Bab 7 — Pertemuan Pertama

1613 Words
Tak ada tugas khusus, tentunya Aditya tak selalu harus datang ke markas. Walau pun datang, biasanya hanya sekedar setor muka saja sesaat. Aditya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, mengurus ayahnya. Meski ada kedua adiknya di rumah juga, Aditya yang lebih dominan mengurus jika dia sedang ada di rumah juga. Bukan berarti adiknya tak mau membantu, mereka semua saling bekerja sama untuk mengurus ayah mereka, tetapi Aditya yang ingin mengurus ayahnya saat membutuhkan bantuan. Pada malam yang tenang di sebuah kamar sederhana dengan lampu kamar yang tak begitu terang, Aditya mengobrol dengan ayahnya. Sang ayah yang terbaring di atas kasur, dan Aditya yang duduk di sebuah kursi kayu di dekat ranjang. "Ayah nyusahin kamu aja ya, Dit? Selama ini, kamu yang memikul beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab ayah." Aditya menggeleng cepat. Memang sejak sekolah beban hidupnya sudah besar, saat yang lainnya hanya sibuk sekolah, Aditya tak bisa begitu. Dia memutar otak, hingga akhirnya kepikiran mau bekerja paruh waktu. Melamar ke sana-sini ditolak karena dirinya masih sekolah yang menggunakan ijazah SMP, sekali pun menjadi pelayann di sebuah restoran pun tetap tak diterima. Aditya bersyukur ada seseorang yang baik hati mau memperkerjakannya, saat Aditya sudah ditahap pasrah melihat ada lowongan pekerjaan di depan sebuah ruko. Dia diterima bekerja di sana, freelance usai pulang sekolah. Bosnya di sana tak lain adalah mama dari mahasiswi yang akan bimbingan skripsi dengannya. "Ayah merasa nggak berguna banget." Bukan sekali dua kali ayahnya berbicara seperti itu. Aditya sedih mendengarnya, apa lagi saat ayahnya berkata lebih baik mati saja dari pada hidup menyusahkan anaknya. "Yah, jangan ngomong kayak begitu. Udah jalannya seperti ini. Dan aku... ikhlas." Ayahnya menggeleng lemah. "Di umur segini, kamu seharusnya udah menikah dan punya anak, Dit. Bukannya masih repot ngurusin ayah dan adik-adik kamu dua orang lagi. Kamu memikirkan kami semua sampai nggak mikirin diri kamu sendiri." "Aku pasti akan menikah suatu saat nanti, Ayah. Aku akan menikah pada waktu yang tepat. Menikah itu bukan hanya karena patokan umur, tapi tentang bagaimana tentang kesiapan dalam segala hal." "Kamu punya pacar?" Aditya menggeleng. "Aku belum menemukan seseorang yang tepat," ujarnya yang tentu saja berbohong. Pada kenyataannya, Aditya tak berani untuk mendekati seseorang hingga saat ini. Karena faktor pekerjaan sampingannya, di sisi lain dia merasa masih memiliki tanggung jawab yang besar yang takutnya tak mudah bagi seseorang untuk menerima keadaannya. "Nanti... aku pasti akan menemukan seseorang itu." Aditya selama ini tak pernah menjalin hubungan dengan seseorang. Jika dulu dia terlalu sibuk mengejar pendidikan sembari mencari uang, setelah pendidikannya selesai, dia lebih gila-gilaan lagi bekerja memenuhi kebutuhan semua anggota keluarganya. Apa lagi setelah ibunya meninggal dan ayahnya hanya bisa duduk di kursi roda saja. Ayahnya yang awal-awal harus therapi, mulai dari situ lah dulu Aditya akhirnya terjun ke dunia kelam. Bagaimana bisa Aditya meng-cover segalanya jika hanya bekerja sebagai seorang dosen saja? Jika mengambil job freelance pun di sebuah perusahaan pun, tetap tak akan cukup juga untuk memenuhi segalanya. Makanya, Aditya menempuh jalan pintas di tengah keputusasaannya kala itu. Sesuatu yang besar yang dia dapatkan, bukan dari jalan yang lurus. Aditya sangat tahu jika dirinya masuk ke dalam sebuah kubangan lumpur, akan tetapi dia bisa