3. Putriku Anak Asuhku

1043 Words
Baru saja Fatwa keluar dari ruang kerja, dia sudah dipanggil lagi oleh nyonya keduanya. "Fatwa, Aurel susah sekali makannya. Kamu tolong suapi dia di taman ya biar menghirup udara segar, siapa tahu dia mau," perintah Lucia. "Iya, Nyonya," jawab Fatwa senang hati. Fatwa segera mengambil alih putri kandungnya itu dan membawa ke halaman rumah. "Sayangku, kamu sudah sebesar ini. Maafkan ibumu ini karena baru bisa menjagamu. Mulai sekarang kita tidak akan berpisah lagi," gumam Fatwa terus mencium putrinya penuh kasih sayang. "Sayang, ayo makan ya. Biar cepat tumbuh besar," ucap Fatwa lembut. Walaupun masih bayi akan tetapi Aurel seperti paham, jika yang tengah menggendongnya adalah ibu kandungnya. Aurel mau disuapi sedikit demi sedikit. Fatwa sangat puas dan bahagia. Setelah selesai makan, Fatwa menimang-nimang putrinya sampai tertidur pulas. Tiba-tiba pemuda yang kemarin ditemui Fatwa di gerbang datang. "Fatwa, bagaimana hari pertama kamu bekerja di sini?" tanya pemuda tersebut ramah. "Baik, Tuan." "Jangan panggil Tuan, cukup Bian saja. Lagian usia kita juga tidak terlalu jauh. Aku baru 23 tahun, jika kamu panggil Tuan serasa sudah tua," sergah Bian. "Maaf, Tuan Muda. Rasanya tidak sopan jika hanya memanggil nama," tolak Fatwa merasa tidak enak. "Terserah kamu deh, tapi lebih enak terdengar Tuan Muda," balas Bian senang. Fatwa tersenyum, sebab karakter Bian dan Dimas sangat berbeda. Padahal mereka berdua merupakan kakak beradik. "Fatwa, apakah Aurel sudah selesai makan?" tanya Lucia yang tiba-tiba muncul. "Sudah, Nyonya Lucia. Sekarang malah sudah tidur," jawab Fatwa. "Kalau begitu biar aku tidurkan ke kamar saja, kamu bisa istirahat," balas Lucia. "Iya, Terima kasih, Nyonya Lucia," jawab Fatwa menyerahkan putrinya. Kemudian keluar Dimas dan Arisa. Lucia segera bergabung untuk mengantarkan Dimas yang hendak bekerja. Mereka bertiga tampak begitu harmonis dan rukun. Dari kejauhan Fatwa hanya melihat dan ikut senang dengan kedamaian mereka. Karena sangat jarang ada dua orang perempuan yang rela berbagi suami. "Fatwa, kita hanya bisa memandang. Tapi kita tidak bisa tahu apa yang sebenarnya orang lain rasakan. Karena dunia ini penuh tipu, jadi senyuman indah terkadang kadang sebagai penghias duka," ucap Bian santai. "Apa maksud tuan muda?" tanya Fatwa belum paham. "Nanti kalau kamu sudah lama bekerja di sini, pasti kamu akan tahu. Tapi apapun itu semoga tidak mempengaruhimu dalam bekerja dan tidak menjadikan beban pikiran," balas Bian berlalu pergi. Fatwa hanya menganggap angin lalu apa yang barusan diucapkan oleh Bian. Sebab kedatangan dia kemari hanya untuk bisa selalu bersama putrinya. Fatwa merasa bersyukur sebab putrinya tersebut berada ditangan orang-orang yang menyayanginya. Akan tetapi Fatwa merasa ada sesuatu yang tidak beres, jika diingat-ingat yang selalu membawa Aurel adalah Nyonya kedua. Sedangkan Nyonya pertama yang katanya mandul malah tidak pernah menyentuh putrinya. Dan Fatwa juga merasa agak heran, mendengar alasan Nyonya pertamanya yang dimadu sebab tidak punya keturunan. Bukankah Aurel juga hanya anak angkat? Diam-diam Fatwa ke dapur untuk menemui mbok Fatimah yang sudah lama bekerja di sana. "Nak Fatwa, ayo kita makan siang bersama. Kebetulan simbok bikin nasi goreng. Sayang nasinya masih bagus kalau mau dibuang," ujar Fatimah. "Iya," jawab Fatwa dengan senang hati. "Mbok, aku salut dengan keluarga majikan kita. Selaku rukun dan harmonis meskipun ada nyonya dua," ujar Fatwa memulai obrolan. Fatimah langsung menoleh ke kanan dan ke kiri, kemudian mendekati Fatwa. "Sebenarnya aku sering memergoki Nyonya Arisa menangis, yah tapi mau bagaimana lagi. Meskipun Tuan Dimas sangat mencintai Nyonya Arisa akan tetapi dari pihak keluarga menuntut keturunan. Jadi mau tak mau Tuan Dimas menikahi Nyonya Lucia, apalagi Nyonya Lucia sudah hamil duluan tentu saja mendapat banyak dukungan dari pihak keluarga," bisik Fatimah. "Apa?" pekik Fatwa terkejut. "Sst... Jangan keras-keras. Tidak enak kalau ketahuan kita sedang membicarakan mereka," sergah Fatimah. "Iya, maaf," jawab Fatwa mengecilkan suaranya. "Sebenarnya Nyonya Lucia itu teman masa kecil Tuan Dimas. Tapi setahuku sih Tuan Dimas hanya mencintai Nyonya Arisa. Hanya saja aku sempat mendengar kalau saat ada acara Tuan Dimas dikerjai teman-teman kerjanya untuk minum, Tuan Dimas mabuk dan melakukan hubungan terlarang dengan Nyonya Lucia yang menjadi asistennya. Dan sebulan setelah itu ada kabar kalau Nyonya Lucia hamil, makanya dari pihak keluarga Tuan Dimas menyuruh mereka untuk segera menikah. Waktu itu aku sangat kasihan pada Nyonya Arisa. Meskipun terlihat sosok wanita yang tegar tetap saja hati seorang perempuan tersakiti ketika suaminya menikah lagi. Apalagi sebagai seorang istri Nyonya Arisa tidak bisa memberi keturunan, hal itu menjadikan dia mau gak mau harus menerima kenyataan." Fatwa ikut teriris hatinya mendengarkan kisah dibalik keharmonisan keluarga Majikannya. "Pantas saja saat itu pengasuh panti sangat ketakutan ketika aku meminta alamat orang yang sudah mengangkat anakku. Apalagi orang itu sampai mengancam ingin menggusur panti. Sepertinya Nyonya Lucia bukan orang baik, nyatanya dia sampai melakukan hal sejauh ini hanya demi bisa menjadi istri Tuan Dimas," batin Fatwa. Selesai makan, Fatwa menawarkan diri untuk mencuci piring. Terlebih lagi sebagai ucapan terima kasih sebab Mbok Fatimah selaku baik padanya. Setelah itu Fatwa naik ke lantai dua untuk melihat putrinya apakah sudah bangun atau belum, dan dia sengaja melewati depan kamar Nyonya pertamanya. Samar-samar Fatwa mendengar suara merdu lantunan ayat suci Al-Qur'an. Hati Fatwa sampai tersentak dan hampir menangis. Karena terlalu menikmati suara tersebut Fatwa sampai betah berlama-lama berdiri di sana. Kemudian tiba-tuba pintu terbuka, Fatwa kaget dan memerah wajahnya sebab malu. "Maaf, Nyonya. Saya sudah lancang menguping Nyonya saat mengaji," ucap Fatwa. "Tidak apa-apa," jawab Arisa ramah. "Nyonya sangat fasih dan merdu sekali suaranya, sedangkan saya malah sama sekali tidak bisa,"ujar Fatwa merasa malu. "Mau aku ajari?" tawar Arisa. "Apa tidak merepotkan?" tanya Fatwa senang sekali. "Tentu tidak, aku justru senang bisa mengajari kamu mengaji," jawab Arisa. "Mau.. mau..." balas Fatwa bersemangat. "Karena kamu juga sibuk mengasuh Aurel, jadi lebih baik belajar mengajinya setelah sholat subuh saja," saran Arisa. "Iya, tapi saya juga tidak bisa sholat. Meskipun KTP saya Islam tapi sejak kecil tidak pernah diajari sholat dan mengaji," ujar Fatwa sedih. "Tidak apa-apa, besok aku ajari. Nanti secara perlahan-lahan kamu pasti bisa," bujuk Arisa. "Terima kasih, Nyonya. Kalau begitu saya permisi dulu," pamit Fatwa. Arisa hanya mengangguk kemudian berlalu pergi menuju lantai bawah. Fatwa kemudian masuk ke kamar Aurel, rupanya Nyonya keduanya juga ada di sana. "Walaupun Nyonya kedua licik, setidaknya dia masih memperlakukan Aurel dengan baik. Sebaiknya aku tidak perlu ikut campur urusan rumah tangga mereka. Aku hanya perlu fokus dengan putriku saja," batin Fatwa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD