempat melihat perempuan itu meringis, Ratu menduga perempuan itu ada luka di balik celana panjang dan sweater hitam yang menutupi kaki dan tangannya. Ratu mengedarkan pandangan ke sekitar, mencoba mengatasi rasa panik sambil berpikir di mana akan memeriksa semisal ada luka pada perempuan tersebut. "Yuk, Kak, coba lihat dulu! Emm... mau di dalam mobil aku aja ceknya?"
"Aku— " Perempuan itu kembali meringis, merasa perih pada lututnya. Dia menyingkap sweaternya, ternyata ada goresan luka di sana.
"Tuh, kan, ada luka. Ya Tuhan, maaf banget-banget, Kak. Aku antar ke klinik sekarang, ya? Mau ya, Kak? Aku salah di sini dan aku harus bertanggung jawab. Ada yang lecet dengan motor kamu pun, aku harus ganti rugi juga."
"Cuma sedikit luka, enggak apa-apa. Beli obat luka di apotik dekat sini aja," ujar perempuan itu yang merasa tak harus datang ke klinik juga.
"Ya udah, yuk, cek dulu di mobilku untuk memastikan lukanya, siapa tahu ada luka yang lainnya lagi di kaki atau bagian lain."
Perempuan itu pun mengikuti kata Ratu. Di dalam mobil, Ratu menyalakan lampu dan cahaya ponselnya juga untuk mengecek luka yang didapati perempuan itu. Ternyata memang ada luka di bagian lutut juga, berdarah dan bahkan sekarang sudah tembus di celana panjang yang digunakan perempuan itu.
"Aku tunggu di sini, kamu aja yang ke apotik," ujar perempuan itu. "Motorku nggak mungkin ditinggal begitu aja walau ada tukang parkir itu juga."
"Tapi, aku pengen bawa kamu ke klinik. Nggak pengen cuma diobatin begitu aja."
"Sebentar. Aku telepon abangku dulu. Dia ada kerjaan yang nggak jauh dari sini."
"Jangan!" Ratu mendadak panik. "Nanti aku diamuk sama abangmu itu gimana?"
"Enggak, kok. Abangku itu baik, nggak akan nyalahin kamu. Akunya juga yang nggak begitu perhatiin jalan."
Ratu mendesah pasrah membiarkan perempuan itu menghubungi abangnya. Menyimak setiap kata-kata yang keluar dari perempuan di sebelahnya itu.
"Ya udah, Bang, aku tunggu." Perempuan itu pun mematikan sambungan ponselnya, lalu menoleh ke arah Ratu. “Nggak apa-apa, abangku nggak gigit orang, kok.”
Ratu hanya tersenyum tipis, di dalam hatinya tentu deg-degan. Dia bersalah di sini, makanya dia takut.
“Oh iya, kenalin, namaku Sukma. Kalau kamu?” Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arah Ratu.
“Ratu. Ratu Arsyila, umur 22 tahun.” Ratu menyambut uluran tangan perempuan tersebut.
“Wah, seumuran kita!”
“Oh, ya? Kamu 22 tahun juga?”
Perempuan itu mengangguk. “Iya. Lagi skripsi juga nggak?”
“Iya. Baru mulai aku.”
“Sama. Kuliah di mana kamu? Jurusan apa?”
Ratu pun menyebutkan nama kampus dan jurusan kuliahnya.
“Serius kuliah di Unista? Kebetulan banget, abangku dosen di sana. Fakultas Ekonomi juga dia.”
“Iya kah? Siapa nama abangmu itu? Ngajar mata kuliah apa?”
“Nama abangku— “ Ucapan perempuan itu terhenti melihat motor abangnya datang. “Nah, itu abangku! Tahu nggak kamu? Namanya Aditya.”
Ratu menepuk jidatnya. Alamakkk!! Sempit sekali dunia ini!
Ratu mau tak mau ikut keluar dari mobil mengikuti perempuan bernama Sukma itu menghampiri abangnya, yang tak lain adalah dosennya Ratu di kampus.
“Bang, ini aku nggak begitu perhatiin jalan juga. Jadi dia ini nggak sengaja nyenggol motorku.” Sukma berbicara kepada abangnya yang barusan terkejut melihat Ratu.
“Pak Aditya, maaf, saya enggak sengaja nyenggol motor adeknya Bapak. Beneran enggak sengaja, saya berani sumpah!” Ratu langsung menyela dengan mengangkat jemarinya. “Tolong, jangan bawa-bawa ini ke urusan kampus, Pak. Skripsi saya, jangan dipersulit. Saya cuma pengen cepat lulus.”