mendapatkan emas di dalam kubangan tersebut. "Ayah enggak usah khawatir tentang jodohku." "Jangan pikirin soal ayah kalau udah nemu jodohnya kamu. Ayah akan baik-baik aja di sini." Tentunya Aditya telah berpikir panjang ke depannya. Semisal nanti menikah, dia akan tetap memantau kondisi ayahnya meski sang ayah tetap ingin tinggal di rumah ini. Untuk biaya hidup juga tetap akan ditanggung olehnya, tak akan dia bebankan kepada adik-adiknya. Aditya melirik jam di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. “Udah jam setengah sepuluh. Ayah tidur duluan aja, ya? Aku ada yang mau dikerjain dulu sebentar.” Membawa sebuah laptop keluar kamar, Aditya mendapati adik bungsunya yang bernama Dio duduk di kursi dengan TV menyala di depannya. “Belum tidur?” tanyanya kepada sang adik yang masih sekolah tersebut. “Tadi tidur menjelang sore. Belum ngantuk aku.” Aditya manggut-manggut. Ikut duduk di sebelah adiknya itu. Dia pun mulai membuka laptopnya. “Bang… “ “Hmmm?” Aditya menyahut tanpa menoleh. “Nanti aku enggak usah lanjut kuliah, ya? Atau aku mau cari kerjaan dulu, baru lanjut kuliah.” Aditya baru menoleh begitu mendengar ucapan adik bungsunya itu. “Kenapa?” “Nggak mau nyusahin Abang. Biar aku kerja aja dulu, ngumpulin uang.” “Nggak… nggak bisa begitu. Belum tentu langsung dapat pekerjaan, karena enggak mudah mencari kerja itu. Belum lagi kamu harus mengatur waktu untuk kuliah sambil bekerja, itu enggak mudah.” “Tapi Abang dulu bisa begitu.” Aditya menggeleng. “Enggak semudah yang terlihat, Dio. Udah, kamu fokus belajar aja yang rajin biar bisa keterima di salah satu universitas favorit. Soal biaya, enggak usah khawatir. Abang masih sanggup buat kuliahin kamu. Lagi juga, Sukma kan sedikit lagi lulus dan bekerja. Jadi, hanya tinggal kamu satu-satunya adek yang menjadi tanggungan Abang.” “Ta-tapi… Abang juga harus mengumpulkan uang buat masa depan Abang nanti sama istri.” “Jangan kamu pikirkan soal itu. Abang pastinya udah memperhitungkan segalanya.” Aditya ada sedikit demi sedikit menyisihkan tabungan untuk masa depan juga, meski belum ada bayangan sama sekali akan bagaimana masa depannya. Perempuan seperti apa yang tulus bisa menerimanya segala hal tentangnya? Aditya hanya ingin semua adiknya mendapatkan pendidikan yang baik, dan bekerja setelahnya. Apa lagi adiknya itu laki-laki, harus mendapatkan pekerjaan yang layak nantinya. *** "Masih ada banyak orang di dalam?" tanya Ratu kepada salah satu mahasiswa yang baru saja keluar dari sebuah kelas. Ratu sampai menghitung beberapa orang yang telah keluar dari ruangan itu, malas jika berkirim pesan langsung bertanya kepada dosen pembimbingnya yang tengah berada di dalam sana. "Enggak, sih. Cuma ada dua atau tiga orang lagi kayaknya." Mahasiswa tersebut mengedikkan bahunya. "Oke. Thanks." Setelah menunggu sekitar 5 menitan dan merasa tak ada lagi mahasiswa yang berada di dalam sana, Ratu bersiap hendak memasuki ruangan tersebut. Ratu menarik napas, lalu melepasnya perlahan. Jadwal pertama bimbingan dengan pengajuan judul terlebih dahulu, dilaksanakan di sebuah ruangan usai dosen tersebut selesai mengajar pada siang hari. Ratu deg-degan, tak terbayang olehnya akan bagaimana face to face dengan dosen killer yang sayangnya tetap banyak dipuja-puja oleh banyak mahasiswi di kampus ini, karena fisik yang dimiliki lekaki itu. Ratu sering terheran-heran, apanya yang menarik dari lelaki itu? Memiliki postur tubuh yang tinggi dan wajah yang mempesona dengan bahu yang lebar, begitu kebanyakan ujar beberapa mahasiswi termasuk Vika yang juga mengatakan hal