Bab 6 — Nomor HP

1532 Words
Setelah menimang-nimang, sebelum ke kampus hari ini yang mana akan berangkat agak siangan, Aditya mendatangi rumahnya Ratu. Rumah yang dia hapal letaknya karena bukan pertama kali semalam saja ke sana. Dulu pernah beberapa kali berkunjung yang berkaitan dengan pekerjaan tentunya. Aditya memasukkan gelang tersebut ke sebuah kotak kecil, lalu membawanya dengan sebuah paperbag kecil pula. Dia semalam tak pulang—menginap di rumah bosnya dengan rekannya yang lain karena semalam dirinya berbicara dengan bos serta rekannya sampai larut. Aditya begitu mengantuk setelahnya, kelelahan juga dengan aktivitasnya seharian. Nyaris dini hari lelaki itu baru tidur. Ke rumah mantan bosnya, Aditya tetap menggunakan buff dengan menggunakan motor sportnya. Perempuan bernama Ratu itu tak perlu tahu jika dia—dosen yang diumpati perempuan itu yang telah menolong semalam. Begitu tiba di sana, Aditya menemukan asisten rumah tangga yang tampak sedang membersihkan garasi di balik pagar rumah. Aditya pun menitipkan paperbag berisi gelang tersebut. Tak bisa berlama-lama di sana menunggu karena dia harus menukar motor, lalu ke kampus. Sedangkan Ratu yang tak lama kemudian menerima paket gelang tersebut dari asisten rumah tangganya, kali ini tengah sarapan sambil teleponan dengan Vika lagi. "Kalau orangnya cakep, bertambah-tambah lagi cakepnya karena udah nolongin gue dan nemuin gelang gue juga. Sampe anterin ke sini juga," ujar Ratu yang senyum-senyum membayangkan seperti apa wajah di balik penutup wajah yang digunakan oleh lelaki yang telah menolongnya tersebut. "Oke, gue kesampingin bias gue, kalau itu orang jadi pacar gue." "Gimana kalau dia umurnya jauh lebih tua dari elo, Tu? Mas-Mas gitu?" "Enggak masalah," jawab Ratu cepat. "Yakin?" Vika mencebik di seberang sana. Ingat akan Ratu menyebut 'om-om' kepada sang dosen tampan berusia 33 tahun di kampus mereka. "Kalau tuanya itu umur 30 tahunan, gimana? Yakin masih mau dijadiin pacar yang gapnya jauh begitu?" "Kenapa enggak? Kalau mukanya masih kelihatan muda, enggak masalah. Eh, tapi, dari suaranya kayak bukan Bapak-Bapak sih, Vik. Kayaknya enggak setua itu deh!" "Lo udah kayak paling tau aja bedain suaranya Bapak-Bapak sama orang yang masih muda." "Ya tahu lah, Vik! Contohnya aja suara papa gue dan Kakak Al, ya beda jauh." "Hmmm. Eh, Tu, lo tahu plat motornya kata lo tadi, kan? Kenapa nggak coba lacak aja? Nanti lo bisa tahu nama pemiliknya, dan cari tahu apa pun dari nama lengkapnya itu. Kali ketemu." "Iya, ya? Gue baru kepikiran. Tumben lo pinter, Vik?" "Pinter gue itu, Atu. Cuma lo tahu, gue suka malas." Ratu memutar bola matanya. Mana dia percaya kalau temannya yang satu itu pintar? Dia sudah cukup lama berteman dengan temannya yang satu itu. "Gue iyain aja deh, Vik. Biar elo senang." Terdengar tawa Vika di seberang sana. "Makasih calon kakak ipar yang paling cantik dan pintar sedunia." Ratu berdecak. Vika ini suka bilang jika mengagumi kakaknya Ratu, Alvaro. Kakaknya yang menurutnya punya tampang pas-pasan begitu, dibilang tampan oleh Vika? Ratu suka heran dengan sahabatnya yang satu itu, pasalnya yang dinilai tampan oleh perempuan itu menurut Ratu tidak ada tampannya sama sekali. Contohnya, Kak Alvaro dan dosen pembimbingnya Ratu, si Aditya. Matanya Vika perlu diperiksa sepertinya. "Kak Alvaro sekarang ini punya pacar nggak sih, Tu?" "Auk! Gue enggak ngurusin." Lagi, Vika tertawa mendengar jawaban ketus temannya tersebut. Dia tahu jika kedua orang adik kakak itu suka ribut, akan tetapi saling menyayangi sebenarnya. Ratu dan Alvaro, kedua adik kakak itu tampak sempurna di mata Vika. Tak hanya terlahir dari keluarga kaya raya, tetapi keduanya juga menonjol dari segi fisik, cerdas pada bidang masing-masing dan juga tidak sombong. "Salam sama calon pacar gue ya, Tu?" "Najong! Kayak enggak ada laki-laki lain aja selain dia. Udah, entar gue cariin asal bukan dia. Lo nggak tahu aja, dia itu playboy gue rasa. Enggak percaya gue kalau dia itu enggak punya pacar. Pasti pacarnya lebih dari satu." Menurut Ratu, kakaknya itu suka tebar pesona sana-sini. Dan sepertinya memiliki kekasih lebih dari satu. "Engineering boys yang lagi belajar finance, keren banget Kak Alvaro itu. Dah ah, gue mau kakak lo aja. Udah paket komplit soalnya." "Apaan yang dibanggain dari engineer kayak kakak gue begitu? Enggak ada, ya! Minus semua dia! Red flag. Lo better cari yang lain kata gue, nggak ada yang pantas dikagumi dari kakak gue itu dilihat dari sisi mana pun. Eh, jadi ke kampus nggak today? Jam 10'an kalau jadi," ujar Ratu mengalihkan di akhir kalimatnya. Muak sekali jika harus membahas sang kakak yang sering tak akur dengannya itu. Meski begitu, dia adalah salah satu sumber keuangannya Ratu selain kedua orang tua mereka. "Oke. Gue baru mau mandi, udah sarapan." "Siap! Nanti gue jemput." "Yap. Ciiee... yang mau ketemu Pak Aditya lagi." Ratu berdecak sebal. Malas sebenarnya hendak berurusan dengan dosen yang satu itu. Hari ini memang niatnya ke kampus untuk bertemu itu dosen. Kemarin dia chat nomor ketua kelasnya dulu meminta nomor dosen pembimbingnya tersebut, tak dibalas. Boro-boros dibalas, dibaca pun tidak. Dia juga tak menemukan sosok lelaki itu di kampus. Entah dia mulai skripsi berbarengan juga atau tidak, Ratu tak tahu. "Dospem lo mah enak, Vik. Boleh tukeran aja nggak, sih? Biar gue yang sama Bu Sri. Dan elo yang sama si Aditya yang kata lo ganteng itu? Biar lo bisa puas-puasin mandang dia dari dekat?" Vika terkekeh. "Mau-mau aja gue kalau boleh." Vika ini mengagumi para lelaki tampan, termasuk Aditya itu. Tetapi, Vika lebih dominan kepada kakaknya Ratu. Vika sebenarnya tak sekedar kagum saja kepada kakak dari sahabatnya itu. Vika benar-benar menyukai Alvaro, namun selalu membawa obrolan tentang lelaki itu dalam sebuah candaan. "Tuh kan, labil banget. Belum beberapa menit, pengen sama kakak gue. Tapi sekarang gue bilang pengen ganti dospem, lo ayo-ayo aja. Pengen menggatal kayaknya sama dosen perjaka tua itu." Vika ngakak mendengar Ratu menyebut Aditya itu 'perjaka tua'. "Yang sebenarnya mau sama Kakak lo sih, Tu. Tapi, dia kayaknya sulit digapai dan lo juga nggak merestui, jadi ya udah, gue cuci mata aja ngagumin yang lainnya dulu. Sambil menunggu waktu yang pas untuk maju lagi ke arah Kak Alvaro." "Stress." Ratu geleng-geleng kepala. "Ya udah sana mandi! Entar jangan gue udah sampe sana, lo masih belum selesai pakai alis." *** Aditya spontan menghentikan langkahnya ketika hendak berpapasan dengan Ratu, begitu juga dengan Ratu. Perempuan itu sendirian saat ini, karena Vika barusan menemui dosen pembimbingnya. Ratu memasang raut wajah pura-pura manis. Tersenyum kepada dosennya itu. Sang dosen yang tengah