Pagi itu cerah, orang-orang ramai memenuhi ruas jalan. Kota Kinlope, Morphile itu sibuk. Orang-orang pergi bekerja, sekolah, dan lainnya. Dunia kembali ramai usai hening dalam gelapnya malam bersama hujan deras yang mengguyur kota. Penduduk beraktivitas seakan semua baik-baik saja.
“Yakin turun di sini aja?” Pria yang duduk di balik kemudi itu bertanya, menatap sosok cantik di sampingnya yang sibuk melepas sabuk pengaman.
“Iya, di sini aja. Mau beli roti di depan,” jawab wanita itu, Victoria.
Si pria mengangguk. Tidak bisa menahannya.
“Sampai nanti makan siang,” ujar Victoria sebelum turun dari mobil.
Cup.
Satu kecupan lembut yang singkat mendarat di bibir pria itu, kekasihnya, yang seketika menyunggingkan senyum bahagianya.
“Daah.” Victoria membuka pintu mobil dan turun. Dia berlari kecil menjauhi mobil yang baru saja dia tumpangi. Kekasihnya bernama Tian Kalandra.
Tian hanya menatap kepergian Victoria dengan senyum hangatnya, tatapannya penuh cinta. Hubungan mereka terbilang awet dan harmonis tapi tak banyak yang tahu kalau mereka sepasang kekasih.
Tiba di lobi perusahaan VD Group, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Infrastruktur, energi terbuka, dan pengembangan kota modern. Dia membalas sapaan beberapa orang yang berpapasan dengannya. Setelah menunggu lift datang, dia masuk bersama yang lain. Lantai tujuannya adalah angka 7, di mana kantornya berada. Namun selama di dalam lift itu perasaannya tidak nyaman. Victoria berdeham beberapa kali, menenangkan perasaannya yang tiba-tiba berubah.
Sesampainya di lantai tujuan, dia malah disambut dengan tatapan tegang bawahnya.
“Kak Vic akhirnya datang,” sambut Fina, asisten administrasinya Victoria itu paling pertama menghampiri.
Victoria menatap heran, lalu tatapannya beralih pada yang lain.
“Ada apa?” To the point saja dia bertanya.
“Direktur baru mencarimu,” jawab Hans, si pengawas lapangan yang blak-blakan.
Tatapan elang Victoria mengarah pada pria itu yang rambutnya dibuat acak-acakan.
“Apa maksudnya Direktur baru?” Dahi Victoria mengerut bingung.
“Per hari ini katanya ada direktur baru yang gantiin Direktur Brian yang dipindahkan ke cabang lain,” sahut Diana, si arsitek. Di tangannya secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap tipisnya, aromanya menggoda Victoria.
“Iya, di lobi, sudut koridor, dan grup lintas divisi rumornya sudah beredar semalam,” timpal Farrel, ikut nimbrung juga. Dia bersedekap d**a dengan tampang yang meyakinkan.
“Direktur baru tapi tidak ada sambutan?” Dahi Victoria semakin berkerut saja.
“Kabarnya tidak. Direktur baru kali ini berbeda dari yang lain. Hebatnya, langsung kerja. Sepagian ini dia memanggil beberapa ketua divisi dan tim projek. Di grup banyak yang ngeluh,” sambung Diana sambil menyeruput kopinya.
Victoria memijat pelipisnya. Mendadak dia pusing.
“Kau akan pergi ke sana?” Suara Hans membuat Victoria menghela napas.
“Apa boleh buat kalau memang aku dipanggil ke sana,” katanya.
Yang lain menganggukkan kepalanya.
“Spill orangnya nanti, Vic, kita mau tau juga,” ujar Diana lantas terkekeh.
Victoria hanya menggelengkan kepalanya. Dia menaruh tasnya lebih dulu di ruangan kecil miliknya yang bersekat kaca. Cukup untuk dirinya sendiri bertemakan dokumen yang tersusun di rak dalam ruangannya itu. Setelah menaruh tas dia pamit pada timnya untuk menemui atasan baru.
Letak lantai direktur itu di lantai sembilan, hanya terhalang dua lantai saja. Sama seperti sebelumnya, d**a Victoria terasa berdebar tak nyaman. Dia bersandar di dinding lift sambil menerka ada apakah gerangan?
Tiba di lantai tujuan. Entah berapa kali Victoria menarik dan membuang napasnya panjang sejak keluar dari dalam lift. Jantungnya kian berdebar saja.
Ketikan pelan di pintu ruang Direktur terdengar cukup keras. Victoria menarik napas dalam-dalam, menenangkan dirinya sendiri yang gelisah entah karena apa, terasa begitu menyesakkan dadanya.
“Masuk,” suara berat itu terdengar dari balik pintu yang masih tertutup.
Victoria pun membuka pintunya. Ruangan luas bernuansa minimalis modern dengan paduan warna hitam dan abu-abu. Victoria melangkah mendekati meja, sosok pria yang duduk di kursi putar itu membelakanginya jadi dia tidak bisa melihat siapa yang duduk di sana. Namun, aroma maskulin yang terhidu sejak memasuki ruangan itu membuat Victoria seakan Dejavu, terjebak di dalam sebuah permainan yang menegangkan.
Victoria tak mengenalinya dari belakang. Dia hanya tahu orang yang duduk ku kursi kebesarannya itu adalah direktur baru yang dimaksudkan oleh timnya tadi. Dia tampak perfeksionis dan sulit diajak kompromi. Victoria menarik napas, belum juga berkenalan dengan sosok itu, pikirannya sudah melayang jauh, firasatnya bahkan menari-nari tak nyaman karena gugup.
“Selamat siang, Tuan Valendra,” ucap Victoria datar tapi tetap sopan.
Tapi pria itu tidak langsung berbalik. Dia menatap kaca tinggi di depannya, panggilan wajahnya samar di permukaan. Sudut bibirnya terangkat sedikit, sebuah senyum yang sulit ditebak artinya terpatri di sana.
“Sudah lama aku ingin bertemu denganmu, Victoria Haverly.” Nada suaranya rendah, terukur, tapi membawa daya tekanan yang aneh.
Victoria sedikit mengernyit.
“Maaf sebelumnya. Saya senang bisa melapor secara langsung, Tuan. Tapi maaf jika proyeknya masih tertunda karena masalah administrasi.”
Pria itu menatap kartu nama di tangannya, Victoria Haverly, Project Coordinasi. Di sudut kanan bawahnya ada inisial kecil yang dia kenali dengan baik. Itu kartu yang dia ambil dari lantai basement semalam. Tak sempat juga dia kembalikan pada pemiliknya. Tapi sebuah kebetulan itu ternyata bisa jadi peluang.
Masih ingat rasa itu, ciuman panik dan takut saat dikejar, lalu ciuman ragu di atas ranjang semalam yang membuatnya menggeram marah karena Victoria pergi begitu saja setelah mendapat panggilan telepon.
Dia itu, Alex Valendra.
Akhirnya, Alex berbalik perlahan. Tatapannya menusuk, tenang, tapi penuh rahasia. Pandangan keduanya bertemu, dan waktu seakan berhenti saat itu.
Victoria membeku. Ingatannya kembali pada kejadian di basement dan di bar, lalu di dalam sebuah kamar. Ciuman, aroma wangi parfum mahal yang berkelas. Cumbuan panas di atas ranjang semalam lalu ganguan telepon hingga dia pergi begitu saja. Semua itu bak rol film yang tiba-tiba berputar cepat.
“Kamu ….” Dia tidak tahu, tapi cukup shock mengetahui bos barunya itu adalah sosok yang dia cium secara sembarang di basement perusahaan ini.
Sementara Victoria terkejut, Alex hanya menatapnya tanpa berkedip, sekali tengah menimbang sesuatu di dalam pikirannya.
Alex menegakkan tubuhnya, dia sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari Victoria yang tampak menahan napas dengan wajah yang merah, entah karena malu atau karena marah. Alex tidak peduli, tapi dia cukup menikmati ekspresi itu.
“Aku sudah mempelajari laporannya sejak kemarin, Nona Victoria,” kata pelan, suaranya berat tapi dingin dan menekankan kata ‘nona’, seakan sengaja ingin membuat Victoria teringat dengan kejadian semalam itu, saat dia pergi seenaknya. “Dan aku tahu sesuatu yang lebih dari itu,” lanjutnya.
Victoria menelan ludah. “Tentang proyek, maksud Anda?” tanyanya.
Pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit, kedua tangannya terlipat di depan d**a.
“Ya,” jawabnya pelan. “Tentang proyek, dan tentang sesuatu yang harus kau selesaikan, Miss Haverly.” Senyum tipis itu tercetak di bibir Alex, mempertegas hal apa yang harus Victoria selesaikan itu. Sebuah ancaman yang secara tak langsung Alex berikan padanya.
Udara seakan menegang. Victoria tidak tahu, tapi permainan dari Alex itu akan mengubah hidupnya.