Sukma menatap kedua orang itu bergantian. “Abang Adit ini dosennya Ratu? Apa jangan-jangan jadi dosen pembimbing juga?”
Ratu mengangguk. Dia takut Aditya berpikir jika dia sengaja hendak mencari perkara dengan lekaki itu.
“Gimana keadaan kamu? Apa yang luka?” Aditya tak merespon ucapan keduanya, malah bertanya tentang kondisinya Sukma.
“Adeknya Bapak ada luka, tapi saya akan bertanggung jawab, kok. Saya akan membawanya ke klinik dekat sini.”
Setelah ketiganya berbicara, Ratu akhirnya membawa Sukma ke klinik. Sedangkan Aditya membawa motor itu pulang. Motornya sendiri dibawa oleh temannya yang baru datang. Sudah tak ada kerjaan di bengkel, mereka menutup bengkel lebih awal malam ini.
Tak ada luka serius, Ratu mengantarkan Sukma pulang dari klinik. Mereka saling bertukar nomor ponsel. Ratu yang ingin tahu tentang keadaan lukanya Sukma, walau Sukma sendiri merasa lukanya tak begitu parah. Hanya lecet biasa.
Pukul sembilan malam, Ratu baru hendak beranjak dari rumahnya Aditya. Dia merasa begitu lelah, belum sempat makan—tak kepikiran. Belum lagi, Vika yang belum disusul olehnya ke rumah sakit karena harus bertanggung jawab terhadap insiden kecil yang tak sengaja dilakukan olehnya.
“Udah malam. Saya akan antar kamu pulang,” ujar Aditya menyusul Ratu melangkah ke arah mobilnya perempuan itu. “Kamu juga kelihatan lelah.”
“Nggak usah, Pak. Terima kasih. Saya ingin menyusul teman saya tadi ke rumah sakit.” Ratu telah mendapatkan kabar dari Vika sejak jam 8’an tadi, namun dia harus mengantarkan Sukma pulang ke rumah perempuan itu.
“Jangan salah paham. Saya hanya ingin memastikan kondisi mahasiswa saya baik-baik aja, soalnya sedang berjuang untuk skripsi agar bisa segera lulus.”
Ratu sedang malas berdebat. Malas meladeni nada datar lelaki itu, alhasil dia pun bersedia saja di antar ke rumah sakit. Sebelum ke arah rumah sakit, Ratu mengernyit ketika mobil tersebut melipir ke sebuah restoran siap saji.
“Drive thru, tadi kamu enggak mau ditawari makan. Mungkin nggak bisa makan di tempat seperti rumah saya itu.”
“Bukan begitu— “
“Mau pesan apa?”
Ratu menghembuskan napasnya, lelah sangat. “Burger aja.”
“Oke.”
Tak ada pembicaraan sepanjang perjalanan setelah membeli makanan. Ratu makan dalam diam dan Aditya menatap lurus jalanan di depannya dengan berbagai hal yang memenuhi kepalanya, namun tampak tenang di luar. Tak ada yang tahu betapa berisiknya isi kepala lelaki itu, kontras dengan kebisingan di jalanan malam ini yang ramai bunyi.
Tak terasa, mobilnya Ratu yang dikendarai Aditya pun memasuki kawasan rumah sakit.
“Terima kasih, Pak,” ucap Ratu sambil membuka sabuk pengamannya.
“Ya.” Aditya keluar dari mobil, dan menyerahkan kunci mobil tersebut kepada Ratu.
Aditya tak langsung pulang. Dia masih berada di rumah sakit sana saat perempuan itu bergegas memasuki lobi rumah sakit. Aditya hanya ingin memastikan bahwa perempuan itu akan pulang malam ini juga atau menginap bersama temannya di rumah sakit. Barusan sempat ada keinginan bertanya, tetapi tak mau perempuan itu menduga yang tidak-tidak.
Ratu, perempuan itu berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit menuju ke tempat di mana Vika berada. Napasnya terengah, berhenti sejenak saat mendapati temannya itu duduk sendirian di depan sebuah ruangan. Baru setelahnya, melangkah kembali dengan deru napas normal.
“Atu… “ Vika mendongak dengan mata yang tampak membengkak.
Ratu langsung memeluk sahabatnya itu. “Yang sabar, ya?”
Vika mengangguk, lalu melepaskan diri. “Nggak apa-apa. Namanya juga takdir,” ujar Vika terkekeh.
“Gimana keadaan adek lo? Terus, biayanya, apa— “
"Aman, Tu. Biayanya ditanggung oleh orang yang nyerempet adek gue, tapi udah pergi orangnya. Ya... syukurlah, orangnya mau bertanggung jawab. Enggak kabut." Vika tersenyum, meyakinkan Ratu bahwa tak perlu khawatir tentang biaya rumah sakit adiknya. Vika sungkan terlalu banyak menyusahkan Ratu dan orang tua perempuan itu. Maka, dia berusaha mencari solusi kilat tadi. Dia pastikan akan membayar uang yang telah dipinjamnya dari seseorang. Jika meminjam kepada Ratu dalam jumlah yang besar, pasti temannya itu akan berbicara kepada orang tuanya dan pasti akan dibantu secara cuma-cuma.
“If you need any help, inget selalu ada gue, Vik. Lo jangan pernah sekali pun merasa sungkan kalau butuh bantuan. Kita udah kayak keluarga, bukan?”
***
Di dunia kerja, tak semua rekan kerja itu baik di depan dan belakang. Aditya bukanlah seseorang polos yang mengira jika semua orang itu baik. Makanya, Aditya tak pernah mengakrabkan diri dengan siapa pun rekan kerjanya. Hanya berkomunikasi untuk urusan pekerjaan saja, tidak di luar itu untuk urusan apa pun.
Dan saat ini, Aditya kaget ketika tiba-tiba diinterogasi oleh bosnya. Kapan dia pernah melakukan sesuatu di luar perintah? Tak pernah. Aditya juga tak niat mencari perkara bekerja dengan seseorang yang dia tahu bukanlah orang biasa. Aditya terheran-heran, siapa yang menikamnya?
“Kamu ingat yang saya katakan waktu itu, Aditya?”
Aditya mengangguk, tertanam di benaknya apa saja hal yang tidak disukainya oleh bosnya itu.
“Kamu ingin bermain dua kaki? Kamu tahu, nggak ada yang benar-benar saya anggap sebagai teman dengan rekan bisnis mana pun.”
“Saya nggak ada niat sedikit pun untuk mengkhianati anda, Bos.”
Aditya dibilang bermain dua kaki. Dan dituduh telah mendapatkan transferan dari pihak rekan bisnisnya, yang Aditya sendiri baru tahu ada transferan masuk ke nomor rekeningnya. Dan dia tidak tahu itu dari siapa, ada transferan sebesar 15 juta dari nomor rekening yang tak dikenal. Kalau perihal foto dengan rekan bisnis bosnya itu, adalah tak sengaja bertemu usai acara seminar.
“Foto itu, saya hanya nggak sengaja ketemu di saat selesai acara seminar urusan kampus saya.” Aditya berusaha menjelaskan dengan tenang. “Dan bukti transfer ini, saya beneran nggak tahu apa-apa. Saya berani bersumpah, nggak ada terpikir mengkhianati anda apa pun yang terjadi.”
Terdengar helaan napas dari bosnya itu. Aditya adalah salah satu orang kepercayaannya, yang sangat dia andalkan dalam berbagai macam hal. Apa iya lelaki berusia 33 tahun itu berniat mengkhianatinya? Ada seseorang yang melapor padanya jika Aditya mendekat kepada rekan bisnisnya. Dia tahu, Aditya menanggung beban berat di keluarganya, apa iya lelaki itu melakukan apa pun demi uang?
“Saya berani bersumpah demi apa pun. Tolong percaya sama saya. Bertahun-tahun bekerja bersama anda hingga saya bisa menghidupi anggota keluarga saya, apa iya saya akan semudah itu berpaling dari anda?”
Bosnya itu terdiam. Hingga beberapa saat, dia bangkit berdiri. Biasanya, dia tak akan berpikir panjang dan menarik pistolnya untuk menembak siapa pun anak buahnya yang berkhianat atau melakukan kesalahan fatal. Entah kenapa, dia agak ragu juga dengan Aditya ini. Selama bekerja dengannya, Aditya selalu bernilai plus di matanya. Dan dia pun diam-diam telah merencanakan sesuatu yang besar untuk lelaki itu.
“Untuk sementara, kamu jangan datang ke sini dulu,” ujar bos dan bangkit berdiri. “Saya akan hubungi kamu lagi nanti… setelah pikiran saya tenang.”
Aditya hanya bisa mengangguk pasrah. Cobaan mana yang tak dihadapi olehnya?