“Aku tidak bisa terus begini,” gumamnya, tapi suaranya terdengar lemah. Telepon genggamnya di meja bergetar. Sebuah pesan masuk. Ia meraihnya cepat, berharap entah kenapa itu dari Jayne. Namun ternyata hanya notifikasi dari grup direksi. Elang menutup mata, hampir tertawa getir pada dirinya sendiri. Kenapa aku berharap begitu? Kenapa aku ingin dia yang menghubungiku duluan? Sekali lagi ia melihat berkas-berkas menumpuk. Sekali lagi ia merasa otaknya menolak. Semakin ia menekan perasaan, semakin ia terikat pada bayangan semalam. Ia tidak hanya mengingat ciuman itu, tapi juga sensasi tenang ketika Jayne ada di pelukannya. Keheningan malam, kehangatan tubuh di sampingnya, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan. Dan itulah yang paling menakutkan: ia merindukan itu. Merindukan Jayne. El