memakai ransel hendak menuju ke ruang dosen itu, hanya menatapnya datar. Tetapi tak kunjung beranjak dari hadapan Ratu. "Pak, maaf, boleh minta waktunya sebentar?" Ratu menipiskan bibirnya sembari mengusap pipinya yang tak gatal, takut-takut salah bicara. "Barusan mau ke ruangan Bapak, tapi ketemunya di sini." "Ada apa?" "Pak, saya nggak ketemu sama ketua kelas yang ada nomornya Bapak itu. Kayaknya dia jarang ke kampus juga, nggak tahu skripsian juga atau enggak. Jadi... " Ratu menarik napas sejenak. Hendak meminta nomor ponsel atau email untuk komunikasi, kenapa susah sekali rasanya? "Apa?" Aditya menaikkan alisnya. "Sa-saya... boleh minta nomor telepon atau alamat email Bapak secara langsung aja nggak sekarang? Tolong lah, Pak, jangan dipersul— " "Catat nomor HP saya." Melihat Ratu, Aditya jadi ingat akan mantan bosnya yang baik itu. Masa iya Aditya tega mempersulit anak dari seseorang yang telah berjasa dalam hidupnya? Lagian, sekedar nomor ponsel saja. Untuk kedisiplinan, Aditya tetap akan menerapkan itu. Gunanya juga untuk anak didiknya itu sendiri, agar terbiasa disiplin dengan apa pun, termasuk ketika berada di dunia kerja nantinya. "Hah?" Matanya Ratu membola. Serius di Aditya ini langsung memberikan nomor ponselnya? "Pak, saya benar-benar enggak berbohong. Enggak ada saya ketemu sama mantan ketua kelas saya itu." "Waktu saya enggak banyak." “Ah, iya… maaf… maaf.” Ratu segera mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. “Berapa nomornya, Pak?” Aditya pun menyebutkan nomor ponselnya. “Terima kasih, Pak.” “Udah nyiapin judul?” Ratu mengangguk cepat. “Kapan kira-kira bisa mulai bimbingan—saya ajuin judulnya dulu, Pak?” “Besok. Chat saya nanti, dan saya akan kabari kamu waktunya. Jangan telepon. Jangan hubungi saya untuk sesuatu yang tidak penting.” “Baik.” Ratu mengangguk paham. Kalau bukan urusan bimbingan skripsinya, Ratu juga ogah menghubungi dosen satu ini. Jangankan menghubungi, menyimpan nomornya saja, Ratu tak akan sudi. Aditya berlalu begitu saja dan Ratu berbalik badan menghadap ke arah lelaki itu yang perlahan mulai menjauh langkahnya. Bibirnya mencebik menatap punggung lelaki itu. Tahan, Atu… tahan. Mulut lo enggak boleh julid. Demi kelancaran skripsi lo. Tapi, kok dia tiba-tiba aja baik langsung mau kasih nomor HPnya, ya? Ratu sempat mengira jika dia masih akan tetap disuruh usaha buat mendapatkan nomor ponsel itu dosen dari mantan ketua kelasnya dulu, entah bagaimana caranya. Sungguh, yang barusan di luar perkiraan Ratu. Sambil menunggu Vika selesai konsultasi dengan dosen pembimbingnya, Ratu duduk di bawah sebuah pohon. Ratu baru ingat hendak mencari tahu tentang lelaki pemilik motor gede yang telah menyelamatkannya itu, serta berbaik hati mengantarkan gelangnya yang mungkin saja terjatuh. Ratu menghembuskan napas kecewa tatkala mendapati nama seorang perempuan yang menjadi pemilik motor dengan plat tersebut. Jadi, lelaki pemilik motor itu sudah beristri? Tanpa Ratu ketahui, jika pemilik motor itu sebenarnya adalah Aditya. Hanya saja sampai saat ini lelaki itu belum balik nama. Kendaraan yang diberikan oleh bosnya itu, awalnya memang dibeli memakai nama istri keduanya sang bos untuk siapa saja yang memakainya. Namun, suatu hari, bosnya itu memberikan hak kepemilikan motor itu kepada Aditya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD