6.

1514 Words
Fajar membuka pintu rumah. Dia amat lelah, setelah perbincangan dengan pak Sultan dia langsung ke lokasi penambangan dan berkenalan dengan beberapa orang penambang lainnya, yang rata-rata adalah pria yang sudah berumur dan penduduk asli setempat. Hari ini dia mendapatkan seratus ribu setelah mengumpulkan pasir setengah truk. Fajar mengelus telapak tangannya yang lecet, beberapa buku -buku jarinya terluka karena memaksakan tenaga di awal bekerja. Fajar mengusap keringat yang membasahi wajahnya, membuka jendela lebar-lebar. Dia membiarkan angin sore masuk membelai wajahnya. Dari awal dia memahami bahwa hidup sangat keras, tidak bekerja ya tidak makan. Pintu kamar Raya berderit berisik, Fajar mendecih melihat wajah kusut Raya yang baru bangkit dari tidurnya. Apakah tidak ada lagi pekerjaan yang dilakukannya selain tidur dan malas malasan. Setidaknya Raya membantu memasak air untuk minum. "Dari mana saja?" Tanyanya dingin "Apa pedulimu?" ketus Fajar. Raya memutar matanya, duduk di sofa lusuh disebelah Fajar, laki-laki itu memang dingin dan tak pernah tersenyum. "Aku istrimu." Raya menghela nafas, sengaja memancing emosi Fajar. "Aku tidak pernah menganggapmu istriku." "Terserah padamu!" Raya menyandarkan kepalanya dan ikut menikmati angin sore yang sejuk. "Aku mulai bekerja, kita bisa mati kelaparan di sini." Fajar berkata tenang, matanya memandang matahari yang mulai meredup dan akan tenggelam. "Pekerjaan apa?" "Menambang pasir, tapi sebelumnya kita harus buat kesepakatan." Raya menautkan alisnya. " Kesepakatan seperti apa?" "Kita jalani peran seperti pasangan istri sebenarnya," jawab Fajar. Raya langsung menjauh dan menyilangkan tangannya di depan d**a. Fajar mengejeknya. "Kau pikir aku tertarik denganmu? aku menyukai barang original." Wajah Raya berubah merah antara tersinggung, sedih dan malu. "Maksudku bukan begitu, mulai sekarang aku akan bertugas mencari nafkah seratus persen, dan kau kerjakan apa yang biasa dilakukan seorang istri, memasak, mencuci, membersihkan rumah dan mengangkat air untuk diminum." "Kenapa tugasku banyak sekali? Tugasmu hanya satu." Fajar berubah kesal. "Atau, aku kerjakan semuanya, dan kau yang mencari uang." Raya mendelik dengan saran Fajar, " Aku tidak mungkin menambang pasir. " "Lalu apa pilihanmu? aku bukan ayahmu, bukan pembantumu, jika kau tak mau itu terserahmu, aku tidak akan membagi uangku secara gratis." "Aku tidak bisa memasak," jawab Raya. "Kau kan bisa belajar, di sini tidak ada pembantu yang akan melayanimu." "Mencuci ke sungai terlalu jauh," katanya lagi. "Kalau begitu angkat air sendiri supaya kau bisa mencuci di rumah." "Tidak mungkin aku melakukannya." Cicit Raya. Fajar berubah kesal, dia menarik tangan Raya mendekat, menusuk mata bening Raya dengan tatapan peringatan. "Lalu apa yang bisa kau lakukan, ha? selain berzina dan hamil?" Plak! sekali lagi tamparan melayang di wajah Fajar, Raya menatapnya nyalang, air mata kembali mengalir deras, Raya menangis tanpa suara. "Cukup semua penghinaanmu! kau tak punya hati, laki-laki egois, kenapa kau sebenci ini padaku?" "Tanyakan pada ayahmu! apa yang dilakukannya di masa lalu padaku." Suara Fajar semakin naik dan meninggi. "Aku tidak paham dengan apa yang kau katakan." "Belum saatnya kau mengetahuinya, jangan berharap aku menyukaimu, secepatnya kita akan berpisah, se-ce -pat-nya." Fajar mengeja setiap suku kata di depan wajah Raya yang menegang. "Itu urusanmu." Raya menjawab. Fajar mengelus dadanya menahan marah. "Aku lelah, lapar, dan tak memiliki energi untuk bertengkar saat ini, bahkan kau tidak memasak sedikit air untuk diminum, kau bisa menilai sendiri apa kau memang berguna atau tidak." Fajar memakai kembali bajunya, berniat keluar rumah mencari sesuatu yang bisa dimakan. Setelah tikungan yang tidak jauh dari rumahnya, ada sebuah kedai kecil yang menjual kebutuhan pokok, dia akan memasak sendiri dan takkan mengharapkan gadis manja itu melakukannya. "Kau mau ke mana?" "Beli beras." "Aku ikut." Raya tidak menunggu persetujuan Fajar, dia berjalan mengikuti Fajar, dia bosan seharian di rumah, setidaknya dia bisa mengirup udara segar. "Hei tunggu aku! " teriak Raya saat melihat Fajar berjalan semakin cepat. "Kau berjalan seperti siput." Raya tidak menghiraukan ejekan Fajar, dia menikmati kebun kopi yang berada di kiri dan kanan jalan. Melirik Fajar sekilas, rambutnya berantakan ditiup angin. Wanita mana yang akan menyukai laki-laki sedingin itu yang tak terlihat tertarik pada perempuan. *** Fajar merasa lelah lahir batin, lelah terus melarikan diri dari kenyataan hidup yang belum pernah memberinya rasa bahagia. Lelah dengan takdir yang bermain seenaknya. Dia bagaikan wayang yang tak berdaya yang selalu mengikuti kemana sang Tuan menggerakkannya, tak bahagia, hampa dan kosong. Dia tak berharap banyak dengan hidupnya, cukup memiliki hidup seperti orang orang yang berada di luar sana, punya orang tua yang penyayang, rumah sederhana tempatnya pulang dan seorang istri yang mampu membuatnya jatuh cinta. Satupun tak ada yang menjadi miliknya, sang ayah yang dimiliki satu- satunya lebih memilih ikut pemikiran ibu tirinya. Dia yang malang terus saja berlari bagaikan gelandangan. Sekarang dia terkurung di sebuah rumah yang terletak di perbatasan daerah. Kampung yang masih tradisional dan belum begitu tersentuh teknologi. Dia bahkan tidak punya keberanian untuk menolak semua ancaman yang berasal dari nona manja yang mengaku sebagai istrinya. Jika keluar dari sini maka Fajar akan mati dibunuh ayahnya. Fajar menatap dinding tua yang sudah mulai keropos dimakan usia dan dimakan Rayap. Rumah ini menjadi mencekam dimalam hari, sesekali terdengar bunyi kendaraan berlalu lalang. Biasanya yang lewat mobil bak terbuka yang membawa hasil pertanian yang akan dijual ke kota besok pagi. Dari tadi Fajar lebih banyak diam dari pada berdebat dengan Raya. Dia kehabisan kata-kata untuk menyampaikan kekesalannya. Gadis itu bahkan tidak bisa melakukan apa -apa, Fajar-lah yang memasak dan membuat makanan sederhana untuk makan malam mereka. Beberapa telor rebus yang kemudian dibuka kulitnya dan digoreng kembali, setelah itu baru diberi sambal yang sudah dimasak terlebih dahulu. Raya makan dengan semangat dan begitu tidak punya malu menghabiskan semua makanan yang tersaji di meja makan rumah mereka. Besok, pasti Fajar akan memasak lagi sebelum menambang pasir. Fajar meletakkan kepalanya di sofa lusuh di ruang tamu, mengistirahatkan tubuhnya sejenak tanpa memikirkan apapun. Namun bunyi derit pintu kamar Raya mengalihkan perhatiannya, gadis itu keluar dari kamarnya sambil memandang Fajar datar. "Di kamarku banyak tikus," katanya. Fajar diam saja, dia tidak ingin lagi dapat kerja tambahan di jam segini, bahkan ini sudah jam sebelas malam. "Kenapa kau diam saja?" tanya Raya jengkel. "Kamar itu adalah kamarmu, jadi kau bertanggung jawab penuh dengan segala permasalahan di dalamnya." "Kenapa kau begitu tak punya perasaan Fajar?" Fajar bangkit dari tidurnya, memandang Raya lelah. "Berfikirlah sebelum kau bicara! perasaan yang mana lagi yang kau mau, aku bekerja dan mencari uang untuk kebutuhan kita, aku juga yang memasak seperti pembantumu, bahkan aku juga yang mengambil air untukmu mandi, perasaan apa lagi? Kau tau Raya, aku lelah terus terikat bersamamu," ucap Fajar, dia ingin mengatakan kebenaran itu tanpa harus menggunakan emosi. Raya meremas tangannya, matanya berkaca-kaca, dengan berlahan dia mengangkat wajahnya menatap wajah kusut Fajar, tak ada kemarahan di sana, yang ada rasa frustasi begitu kental tergambar dengan jelas. "Aku pun lelah denganmu, aku juga tak menginginkan ini terjadi, kalau boleh memilih aku ingin kita tak pernah bertemu dan saling mengenal, tapi aku tidak tau harus kemana lagi sekarang ini, janin ini tidak seharusnya berada dalam perutku." Raya berteriak sambil memukul -mukul perutnya, dia mulai menangis lagi. Suaranya yang serak dan parau berlomba dengan deras hujan yang mulai berisik menimpa atap. Fajar awalnya diam saja, tapi melihat Raya masih saja memukul perutnya seperti orang kesetanan membuatnya refleks menahan tangan itu. Raya tidak akan berhenti menyakiti dirinya sendiri jika Fajar tidak menahannya. "Sekarang kita terpaksa menerima keadaan, kau dengan bayimu, dan aku dengan tanggung jawab yang bahkan tidak berasal dari perbuatanku " "Kau selalu saja mengelak, semua ini karenamu." Raya berkata disela-sela tangisnya. " Raya, aku mana tau Marcel akan memperkosamu, dia hanya menyuruhku untuk memaksamu meminum alkohol, kondisiku waktu itu benar benar terjepit, uang lima ratus ribu sangat berharga Raya," jawab Fajar seadanya. Raya mengusap air matanya, suara sesenggukan masih terdengar sesekali. "Yang harus kau tau, Raya! Kita tidak pernah benar-benar menikah, pernikahan kita tidak sah karena dari awal ayahmu menipu semua orang, aku bisa saja pergi sendiri meninggalkanmu, karena kau bukan siapa-siapa bagiku," tegas Fajar, dia harus membuka kebenaran itu kepada Raya supaya Raya tau mereka tak pernah memiliki ikatan apapun. "Aku akan menggugurkan kandungan ini," kata Raya, Fajar sudah tak heran dengan niat wanita itu. "Dan setelah itu kau menjadi pembunuh, bagaimanapun dia tetap anakmu." "Aku tak mau melahirkan tanpa suami." Fajar diam mencerna ucapan Raya, dia tak berniat melanjutkan pernikahan palsu ini sampai Raya melahirkan. Fajar mengusap rambut hitamnya, kepalanya berdenyut sakit, dia tak memiliki solusi untuk Raya saat ini. "Kembalilah ke kamarmu! biarkan aku istirahat!" perintah Fajar. "Sudah kubilang, banyak tikus." " Ya tuhan!" Fajar bangkit, mengambil tangkai sapu dan masuk ke kamar Raya, Raya mengikuti dari belakang sambil mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar. "Aku yakin dia bersarang di lemari usang itu." Raya menunjuk lemari di depan Fajar. Fajar dengan hati-hati membuka lemari, dia menutup mulutnya menahan mual dan geli, beberapa ekor bayi tikus yang masih merah teronggok di tumpukan kain usang pemilik rumah ini. Dia benar -benar mual. Sapu terlepas dari tangannya dan Fajar berlari menuju kakus darurat di samping dapur sambil memuntahkan isi perutnya. Disusul dengan Raya yang juga menggedor pintu dengan sesekali mengeluarkan suara ingin muntah. Mungkin dia menyaksikan sendiri apa yang berada didalam lemari itu. Fajar keluar setelah mencuci wajahnya, digantikan Raya yang juga menguras isi perutnya, mereka memiliki kesamaan dalam hal ini, tidak tahan dengan sesuatu yang menjijikkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD