Satu jam berdebat tanpa ada pemenang di antara mereka. Raya tidak mau tidur di kamar, Fajar pun tidak mau mengalah dengan memberikan sofanya pada Raya. Sungguh, rumah ini tidak memiliki apa-apa yang bisa diandalkan. Kondisi rumah yang sudah tua, jangan berharap akan ada selimut hangat untuk dipakai saat tidur, atau malah kasur empuk yang membuat mata langsung terpejam karena nyaman.
Jam satu malam, malam yang kian larut, tapi dua manusia itu masih belum terpejam, Fajar menjadikan jaket coklatnya sebagai selimut untuk dirinya sendiri. Dia terpaksa mengalah pada Raya saat wanita itu memaksa ingin tidur di atas sofa. Fajar akhirnya merelakan sofa itu walaupun tidak ikhlas.
Fajar tidur di lantai yang berjarak sekitar dua meter dari sofa, Raya meringkuk menghangatkan dirinya sendiri, kakinya terasa gemetar menahan dingin. Tak ada kain yang layak untuk mereka gunakan sebagai selimut. Raya melirik Fajar yang bulu matanya masih bergerak menandakan laki-laki itu belum tidur, bunyi jangkrik yang memecah kesunyian malam berpadu dengan suara hujan yang menimpa atap.
Tiba-tiba Fajar bangkit dari tidurnya, mengibaskan ujung lengan jaketnya saat merasa jaket itu basah. Fajar mengamati lantai itu, benar saja, air hujan mengalir melalui celah di bawah daun pintu masuk, mungkin hujan terlalu deras sehingga parit tak lagi muat menampung debit air sehingga air melimpah ke halaman dan masuk ke dalam rumah.
Raya menjadi terusik dengan krasak krusuk Fajar, dia tidak bisa menahan rasa penasarannya kali ini. Wajah kesal Fajar menandakan sesuatu sedang terjadi.
"Ada apa?"
"Jaketku basah, air mengalir masuk rumah," jawab Fajar datar.
"Ooh," jawab Raya, dia tidak tertarik untuk bertanya lagi.
"Seharusnya aku yang tidur di sofa itu," kata Fajar kemudian.
"Kita sudah sepakat, apa kau lupa?"
"Aku terpaksa," ketus Fajar.
"Kau selalu seenaknya," lanjut Fajar.
Raya membalikkan badan membelakangi Fajar, dia tak mau memberikan sofa ini kepada Fajar, setidaknya ini lebih aman dari pada kamar penuh tikus.
"Geser!" Suara besar itu begitu dekat dengan telinga Raya. Raya menoleh dengan mata mendelik heran dan marah.
"Mau apa kau?"
"Aku mau tidur, geser!"
"Maksudmu, kita berbagi sofa? "
"Kalau kau tidak mau, silahkan kau saja yang tidur di lantai!" perintahnya.
Raya hanya melongo, pilihan yang diberikan Fajar tak ada yang menguntungkannya, berbagi sofa dengan laki-laki itu akan menghilangkan rasa nyaman pada dirinya, dia tidak sudi dekat-dekat dengan Fajar, tapi tidur di lantai yang basah karena air yang meluap masuk ke dalam rumah, akan lebih buruk lagi. Raya tak punya pilihan lain selain memiringkan tubuhnya memberi tempat untuk Fajar.
Sofa tua itu berderit saat tubuh besar Fajar mulai berbaring menyamping searah dengan Raya. Aroma rempah dan pinus menguar kuat dari tubuh Fajar, membuat penciuman Raya menjadi nyaman, ini adalah aroma yang membuatnya begitu rileks. Jika semua parfum akan membuat perutnya bergejolak maka lain dengan aroma yang dimiliki lelaki ini.
"Sedikit lagi! aku hampir terjatuh," perintah Fajar, Raya mendengus kesal berusaha lebih merapat ke sandaran sofa.
"Masih ada kamar satu lagi, kenapa kau memaksa tidur di sini?" tanya Raya, dia mengumpat saat Fajar menempel ke punggungnya.
"Kau saja yang tidur di situ! Atapnya bocor, tak ada apa-apa di sana selain kamar yang dindingnya mulai lapuk, bisa saja ular sudah bersarang di dalamnya."
"Jangan menakutiku!" bentak Raya.
"Ular suka dengan wanita bersifat ular, " ejek Fajar. Raya langsung tersinggung, ucapan Fajar itu berarti mengatainya wanita ular.
"Kau baru saja menghinaku!"
"Aku tak peduli, hei ... geser sedikit!" Fajar terus mendesak Raya, bahkan wanita itu sudah kesulitan bernafas.
"Mau geser ke mana? Ini udah mentok, tau?" Raya memiringkan wajahnya, melirik kilat jahil di mata Fajar.
"Kau mengerjaiku, ya?"
"Tidak, kau ke ge-eran." Fajar berkata pelan tepat di puncak kepala Raya, wangi melon lembut tercium samar dari rambut itu.
"Aku benci situasi ini, bagaimana bisa kita malah berbagi sofa setelah yang apa yang terjadi di antara kita, kau dan aku seperti kucing dan anjing, akan aneh jika kita terlihat akur," celoteh Raya.
"Yang mau akur denganmu siapa?"
"Terserah padamu lah, susah berbicara dengan pria sombong sepertimu." Raya memejamkan matanya, kehangatan mulai melingkupinya dan membuat matanya mengantuk.
"Dasar Nona manja!"
"Sekali lagi kau bilang aku manja, aku akan menendangmu dari sofa," ancam Raya.
"Alah! kakimu sebesar lidi sok-sok kuat menendangku," ejek Fajar lagi, dia tertawa puas melihat Raya semakin emosi.
"Pantas saja kau tak laku-laku, ucapanmu tak pernah terdengar enak."
"Siapa bilang aku tak laku, buktinya ayahmu membeliku untuk menutup malu anaknya yang hamil diluar nikah."
"Yaakkk !" Raya bangkit tiba-tiba membuat Fajar terjatuh ke lantai dengan p****t mendarat lebih dulu.
"Kenapa kau marah? Kau harus menerima kenyataan itu, belajar menerima takdirmu sendiri!" jawab Fajar mengusap sikunya yang sempat terbentur dengan lantai.
"Tidak usah bicara jika kau terus menghinaku!"
"Kau yang lebih dulu menghinaku, mengatakan aku tak laku-laku, asal kau tau saja, aku bisa membuatmu jatuh cinta padaku, jika aku mengeluarkan pesona ku yang sebenarnya."
"Memangnya apa pesonamu? Kau terlalu biasa-biasa saja, sombongmu saja yang kelewatan."
Fajar tak berniat lagi melanjutkan perdebatan, wanita itu takkan berhenti mencecarnya, dia bangkit mendorong bahu Raya agar kembali memberinya tempat.
"Mau apa kau?"
"Mau makan, makan kamu."
"Jangan macam-macam!" perintah Raya. Fajar tidak menghiraukan, dia kembali menempati sisi yang disediakan Raya tadi.
"Aku mau tidur." Fajar mulai memejamkan matanya, tidak lama bunyi nafas teratur terdengar dari mulutnya. Raya tercekat saat tangan kokoh Fajar melingkar diperutnya, dan ... untuk pertama kali dalam hidupnya, jantungnya berdebar -debar.
*****
Fajar membuka matanya perlahan saat dia merasakan sensasi dingin menyentuh kakinya yang terjuntai ke lantai, sofa itu begitu kecil untuknya, ditambah lagi harus berbagi dengan Raya.
Fajar bangkit hati-hati supaya Raya tidak terbangun, matanya terbelalak melihat air setinggi setengah meter sudah menggenang di lantai rumah. Ternyata hujan yang tidak berhenti dari maghrib itu membawa dampak banjir secepat ini.
Fajar melirik jam tangannya, pukul empat pagi, dia menyentuh bahu Raya yang tertidur nyenyak menghadap ke sandaran sofa.
"Raya."
"Engghh."
"Raya, bangun!"
"Engghh," jawabnya. Fajar tak punya pilihan selain mengangkat tubuh dengan mata terpejam milik Raya.
"Banjir, Raya! kita harus pergi menyelamatkan diri, airnya semakin naik." Fajar bersuara agak keras. Raya masih berusaha mengumpulkan nyawanya.
"Bajuku kenapa basah?" Raya mengusap punggungnya.
"Ya , elah, banjir! banjir! gimana, sih? Kamu biar sadar atau gak sadar sama sama menyebalkan, ayo cepat kita tak punya waktu!"
Fajar menarik tangan Raya, air semakin deras masuk ke dalam rumah dan membuat sofa tenggelam.
"Ya Tuhan, ini banjir. " Raya berteriak.
"Dari tadi sudah dibilang banjir."
Belum selesai Fajar bicara, bunyi hantaman keras memukul dinding rumah, seperti batu besar yang terbawa air, disusul air bah yang berlomba masuk tak terkendali menuju ruang tamu. Raya terpekik saat air itu memenuhi rumah dan mencapai leher mereka. Nafas Raya menjadi sesak.
"Pegang tanganku!" teriak Fajar, Raya mengangguk , dia benar-benar panik.
"Kita harus memanjat, Raya!" perintah Fajar. Raya menggeleng,
"Aku tidak bisa." Tangis Raya pecah.
"Sudah tidak ada waktu, Raya! Air semakin naik," perintah Fajar lagi.
"Kita ke dapur, ada tangga di sana."
Raya tak lagi fokus dengan perintah Fajar, saat air mulai mencapai mulutnya. Fajar melihat itu semua, ketika Raya hampir tenggelam dan kelabakan mengambil nafas, dangan sigap dia menggendong Raya supaya posisi tubuhnya lebih tinggi.
"Itu tangganya! kau harus memanjat lebih dulu!" perintah Fajar. Raya memandang Ragu.
"Tak ada waktu lagi, Raya."
Raya memijakkan kakinya ke tangga menuju atap, tangga yang sepertinya memang disiapkan untuk menyelamatkan diri ketika banjir. Raya baru saja memijakkan kakinya di kayu plafon saat bunyi hantaman terdengar lebih kuat.
Kemudian ... Listrik padam.
"Fajar?" teriak Raya. Tak ada jawaban.
"Fajar?" Raya bersuara lebih keras.
"Jangan menegerjaiku Fajar, ini tidak lucu, Fajar jawab aku!" Raya langsung terisak. Masih tak ada jawaban, Raya hanya mengandalkan sinar bulan yang masuk lewat celah dinding papan dekat kayu plafon.
Banjir itu hanya satu meter di bawah atap, air penuh lumpur, gelap, hitam dan pekat. Tak ada tanda-tanda Fajar naik ke tangga.
Raya semakin panik dan menangis
" Fajaaaaaaar, ya Tuhan ... Fajar jawab aku! Ini tidak lucu, Fajar." Raya semakin putus asa, hujan lebat menenggelamkan suaranya.
Raya mengusir ketakutannya sendiri, apakah Fajar tenggelam dan hanyut karena dinding dapur jebol dihantam batu dan kayu. Raya menangis, dia memang tidak menyukai laki-laki itu, tapi bukan berarti dia ingin Fajar mati dengan cara seperti ini, Raya masih mengingat saat Fajar memaksanya untuk memanjat lebih dulu, jika saja dia yang memanjat belakangan, tentu saja dialah yang hanyut saat ini.
"Fajaaaaar?" Raya tak berhenti memanggil, namun tak ada jawaban sama sekali, Raya ketakutan. Bagaimana hidupnya ke depan tanpa lelaki itu, jika saja tidak selamat, apa yang harus dilakukannya? dia masih ingin bertengkar dengan Fajar, masih ingin berdebat sepuasnya.
"Fajaaar," panggil Raya menghiba, dia putus asa, mereka baru bersama beberapa hari, inikah akhir kisah rumit mereka?