Alex Valendra duduk di balik meja besar dengan tatapan tajam yang bisa membuat siapa saja merasa bersalah meskipun sama sekali tidak salah. Di atas mejanya terdapat laporan proyek yang baru saja dilaporkan gagal. Sebuah proyek yang selama tiga bulan terakhir dipimpin Victoria.
“Duduk.” Nadanya dingin, memerintah. Dia sendiri menyandarkan punggungnya, tanpa sekalipun melepaskan tatapannya dari sosok yang berdiri di depannya.
Victoria menurut, sebab nada suaranya itu cukup memberikan tekanan padanya untuk mematuhi tanpa banyak bicara. Dia menegakkan tubuh, menatap pria itu dengan berusaha keras menjaga profesionalitasnya. Tapi tatap pria itu terlalu dalam, terlalu lama, seolah mampu menembus setiap lapisan pertahanan yang Victoria miliki.
“Aku baru membaca laporan ini,” ucap Alex sambil mengetuk meja yang beralaskan dokumen laporan itu. “Proyek Smart City, ditunda tanpa pemberitahuan. Investor menarik diri, lalu kau —” Alex berhenti sejenak, menatap tajam Victoria yang hanya mampu bungkam. “adalah kordinator proyeknya.” Nada itu dingin, penuh perhitungan yang menusuk.
Victoria menelan ludah. “Kamu sudah berusaha mencari solusi, Direktur Valendra. Tapi ada perubahan anggaran yang di luar kendali tim,” katanya berusaha menghindari tatapan Alex yang entah bagaimana seakan menuntut sesuatu di luar pekerjaan.
Pria itu menyandarkan tubuhnya di kursi. “Perubahan anggaran?” Dia mengulang. “Atau, kau yang mungkin kehilangan kendali, Nona Victoria?” Nada sinis itu terdengar keras daripada teguran langsung.
Victoria mengepalkan tangannya di pangkuan. Dia tahu cara Alex berbicara bukan sekadar profesional, ada sesuatu di balik kalimat dingin itu, sesuatu yang membuat jantungnya Victoria berdegup tak menentu.
“Kalau Anda berpikir saya tidak kompeten, saya siap mempertanggung jawabkannya,” ucapnya dengan suara serak tapi tegas mengambil pilihan.
Namun pria itu tak menanggapi untuk beberapa saat, seakan berpikir tindakan apa yang akan dia berikan pada Victoria. Dia kemudian berdiri dari duduknya, berjalan mengitari meja, suara langkah terdengar menggema di ruangan yang sepi itu, dia lalu berhenti tepat di belakang Victoria.
“Kompeten?” Alex berbisik pelan di belakangnya. Victoria nyaris menahan napasnya. “Aku melihat bagaimana kinerjamu selama dua tahun memimpin sebuah proyek pengembangan, Victoria, jadi aku tidak meragukan itu. Tapi …,” kalimatnya menggantung, membuat Victoria semakin diam, tegang.
Alex berdiri di sisi bahu Victoria, suaranya turun lebih lembut dari sebelumnya tapi berbahaya.
“Tapi, yang aku ragukan adalah, kenapa kau begitu mudah kehilangan kendali, bahkan di luar pekerjaan?”
Tubuh Victoria menegang. Dia tahu nada itu. Dia menyadari arah pembicaraan yang baru saja disampaikan Alex. Dia tahu, tapi memilih diam.
Alex sendiri tersenyum samar, seperti seseorang yang berhasil menemukan rahasia lama. Perlahan dia merendahkan tubuhnya, wajahnya sejajar dengan telinga kanan Victoria. Kedua tangan Alex masuk ke dalam saku celana, gaya santai itu mematikan.
“Aku bukan seseorang yang akan dengan mudahnya lupa, Victoria. Jadi, itu alasanmu menjual diri dengan bangunan Milli?”
Mata Victoria bergetar. Sial! Dia ketahuan, dan siapa yang akan menyangka jika pria yang semalam b******u bibir dengannya itu akan menjadi bos barunya secara diam-diam. Sejak saat itu, Victoria merasa hidupnya tak akan sama seperti sebelumnya lagi. Victoria juga sadar, yang membuatnya dipanggil hari ini ke kantor direktur bukan hanya karena proyek yang gagal, tapi ada sesuatu.
Di dalam keheningan itu, kantor direktur utama yang megah, diselimuti aura kekuasaan Alex yang tak terbantahkan. Victoria terpaku, mendadak dirinya menjadi batu tanpa kutukan sebab napasnya dia tahan.
Tangan pria itu bergerak perlahan di belakangnya, merayap ke lengannya, lembut, hati-hati dan penuh dengan perhitungan. Aroma maskulin yang pekat dan mendominasi membuat idera penciuman Victoria terasa begitu penuh tapi anehnya memberikan efek menenangkan. Sebuah sentuhan dingin yang mengancam, membuat Victoria menelan ludahnya susah payah.
“Kau pergi begitu saja semalam, jadi tak akan aku lepaskan dengan begitu mudahnya. Terlebih ketika tahu kalau kau adalah bawahanku. Victoria, bersiaplah untuk pembalasanku.” Nadanya pelan tapi dingin menusuk.
Napas Alex memburu dengan ucapan yang seperti sebuah sumpah. Dia meneruskan kegiatannya, bermain di area tengkuk Victoria, mengendus leher jenjangnya. Setiap belaan napasnya adalah jerat tak kasat mata yang seakan membelit leher, mematikan kewarasannya.
Sial! Bayangan malam itu membuat Victoria ingin larut dalam buai hangat yang diberikan Alex itu.
Tok. Tok. Tok.
Sekali lagi, interupsi tak terduga membuat aksi Alex tertahan. Dia nyaris saja menyentuhkan bibirnya ke kulit leher Victoria yang putih dan lembut dengan aroma segar. Aroma yang tak biasa.
Alex mendengus. Perlahan dia menegakkan tubuhnya lagi. Tangannya masuk ke saku celananya lagi. Posturnya tegap, tak tersentuh. Tapi tatapan tajam yang menyimpan bara kemarahan itu tampak jelas di matanya.
“Maaf menganggu, Direktur. Tapi adalah —” Pria yang merupakan asisten pribadinya itu menghentikan laporan kala Alex mengangkat tangannya sebagai tanda untuk berhenti.
Tidak ada kata, tidak ada perintah, hanya diam.
“Kau, pergilah. Tapi, urusanmu denganku belum selesai, Victoria. Bawakan laporan keuangan proyek padaku sore ini juga. Kau paham?” Suaranya tenang, tapi penuh peringatan.
Entah apakah Victoria hanya menghela napas lega atau marah? Marah karena entah bagaimana setiap kali Alex dalam jarak sedekat itu dengannya, dia tak mampu berkutik. Tubuhnya seakan menunggu. Dia bahkan seakan kehilangan jati dirinya.
Berdiri dari duduknya dan berbalik perlahan, Victoria berhadapan dengan Alex.
“Baik, Tuan. Kalau begitu, saya permisi,” ucapnya pamit.
Alex hanya menatapnya dan Victoria memilih untuk segera pergi dari sana tanpa menunggu perintah pria itu.
Victoria sempat melirik asisten pribadinya Alex, melayangkan tatapan tajam yang membunuh dalam diam. Tapi pria itu hanya cuek, mengalihkan tatapannya dari Victoria yang mengancam.
Begitu keluar dari ruangan tersebut, Victoria berpapasan dengan seorang wanita cantik dengan pakaian modis. Dari atas kepala hingga kaki, bahkan helai rambutnya pun seperti memiliki harga. Wanita itu berdiri di meja sekertaris yang terdapat di luar ruangan dengan posisi membelakangi Victoria. Wanita itu ternyata tengah bertelepon.
Tidak lagi peduli dengan apapun, tapi Victoria yang menunggu lift terbuka merasakan embusan napas hangat di tengkuknya. Bahkan aroma maskulin milik Alex seakan tertinggal di bajunya yang sempat dia sentuh.
“Sial!” Dia mendesis tajam. Pintu lift terbuka tak lama kemudian bersamaan dengan suara lembut seseorang yang terdengar begitu jelas di telinga Victoria.
“Sayang ….”
Sayangnya, Victoria sudah lebih dulu melangkahkan kakinya memasuki lift sehingga tak melihat siapa yang memanggil dengan nada manja yang lembut.
Victoria terdiam, entah karena apa dadanya berdesir. Tubuhnya terasa panas, bahkan napasnya sedikit cepat.
“Apa maksudnya itu? Tidak mungkin dia ….” Suaranya tercekat, matanya tak berkedip sekalipun. “Apa-apa itu? Dia tidak … sialan!” Kemudian dia memejamkan matanya.
Meski Victoria tahu kalau itu bukan urusannya tapi tetap saja sesuatu membuatnya tak tenang.