Bab 8 —Bertemu di Bengkel

2007 Words
Ratu mendecih di dalam hatinya. Sungguh, pujiannya hanya terlontar di mulut saja. Untungnya, Ratu bisa mengelola ekpsresinya. Jawaban dari dosen di depan matanya ini begitu menyebalkan, tetapi Ratu tetap berusaha tersenyum manis. Tak boleh galak-galak demi kelancaran skripsinya. Kecuali nanti semisal kesabaran Ratu yang agak minim ini, menguap. Lihat bagaimana nanti saja. Apa katanya? Dalam seminggu sudah harus menyerahkan bab satu? Yang benar saja. Meski dia sudah menguasai materi, tetap saja menyusun untuk bab satu itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Sabar, Atu... enggak boleh emosi dulu. Ratu menarik napas, lalu kembali tersenyum. "Kenapa nggak jawab? Kamu nggak sanggup?" Beuuhhh... Ratu pantang sekali diremehkan. Dia akan berusaha menyelesaikan bab satu tersebut dalam waktu seminggu. "Saya sanggup, Pak," ujar Ratu tak gentar. "Minggu depan saya akan menghadap ke Bapak lagi. Tanggal berapa kira-kira seminggunya, Pak? Apa pada hari Rabu ini juga?" "Nanti saya akan infokan lagi. Atau kamu ingatkan saya semisal saya lupa memberikan info." Tak terasa, ada hampir sekitar setengah jam Ratu berada di dalam ruangan itu untuk bimbingan pertamanya. Rasa jengkel, optimis, dan semua campur aduk. Ingin rasanya dia melayangkan sebuah pukulan ke wajah dosen yang dianggap tampan oleh kebanyakan mahasiswi itu. Dari tadi juga, tak ada senyum yang ditunjukkan oleh sang dosen meski Ratu menampakkan wajah ramah yang terkadang tersenyum manis. Hanya raut wajah datar yang ditampakkan dosen tersebut. Apa lelaki itu tak pernah tersenyum? Ratu jadi penasaran. Selama mengajar di kelasnya pun, tak ada pernah Ratu mendapati lelaki itu tersenyum. "Ada lagi masukan, Pak?" Ratu berusaha tetap tenang—memasang senyum semanis mungkin, walau pun bokongnya sudah ingin cepat beranjak dari kursi dan hatinya yang dongkol. Nanti juga ada waktunya gue debat kalau udah keterlaluan orang ini. "Cukup untuk hari ini." "Baik. Terima kasih, Pak." "Satu lagi. Saya enggak suka mahasiswa yang enggak disiplin. Jadi, jangan pernah mengulur waktu bimbingan yang sudah ditentukan." "Saya mengerti, Pak." Tentunya Ratu sangat paham tentang itu. "Terima kasih untuk bimbingannya hari ini." Ratu kemudian bangkit berdiri, dan melangkah ke arah pintu. "Ratu Arsyila!" Ratu seketika menghentikan langkahnya, berbalik badan ketika mendengar suara sang dosen memanggil namanya. "Ya? Ada apa, Pak?" "Hati-hati di jalan." Ratu mengernyit. Terlalu terkejut mendengarkan kata-kata yang keluar dari mulut lelaki itu. Dia sampai mengerjap-ngerjap, tak percaya rasanya. Apa pendengarannya salah? "Mahasiswa akhir lagi berjuang untuk lulus, saya selalu mendo'akan agar kalian semua sehat selalu mencapai tujuan. Hati-hati dalam berkendara dan jangan membuang waktu untuk hal yang tidak penting, fokus dengan skripsimu." Ratu mengangguk. Berarti dia tak salah dengar barusan. "Terima kasih, Pak," ucapnya sembari tersenyum. Sedangkan Aditya, lelaki itu tulus berucap seperti itu. Terbayang akan perempuan itu yang dihadang pembegal malam-malam. Jujur, Aditya agak khawatir. Dia rasanya ingin melindungi Ratu. Seseorang yang merupakan anak dari bosnya dulu yang begitu baik padanya. Sebisa-bisanya perempuan bela diri, tetap saja tenaganya kalah dari laki-laki, apa lagi jika jumlah laki-laki yang tengah dihadapi tak hanya satu. Begitu keluar dari kelas, Ratu langsung menghampiri Vika yang telah menunggunya di bawah sebuah pohon. Barusan sahabatnya itu berkirim pesan kepadanya. "Gimana? Gimana day one bimbingan sama Pak Dosen ganteng?" tanya Vika setelah Ratu duduk di sebelahnya. "Ribet nggak?" "Nggak, sih. Judul yang gue ajuin langsung acc. Tapi... " Ratu menghela napas, ingat akan bab satu yang harus segera dikerjakan dalam waktu satu minggu. Dan itu bukan hal yang mudah. "Ada nyebelinnya itu dosen. Emang dia itu sensi kayaknya sama gue. Yakin deh!" "Nyebelin kenapa, sih?" "Minggu depan—dalam waktu seminggu, gue udah harus nyerahin bab satu. Gila nggak? Iya sih, gue paham sama materi yang bakalan gue garap, tapi kan itu enggak mudah menyusun kata-katanya." "Secepat itu?" Ratu mengangguk lemas. Tadi saja dia yang memasang raut wajah meyakinkan, karena tak ingin dipandang remeh oleh dosennya itu. Ratu tak suka diremehkan. "Gue harus kerja keras mikir, Vik. Emang ya, dari awal feeling gue enggak enak banget kebagian dospem di Aditya sialan itu." Kalimat terakhir yang Ratu lontarkan, dipelankan olehnya sambil melirik kiri kanan. Takut-takut nanti si Aditya itu nongol tiba-tiba. "Gue makin yakin sama do'a gue. Semoga itu dosen susah dapat jodohnya. Enggak ada yang mau sama dia, yang galak dan pelit senyum. Muka datar, kaku kayak kanebo kering setelah dijemur." Vika hanya tertawa-tawa saja, tidak meng'aamiinkan ucapan sahabatnya itu. "Gue nggak kebayang kalau benci tiba-tiba jadi cinta suatu saat nanti." Ratu berdecih. "Jauh-jauh, ya Tuhan! Ogah amat punya pasangan modelan begitu. Udah tua, mana ekspresinya selalu datar, yang ada makan hati gue karena kesal. Nggak akan! Cowok-cowok Korea gue masih banyak. Nggak bakalan gue sampe ada feeling sama dosen aneh itu." "Tiati jilat ludah sendiri." "Iyuuuhhhh... nggak bakalan! Lagi gue masih sangat muda dan imut begini, ya kali suka sama spek om-om." "Dibilang bukan kayak om-om dosen satu itu." "Tetap aja, Vik! Dengar-dengar dia umur 33 atau 34 gitu, kan beda belasan tahun sama kita." "Umur nggak masalah, selagi— " "Stop, Ga!" Ratu menutup kedua telingannya dengan tangan. "Gue enggak akan tertarik sama modelan begitu." Vika senang sekali meledek temannya satu itu. "Eh, tapi, Vik, tadi sebelum gue keluar ruangan, dia bilang 'hati-hati di jalan'. Katanya dia ingin semua mahasiswanya sehat selalu dalam mencapai tujuan. Begitu. Sok care banget sama mahasiswa." "Nah, berarti dia itu nggak seburuk yang lo kira deh!" "Tetap nyebelin bagi gue. Inget gue harus mikir keras buat segera nyusun bab satu." *** Ratu hari ini menginap di rumahnya Vika. Sebelum ke sana, dia sempat pulang ke rumah terlebih dahulu bersama Vika juga. Orang tua Vika tak ada di rumah, sedang pulang kampung. Makanya, Ratu ingin menemani Vika meski perempuan itu ada adik laki-lakinya juga di rumah yang masih sekolah. Itu sebabnya bukan Vika saja yang menginap di rumahnya Ratu, karena Vika harus menyiapkan makan untuk sang adik dan membangunkan untuk berangkat sekolah juga. Tak membawa laptop ke rumahnya Vika, Ratu semalam ini ingin mengobrol-ngobrol dan menonton drama saja bersama sahabatnya itu. Besok saja mulai sibuk memikirkan skripsinya itu. Pada sore hari, Vika mengajak Ratu jalan-jalan ke sekitar memakai motor. Meski ada mobilnya Ratu, keduanya sedang ingin menggunakan motor. Vika lah yang mengendarai motor tersebut. Ratu bisa, namun tak seahli Vika. Sedangkan Vika memang sudah terbiasa ke mana-mana menggunakan motor, karena dia tak memiliki mobil. Keluarganya Vika berasal dati keluarga sederhana, untuk kuliah di universitas yang sama dengan Ratu saja dibantu oleh orang tuanya Ratu. Kedua orang tuanya Ratu telah menganggap Vika seperti anak mereka sendiri. "Gue pengen telur gulung, Vik!" seru Ratu dari belakang. Sekalinya mencoba beberapa tahun lalu makanan ini, Ratu jadi suka. Meski Vika bilang bahwa itu adalah cemilan rakyat jelata macam dirinya, Ratu merasa biasa saja memakan makanan yang rata-rata dijual di pinggir jalan tersebut. "Oke. Di dekat indoapril depan ada yang jual kayaknya. Mau ke sana sekarang?" "Boleh." "Ya udah. Gue sekalian ada yang mau dibeli juga di indoapril." Tiba di sana, Ratu pun membeli telur gulung sebanyak sepuluh tusuk untuk dimakannya sendiri. Vika tak begitu suka, jadi Ratu hanya membeli untuk dimakannya sendiri saja. "Gue habisin ini dulu, baru jalan lagi ya, Vik," ujar Ratu pada Vika ketika pesanan telur gulungnya telah selesai dibuatkan. "Enak yang anget begini makannya." "Iya... iya. Mau beli apa lagi setelah ini?" Ratu itu makannya cukup banyak, tetapi badannya tak gemuk. Ratu itu langsing dan imut pula. Mungkin karena perempuan itu sering olahraga. "Belum ada pengen yang lain, sih. Nanti malam, mungkin. Entar kita kalau enggak keluar lagi, delivery aja." "Siap, Bu Bos!" Setelah Ratu menghabiskan telur gulung tersebut, keduanya langsung ingin pulang saja. Apesnya, saat di tengah jalan tiba-tiba motor yang dikendarai Vika itu mogok. Tak bisa di starter, meski sudah berulang kali mencoba. "Kayaknya gue mesti dorong ini ke bengkel deh, Tu. Mau cari bengkel dekat sini, lo bisa duluan aja pulang ke rumah gue," ujar Vika merasa tak enak dengan Ratu. Tak menyangka jika motornya akan kumat lagi setelah sekian lama. Vika tak ingin Ratu ikut dirinya mendorong motor, sedangkan dia belum tahu persis bengkel adanya sebelah mana. Ada satu bengkel langganannya dan itu berada sebelum gang ke rumahnya. "Gue ikut lo aja. Kita dorong sama-sama motornya." "Tapi, Atu— " "Kenapa, sih? Mau bilang kalau orang kaya nggak boleh ikutan dorong motor?" Ratu sungguh paham ada yang ada di dalam pikirannya Vika. Sudah berteman lama, tetap saja Vika kadang sungkan kepadanya. Vika menggaruk kepalana yang tak gatal itu. "Tu... " "Ayo!!" Akhirnya kedua orang itu mendorong motor karbu milik Vika. Ratu malah kelihatan enjoy saja ikut mendorong motor sahabatnya itu. Hingga beberapa menit kemudian, Ratu melihat sebuah bengkel yang terletak di sebarang jalan tak jauh dari mereka. "Akhirnya ketemu bengkel juga... " Vika mendesah legah. Dia yang merasa paling lelah dibandingkan Ratu yang tampak tak ada guratan lelah di wajahnya. Tiba di bengkel, Ratu dan Vika saling tatap karena mendapati seseorang yang mereka kenal sedang berpakaian layaknya seorang montir, baru saja keluar dari kolong sebuah mobil. Menang bengkel ini tak hanya untuk mobil saja, tetapi juga melayani pengguna motor. "Kenapa motornya?" tanya seseorang yang tak lain adalah Aditya, menghampiri kedua orang itu saat baru saja selesai final checking sebuah mobil. Saat ini hanya dua orang yang berada di bengkel, sementara satu lagi tadi ada urusan pulang duluan. Tak ramai hari ini pengunjung bengkel, namun temannya sedang memeriksa sebuah motor juga. "Mo-motor saya tiba-tiba nggak bisa distarter, Pak," ujar Vika terbata. Sementara Vika berbicara dengan sang dosen, Ratu menyimak. Namun, isi kepala perempuan itu jadi berisik. Aditya ini, apa yang punya bengkel ini dan bekerja melayani konsumen sekaligus? Pekerja keras sekali. Tapi kalau tidak, untuk apa dia capek bekerja di tempat begini juga selain menjadi dosen? Ratu biasanya tak peduli dengan apa pun urusan orang kecuali orang-orang terdekatnya, akan tetapi tak tahu kenapa kepalanya tiba-tiba berisik ingin tahu tentang dosen menyebalkan di matanya itu. Ratu langsung mengalihkan pandangan saat Aditya mendongak dan pandangan mereka beradu. Ratu pura mnegedarkan pandangan ke arah sekitar. "Vik, gue pengen ke toilet bentar." "Toilet ada di sebelah kanan ujung sana." Aditya menyahuti ucapan Ratu. "Terima kasih," ucap Ratu tanpa tersenyum. Ratu pun melangkah menuju toilet yang dimaksud oleh Aditya itu. Ratu mendadak mules. Cukup lama dia di dalam toilet, ada sekitar 15 menitan. Setelah mencuci tangan di wastafel, Ratu kembali ke tempat tadi motornya Vika sedang diperbaiki oleh Aditya. Namun, dia tak menemukan keberadaan sahabatnya itu di sana. "Pak, teman saya tadi ke mana, ya?" "Dia pergi," jawab Aditya tanpa menoleh ke arah Ratu. "Barusan sekali naik ojek pangkalan sana." "Hah? Dia nggak bilang apa-apa, gitu, Pak?" Ratu pun mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan dia mendapati panggilan tak terjawab serta pesan sekitar 5 menit lalu dari Vika. "Dia buru-buru pergi dan suruh bilang sama kamu kalau ada urusan mendadak setelah terima telepon. Dia nangis, terus langsung lari ke arah tukang ojek." Ratu tak menyahut. Dia hanya membaca pesan singkat dari Vika yang mengatakan bahwa adiknya kecelakaan. ratu mencoba menghubungi Vika bertanya di mana perempuan itu berada saat ini, namun tak ada jawaban. Mungkin Vika sedang panik atau masih berada di jalan, entah. Ratu pun ikut cemas, karena orang tuanya Vika berada di luar kota saat ini. Bagaimana biaya rumah sakit semisal ada sesuatu parah terjadi pada adiknya Vika? "Pak, motornya— " "Bentar lagi selesai," sahut Aditya. "Nanti mau di antar atau kamu tunggu sebentar dan bawa motor ini pulang?" "Berapa lama lagi kira-kira, Pak?" Ratu sambil terus berusaha menghubungi Vika, tetapi belum ada respon juga dari sahabatnya itu. "Kira-kira 15 menit'an lagi." Ratu pun akhirnya menunggu motornya Vika diperbaiki. Sambil menunggu, dia duduk dan menghubungi orang tuanya, tetapi tak diangkat juga. Ratu kembali menghubungi Vika, tak juga direspon teleponnya, malah telepon yang Ratu hubungi itu sibuk. Ratu berpikir jika Vika mungkin saja sedang menghubungi orang tuanya, panik dengan keadaan sang adik. Tak lama, motor Vika selesai di service. Ratu langsung berdiri. "Jadi berapa totalnya, Pak?" "Enggak usah dibayar." Ratu mengernyit. "Serius, Pak?" "Hmmm." "Masa gratis sih, Pak?" "Sekali ini aja." Aditya membersihkan tangannya dengan sebuah lap, lalu pergi begitu saja meninggalkan Ratu. "Agak laen itu orang," dengus Ratu menatap punggung lelaki itu yang telah melangkah pergi. "Dia baik atau gimana, sih? Ah, jangan berpikiran singkat hanya karena digratisin service motor di sini. Dia tetap ngeselin karena minta gue langsung ngerjain bab satu dalam waktu seminggu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD