*** Meminta maaf sambil bersimpuh, ternyata tak juga mampu membuat Emely mendapatkan maaf dari Ayahnya. Air matanya, kata-katanya, bahkan niat tulus yang ia tunjukkan tampaknya tak cukup untuk menembus tembok keras yang dibangun oleh Erlan. Merasa percuma, Emely akhirnya bangkit berdiri. Pandangannya tak beralih dari sang Ayah yang tetap saja enggan menatapnya. Dengan tangan gemetar, Emely mengusap air mata yang membasahi pipinya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir rasa sesak yang menghimpit dadanya. Setelah beberapa saat, ia memutar tubuh dan melangkah pergi. Pintu ruang kerja pun ia tutup perlahan di belakangnya, meninggalkan keheningan yang menggantung di ruangan itu. Namun, apakah Emely menyerah? Tidak. Tidak ada sedikitpun keinginan dalam dirinya untuk berhenti mencob