yang sama. Akan tetapi, semua tampak biasa saja bagi Ratu. Meski dia sampai berkali-kali memastikan penglihatannya. Perlahan, Ratu membuka pintu dan tatapan matanya langsung bertemu dengan sang dosen yang duduk di sebuah kursi dengan meja di hadapannya. Dosen tersebut langsung membuang pandangan lebih dulu. “Siang, Pak,” sapa Ratu dengan suara yang dibuat selembut mungkin, begitu sudah tiba di depan meja. “Siang.” Aditya, lelaki itu menyahut datar, tanpa menoleh dari layar laptop di depannya. “Ambil satu kursi dan duduk.” Ratu mengangguk. Lalu, menarik sebuah kursi untuk duduk di seberang dosen tersebut. Aditya, lelaki itu itu beralih dari laptopnya dan menatap Ratu. “Udah siapin judulnya? Mana, coba jelaskan kenapa kamu memilih judul tersebut.” “Udah, Pak. Saya menyiapkan dua judul. Saya mohon koreksi dan saran dari Bapak, judul apa yang sebaiknya saya gunakan.” Ratu yang awalnya deg-degan, perlahan mulai luwes menjelaskan kedua judul yang telah dipersiapkannya. Karena waktu itu Ratu magangnya di kantor pajak, dia mengambil judul skripsi yang berhubungan dengan pajak. Salah satu judulnya yang cukup berat pembahasannya adalah, ‘Analisis Efisiensi Perpajakan dalam Mengumpulkan Pendapatan Negara’. “Menarik judulnya untuk yang satu itu,” ujar Aditya setelah Ratu menjabarkan judul kedua untuk skripsinya. “Tapi… apa kamu yakin sanggup menganalisa judul yang kamu pilih tersebut? Sekarang saya tanya, di antara kedua judul itu, yang mana yang lebih kamu kuasai materi dan analisis datanya?” “Keduanya… saya yakin mampu,” ujar Ratu dengan percaya dirinya. Terlahir dari orang tua pebisnis yang melek ekonomi, Ratu sudah menguasai ilmu ekonomi secara teori atau pun menyaksikan langsung sejak masih duduk di bangku SMA. “Pilih salah satu tang menurut kamu terbaik.” “Saya ingin untuk judul yang kedua sebenarnya, Pak. Menurut Bapak, bagaimana? Saya mohon sarannya.” Aditya menghela napas. Judul yang akan mahasiswinya itu buat, cukup berat pembahasannya. Aditya hanya tak ingin sang mahasiswi stress jika mengambil judul yang terlalu berat. Akan tetapi jika mahasiswinya itu berkata sanggup, Aditya akan acc saja. Dia akan membimbing nantinya dengan baik. Tak akan ada diskriminasi untuk mahasiswa mana pun. Aditya hanya melakukan tugasnya dengan baik, dan ingin mahasiswanya disiplin dalam mengerjakan tugas akhir masa kuliah tersebut. Tidak menunda-nunda dan datang saat jadwal bimbingan. “Take it! Jika kamu telah yakin dengan apa yang akan kamu kerjakan.” “Judul yang saya ajukan di acc, Pak?” tanya Ratu memastikan. “Hmmm.” Ratu tak menyangka jika judul yang akan diajukannya akan langsung di acc. Padahal, dia sempat nethink tadinya. Ratu tersenyum legah. “Kenapa?” tanya Aditya melihat mahasiswinya itu yang tampak senyum-senyum. “Bapak baik juga ternyata.” Ratu langsung membekap mulutnya. “Eh, mak-sudnya, saya bersyukur dapat dosen pembimbing yang baik seperti Bapak. Judul saya bisa langsung di acc.” Bagus sekali pujiannya, Atu! Pujian yang sangat bagus terlontar, bertolak belakang dengan isi hatinya yang entah kenapa masih sebal saja dengan dosen satu ini. Yang telah mengotori IPnya kala itu dengan nilai ‘C’. Ratu si perfeksionis ini, masih saja sensi dengan itu. “Kata siapa saya dosen pembimbing yang baik?” sahut Aditya dengan satu alis terangkat. “Jangan langsung mengambil kesimpulan, karena ini baru pertemuan pertama. Siapkan diri kamu untuk pertemuan selanjutnya. Seminggu dari sekarang, bisa langsung setor bab satu? Kan katanya kamu udah menguasai materinya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD