ccz 3

1394 Words
Zea sudah dipindahkan ke ruang rawat karena dia sudah sadar, hampir 2 minggu koma dan tas serta ponselnya berada di kantor polisi membuat Lika tidak bisa menghubunginya. Zea duduk bersandar di kepala brankar dengan wajah kebingungan kenapa ia bisa berada di rumah sakit. Ia mengingat ingat apa yang terjadi hingga area perutnya terasa sakit, tapi semakin ia berfikir tapi kepalanya terasa pusing sehingga ia berhenti mengingat hal yang menyebabkan dia terbaring di rumah sakit. Seorang perawat masuk dalam ruang rawat Zea dan tak sengaja ia melihat seseorang berseragam polisi berdiri di depan ruang rawatnya. "Saya ganti infusnya ya mbak," ucap perawat itu. Zea tersenyum mengangguk. "Sus, boleh saya bertanya?" "Tanya apa mbak?" "Kenapa saya bisa ada disini? dan kenapa di luar ruang rawat saya ada polisi?" "Itu bukan wewenang saya mbak, nanti kalau ada komandannya saja yang menjelaskan." Zea semakin mengernyit heran dengan jawaban perawat itu, kenapa ia harus berurusan dengan polisi. Zea membaringkan tubuhnya dan ingin memejamkan matanya. Zea membuka matanya dan melihat ada 2 orang pria dalam ruang rawat inapnya, satu berseragam polisi sedangkan yang satu memakai pakaian biasa. Ia duduk dan menatap dua pria itu bergantian, wajahnya masih menyiratkan kebingungan. Seorang pria berseragam berdiri sedangkan yang memakai baju biasa duduk disofa fokus pada ponselnya. "Komandan...." Pria yang duduk di sofa yang adalah Reiki menoleh pada pria berseragam yang adalah Ifan, anak buahnya. Ifan memberikan isyarat mata untuk melihat Zea, Reiki mengikuti isyarat mata Ifan dan melihat Zea sudah duduk di ranjang. Reiki berdiri dan mendekati Zea yang menatapnya, tatapan mata Zea membuat Reiki tertegun sejenak tapi ia bisa menguasai diri. "Nona Zeaana Lasya Helga?" "Iya??" "Apa yang anda rasakan?" "Lebih baik dari kemarin, sebenarnya apa yang terjadi pada saya pak ...." "Reiki, saya AKP Reiki Liandra Dhananjaya, dan ini Ifan Ardian bawahan saya. 2 minggu yang lalu kami sedang operasi penggerebekan pada seorang penjahat dan kamu ada di lokasi dimana kami melakukan pengejaran, kamu tertembak." "Tertembak?!!" "Iya, dan koma selama 2 minggu. Apa kamu tidak ingat sama sekali kejadian itu?" Zea menggelengkan kepalanya. "Menurut dokter kamu boleh pulang dalam 3 hari, berapa nomer telepon keluargamu, biar saya menghubungi mereka agar mereka bisa datang." Zea hanya diam kemudian menatap Reiki dan Ifan bergantian. Ia berfikir sejenak "Tidak usah, ponsel saya mana?" tanya Zea. Reiki mengernyitkan keningnya heran, ia menoleh pada Ifan, Ifan berjalan menuju lemari penyimpanan ruang rawat itu dan membukanya, mengambil tas Zea dan memberikannya pada Reiki. Reiki menerima tas dari Ifan kemudian menyerahkannya pada Zea. "Ini tas kamu." Zea membuka tasnya dan mencari ponselnya tapi ponselnya mati, tentu saja karena hampir 2 minggu tidak dicharge. Ia memasukkan kembali ponselnya dalam tas dan memandang Reiki. "Boleh pinjam ponselnya pak Reiki?" Reiki yang menatap Zea sejak tadi tergagap. "Hh.....kenapa?" "Saya mau pinjam ponselnya boleh? saya ingin menghubungi teman saya." "Oh...tentu," Reiki merogoh saku jaketnya dan memberikan ponselnya pada Zea. Zea mendial nomor Lika setelah menerima ponsel dari Reiki. "Halo....." "......" "Ini aku Lik, Zea." "........" "Sembarangan....ceritanya panjang. Kamu kesini ya ke....sebentar. Pak, ini rumah sakit apa?" Zea menyela ucapannya pada Lika. "Rumah sakit Medika ruang Anggrek." "Rumah sakit Medika ruang Anggrek Lik." "......." "Aku bilang ceritanya panjang, nanti aku ceritakan kalau kamu kesini." "......" "Oke, makasih Lik," Zea mengakhiri panggilannya pada Lika dan menyerahkan ponsel itu pada Reiki. "Terima kasih pak Reiki." "Baiklah kamu istirahat saja, ada petugas yang menjagamu di depan." Zea hanya mengangguk dan membaringkan tubuhnya. Reiki mengajak Ifan keluar, saat akan membuka pintu ia berhenti dan menoleh sejenak pada Zea. Oooo----oooO "Serem banget sih Zea," ujar Lika setelah mendengar cerita lengkap Zea. "Nggak Tahu deh, tapi anehnya aku nggak ingat sama sekali apa yang sudah terjadi. walau AKP Reiki mengatakan kronologi kejadian, tapi aku benar benar tidak ingat," jawab Zea. "Ya sudah jangan diingat Zea." "Apa pak Ammar memecatku dari resto?" "Maaf ya Zea, soalnya aku benar benar nggak tahu kalau kamu koma jadi saat pak Ammar bertanya aku bilang nggak tahu." "Iya nggak apa apa Lik, aku akan cari kerja lain saja." "Dengan keadaan kamu seperti ini?? enggak enggak, nggak boleh. Kamu harus istirahat total sampai kamu sembuh benar." "Tapi Lik, aku butuh biaya hidup." "Kamu nggak usah memikirkan itu, biar aku yang menanggung." "Apa??!! Enggak enggak, kamu juga butuh menabung untuk pegangan kamu, kalau kamu menanggung hidupku kamu nggak akan bisa menabung." "Udah nggak usah protes ya kamu." Zea menatap haru pada Lika, walau baru beberapa bulan kenal ia dan Lika sudah seperti saudara, sama sama dari daerah dan merantau. "Makasih ya Lik, kamu baik banget sama aku." "Kamu juga akan melakukan hal yang sama kan jika aku dalam posisimu." Zea tersenyum dan mengangguk. 2 hari kemudian Zea diperbolehkan pulang oleh dokter dengan syarat harus banyak istirahat dirumah. Zea bersama Lika berjalan menuju kantor administrasi rumah sakit untuk menanyakan biaya yang hatus mereka bayar. "Permisi mbak, mau bertanya tentang biaya administrasi kamar Anggrek?" tanya Zea pada kasir rumah sakit. "Atas nama mbak Zea Lasya Helga?" "Iya benar." "Sudah lunas mbak." "Sudah lunas?" "Iya, fihak kepolisian yang membayar." "Oh....terima kasih atas informasinya," Zea dan Lika kemudian berjalan keluar dari rumah sakit melalui lobby. "Kenapa pihak kepolisian menanggung biasa rumah sakit aku?" "Tentu harus seperti itu Zea, kan mereka yang menyebabkan kamu celaka." Zea hanya diam mendengar ucapan Lika. ~~~ ~~~ Beberapa hari bedrest di kost an membuat Zea bosan, ia ingin jalan jalan agar tidak bosan apalagi ia merasa tubuhnya sudah fit. Lika sudah berangkat ke resto, Zea bersiap memakai celana jeans dan tanktop putih yang ia padukan dengan cardigan warna abu-abu. Ia tak membawa dompet dan ponselnya karena ia hanya sebentar keluarnya. Ia menyusuri trotoar depan tempat kost nya, Zea melihat keramaian tak jauh dari tempatnya berdiri, perlahan ia langkahkan kakinya menuju keramaian itu tapi ia hentikan langkahnya karena ia seperti mendengar suara suara yang saling bersahutan di kepalanya. Ia menutup telinganya tapi suara suara itu semakin nyaring bersahutan membuat kepala Zea sakit, ia memegang kepalanya yang semakin kesakitan akibat suara suara itu. "Aaaaaaahhhh...." Zea berteriak dan bersimpuh di trotoar yang ia pijak. "Hentikan......diaaaaam...." pekiknya yang membuat orang disekitarnya memandangnya keheranan. Zea masih menutup telinganya karena suara suara itu semakin keras hingga kemudian ia pingsan. Zea membuka matanya, ia rasa keheningan di sekitarnya. Ia berusaha bangkit dari berbaringnya lalu duduk, ia lihat ia berada di sebuah kamar yang lumayan luas, Zea mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ia sedang duduk di ranjang king size bersprei krem, tidak ada foto dalam kamar itu, hanya ada beberapa lukisan abstrak yang terpasang di dinding. Zea mengingat apa yang terjadi padanya hingga ia sampai ditempat itu, ia ingat saat ia seperti mendengar suara banyak orang yang berbicara saling bersahutan tapi suara itu seperti berada di kepalanya sehingga membuat kepalanya sakit. Ia belum pernah merasakan sakit kepala yang seperti itu, ia beranjak dari ranjang saat pintu kamar terbuka dan menampakkan sosok yang tak ia sangka. "Pak Reiki??" "Kamu sudah sadar? kalau belum fit kenapa sudah keluar? dan kenapa kamu keluar dari rumah sakit tidak mau dikawal oleh bawahan saya?" "Hadeh..bapak ini ternyata cerewet juga ya. Saya bukan pejabat apalagi penjahat, kenapa harus dikawal polisi." Jawaban Zea membuat Reiki tergelak, ucapan gadis didepannya ini ceplas ceplos. "Lalu kenapa kamu keluar jika belum fit hingga pingsan di jalan. Untung saya sedang lewat, kalau tidak bagaimana nasib kamu? di kota besar seperti ini banyak orang jahat." "Saya sudah fit pak, tadi saya...." Zea menggantung ucapannya. "Apa...?" "Mm....enggak....nggak apa apa pak. Saya mau pulang." "Biar saya antar."  Zea mengikuti langkah Reiki yang keluar dari kamar, Reiki mengambil jaket di hanger dan memakainya, juga mengambil satu lagi jaket dan ia berikan pada Zea. "Saya sudah pakai cardigan pak." "Yang kamu pakai itu tipis, pakai ini agar tidak kedinginan." Dengan terpaksa Zea menerima jaket dari Reiki dan memakainya, wangi maskulin menyeruak indera penciuman Zea, entah kenapa itu membuat Zea merasa nyaman. Ia kemudian mengikuti langkah Reiki keluar dari ruangan yang ternyata sebuah apartemen. Mereka memasuki lift dan menuju lantai dasar, Zea hanya menurut saat Reiki memintanya masuk dalam mobil dan mengantarkannya ke rumah kostnya. Namun saat sampai di lampu merah, ia mulai mendengar kembali suara suara di kepalanya, semakin lama semakin nyaring membuatnya reflek menutup telinganya, kepalanya kembali terasa sakit. "Aaahhhh...hentikan...diaaaam," pekik Zea membuat Reiki terkejut dan langsung menoleh pada Zea. "Hei....kamu kenapa??" Namun Zea masih histeris dan berteriak membuat orang orang yang berhenti di lampu merah itu dan dekat mobil Reiki menatap heran pada Zea. Reiki tidak tahu harus berbuat apa hingga kemudian Zea tak sadarkan diri. Lynagabrielangga
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD