Falling in Love With You

1760 Words
Fara membuka lembaran-lembaran skripsi yang harus ia revisi. Dia mendapat dosen pembimbing yang terkenal sulit bernegosiasi dan jarang mau mendengar argumen mahasiswanya. Cara terbaik agar tak bisa cepat kelar urusan skripsinya adalah menuruti keinginannya. Fara mengembuskan napas. Betapa urusan skripsi ini menjadi penyumbang terbesar akan kantung mata yang seakan menebal karena kebanyakan bergadang, uang yang menipis untuk membeli kertas dan tinta printer, serta stres berkepanjangan dan membuat berat badannya menurun. Iphonenya berbunyi. Fara melirik satu pesan w******p dari Abinaya. Sesaat Fara teringat kejadian dua minggu yang lalu. Malam yang begitu awkward dan jujur, ia merasa kehilangan harga diri. Bagaimana tidak, Abinaya sudah melihatnya hampir polos tanpa pakaian dan yang pasti sudah mencuri banyak ciuman darinya. Namun dia tak bisa menyalahkan Abinaya sepenuhnya. Keagresifannya yang membuat Abinaya tergoda, meski ia tak sadar bagaimana tingkahnya kala agresif menggoda Abinaya. Fara mengepalkan telapak tangannya. Dia berjanji untuk menghajar Afandi saat besok bertemu dengannya di kampus. Dua minggu ini Afandi tak menampakkan diri di kampus. Fara membaca pesan dari Abinaya. Sudah tidur belum? Lagi apa? “Isi pesan WA yang standar dan membosankan,” gumamnya. Sudah dua mingguan ini Abinaya kerap mengirim pesan-pesan WA untuknya dan bertanya hal yang sama dan berulang, lagi apa? Udah makan belum? Udah tidur belum? Fara membalas chat Abinaya. Belum, lagi revisi skripsi. Datang balasan dari Abinaya. Aku ganggu ya? Fara mengetik balasan dan mengirimnya. Menurut mas? Sesaat kemudian datang balasan dari Abinaya. Ganggu ya? Fara mengirim balasan lagi. Udah tahu nanya. Tak sampai semenit muncul pesan baru. Ketusnya.. Fara membalas singkat. Biarin. Datang lagi balasan dari Abinaya. Abinaya Ya udah kerjain dulu revisinya. Aku juga mau ngoreksi skripsi juga. Kalau kamu udah selesai, WA aku ya. Fara Kenapa harus WA Mas Abi? Abinaya Aku pingin aja WA-an sama kamu sebelum tidur. Fara Aku mungkin sampai malem banget revisinya. Abinaya Nggak apa-apa, aku temenin. Aku temenin dari sini maksudnya. Aku juga mau begadang ngoreksi skripsi. Fara Ya lihat aja ntar ya. Takutnya aku kelupaan, terus langsung tidur. Abinaya Setiap setengah jam aku WA deh biar kamu nggak lupa. Fara Kok kayaknya maksa? Abinaya Entahlah... mungkin kangen.. Fara Receh banget. Abinaya Beneran. Fara Udah ah, kalau WA-an terus ntar nggak kelar-kelar. Abinaya Iya iya.. ya udah revisi dulu gih. Aku mau ngoreksi skripsi juga. Aku tunggu sampai kamu selesai. Fara senyum-senyum sendiri. Abinaya terkadang bertingkah begitu konyol dengan gombalan recehnya. Tapi Fara menyukainya. Setidaknya Fara merasa cukup terhibur setelah penat merevisi skripsi. Fara tak tahu apa dia sudah mulai tertarik dengan Abinaya atau belum. Yang pasti tidak mudah untuk membuka hati lagi. Trauma atas kegagalan pernikahan orangtuanya juga rasa kecewa dan sakit hati yang teramat besar pada Gharall telah mengeraskan hatinya untuk percaya bahwa cinta yang tulus itu masih ada. Dia tak mau lagi terperdaya oleh cinta. Ia tahu Abinaya berbeda dengan kebanyakan laki-laki yang seringkali mencampakkan perempuan setelah mendapat apa yang mereka inginkan dari perempuan itu. Namun Abinaya berbeda. Abinaya justru melancarkan serangkaian pendekatan dengan gencar. Segala jurus dikeluarkan. Dari mulai mengajaknya makan, menggombal di WA, video call atau telepon sampai pernah datang ke kostnya hanya untuk mengantar pisang goreng krispi. Siapa yang nggak baper? Tapi Fara tak mau gegabah. Ia tak ingin terluka dan patah hati untuk kedua kali. Fara mengetik revisi skripsinya hingga jam setengah dua belas malam. Dia menguap dan rasanya ingin segera beristirahat. Saat melirik iphonenya, dia teringat pada Abinaya. Fara mengambil iphonenya dan mengirim WA pada Abinaya. Mas, aku udah selesai. Katanya mau WA-an dulu sebelum tidur? Sesaat kemudian Abinaya membalas. Iya pingin WA-an. Atau mau video call? Fara membelalakan matanya. Jangan video call ah. Aku lagi berantakan banget. Kurang dari satu menit Abinaya membalas. Nggak apa-apa. Aku udah pernah lihat kamu lebih berantakan dari sekarang. Please, aku capek ngetiknya. Pingin lihat kamu juga. Kayaknya kalau lihat kamu sebelum tidur, tidurnya jadi lebih lelap. Fara tersenyum. Tak ada yang menyangka dosen yang dikenal berwibawa itu bisa menjadi sosok yang jago menggombal jika sedang merayu Fara. Ya udah deh vidcall aja. Dering ponsel membuat Fara refleks menyisir rambutnya dengan jari-jarinya agar terlihat sedikit rapi. Fara menggeser layarnya ke atas. Tampak wajah Abinaya memenuhi layar ponselnya. Sudah semalam ini, dosen satu ini tetap terlihat segar dengan senyum khasnya. “Fara..” “Ya Mas.” “Kangen...” “Ih, nggombalnya makin menjadi.” Terdengar gelak tawa Abinaya. Fara mengerucutkan bibirnya. “Beneran aku kangen. Kamu suka nggak mau diajak ketemu.” Fara terdiam sejenak. Ditatapnya Abinaya dengan raut wajah yang datar. “Apa yang bikin Mas Abi kangen sama aku?” Abinaya memutar bola matanya seolah mencari jawaban. “Aku juga nggak tahu. Yang pasti kadang aku ingin ketemu langsung dan lihat kamu langsung. Aku bilang gini pasti dibilang gombal sama kamu.” Fara tertegun dan menunduk. Tatapan mata Abinaya meski hanya terlihat dari layar tapi ketajamannya tetap mampu menembus sampai ke ujung hati Fara. Tatapan maut yang membuatnya kehabisan kata-kata untuk bicara. “Far, aku pingin nanya.” “Nanya apa Mas?” “Kenapa kamu nggak pernah serius nanggepin aku?” Tatapan Abinaya begitu menghujam. Fara membisu. “Aku serius lho Far. Aku sudah bilang, aku akan bertanggungjawab sama kamu. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, aku deketin kamu bukan semata karena tanggungjawab, tapi aku beneran suka sama kamu.” Melihat Fara yang hanya terdiam dari layar, Abinaya melanjutkan kata-katanya. “Aku akan terus berjuang buat buka hati kamu. Aku tahu kamu masih trauma. Aku hanya ingin kamu beri aku kesempatan. Sebenarnya aku ingin bicara langsung, bukan via video call. Cuma kamu susah diajak ketemu.” “Apa kamu nggak suka sama aku Far?” Fara menganga dan bibirnya serasa kelu untuk menjawab. “Mas... Aku bukannya nggak suka. Aku ragu, apa bener Mas Abi serius suka sama Fara? Mas belum tahu banyak kehidupanku, keluargaku. Masih banyak cewek yang lebih baik dari aku.” “Karena itu biarin aku mengenalmu lebih dekat. Kamu hanya perlu buka hati kamu Far. Nggak semua cowok senang mengambil keuntungan dari perempuan. Nggak semua cowok egois dan bisanya cuma nyakitin perempuan.” Masing-masing terdiam. “Udah malem Far. Kamu istirahat aja. Kalau kamu nggak mau ketemuan, aku bisa nekat dateng ke kostmu. Aku nggak maksa kamu harus nrima aku. Tapi aku akan tetap nunggu sampai kamu bilang ya.” Fara mengernyitkan alisnya, “Sama aja maksa dong Mas.” Abinaya tertawa kecil menatap ekspresi wajah bengong Fara dari layar ponselnya. “Ya bolehlah dibilang maksa. Aku yakin kamu sebenarnya udah ada rasa sama aku, cuma kamu menyangkalnya.” Fara tergugu. Dia sendiri bingung akan perasaannya. Antara tertarik tapi juga masih ada rasa takut. “Ya udah jangan dipikirin. Kamu bobo ya. Keseringan begadang nggak baik buat kesehatan.” Fara mengangguk. “Good night, muach.” Abinaya mengerucutkan bibirnya lalu mematikan panggilannya sebelum Fara mencak-mencak karena diberi ciuman dari layar ponsel. Baru mau marah-marah, gambar Abinaya lenyap. Panggilan video call mati. Sejenak Fara tersenyum. Pipinya bersemu merah. Fara menatap fotonya bersama papa mamanya. Foto itu diambil saat dia kelas tiga SMA, sebelum mama papanya bercerai. Sejak perceraian itu, mamanya depresi berat dan sekarang dirawat di Rumah Sakit Jiwa karena schizophrenia akut. Papanya menikah lagi tapi tetap menafkahi Fara dan membiayai semua keperluannya. Fara begitu kecewa dengan papanya karena ternyata papanya telah berselingkuh dengan wanita yang sekarang menjadi istrinya jauh sebelum ia menceraikan mamanya. Di semester tiga, Fara seolah sampai pada titik puncak kekalutan dan kegalauan akan kehidupannya yang suram. Kedekatannya dengan kakak angkatannya, seorang muslimah yang religius membuatnya tertarik mempelajari Islam. Di semester lima Fara memutuskan masuk Islam. Hal ini menyulut api kemarahan di hati papanya. Di klimaks kemarahannya, papa Fara tidak mau membiayai Fara hingga membuat Fara menyambung hidup dengan bergabung di agensi model untuk mendapat penghasilan. Karena itu saat ia dekat dengan Gharal, dia terkadang memanfaatkannya untuk membelikan kebutuhannya. Barulah menjelang semester akhir, papanya berbaikan dengannya dan kembali bertanggungjawab padanya. Fara memejamkan mata perlahan. Dia tak yakin Abinaya mau menerimanya dengan segala kondisinya. Anak broken home, mamanya dirawat di Rumah Sakit Jiwa, papa yang masih hidup tapi kadang terasa tak ada, hanya uang transferan yang sedikit menyadarkannya bahwa dia masih memiliki keluarga. Semua ini membuatnya minder dan takut memikirkan sebuah pernikahan. Kalaupun Abinaya mau menerimanya apa adanya, dia tak yakin keluarga Abinaya mau menerimanya. ****** Tiga hari kemudian... Abinaya duduk anteng di sebelah bapak ibunya, sedang di hadapannya ada Pak Saputra, Bu Windri dan Zahira. Sungguh rasanya atmosfer begitu tak mengenakkan untuknya. Setelah berulang kali membuat alibi agar ibu dan bapaknya tak memaksanya untuk pulang, akhirnya Abinaya menyerah juga. Kemarin ia tiba di Purwokerto dan malam ini dia beserta bapak ibunya bersilaturahim ke rumah orangtua Zahira. Di matanya Zahira memang cantik secara fisik, postur tubuhnya mungil seperti Kia tapi Zahira sedikit lebih tinggi dan berisi dari Kia. Gaya busananya mengingatkannya akan sosok Kia yang senang mengenakan gamis dan kerudung panjang. Kata ayahnya, putrinya ini berencana meneruskan pendidikan S2nya di Bandung. Karena itu kedua pihak orangtua menginginkan perjodohan antara Abinaya dan Zahira agar Zahira aman selama tinggal di Bandung karena sudah ada suami yang selalu menjaganya. Namun mereka menyerahkan sepenuhnya pada Abinaya dan Zahira apakah mau meneruskan perjodohan ini atau tidak. Zahira merasakan desiran yang begitu menggetarkan kala menatap Abinaya meski hanya sepintas. Wajah tampan dan kharisma Abinaya seolah menghipnotisnya pada pandangan pertama. Cara bicara Abinaya pun terdengar tenang, menunjukan wibawa serta kecerdasannya. Bisa dibilang Abinaya adalah kriteria idamannya. Selagi para orangtua berbincang, Abinaya meminta izin untuk bicara dengan Zahira di sofa yang masih terletak dalam satu ruang dengan mereka, namun letaknya agak jauh sedikit. Jadi tidak memungkinkan keduanya untuk berada dalam satu ruang berdua saja. Orangtua Zahira mengizinkan. Toh mereka masih bisa mengawasi keduanya. Lagipula baik Abinaya maupun Zahira sudah sama-sama dewasa, sudah tahu mana yang sebaiknya dilakukan, mana yang tidak. Abinaya duduk berhadapan dengan Zahira dengan terpisah satu bentang meja. Abinaya ragu sejenak, tapi dia beranikan diri untuk mengawali percakapan. “Maaf Zahira, aku cuma ingin tanya pendapat Zahira tentang keinginan orangtua kita yang menginginkan perjodohan kita.” Zahira sedikit tersentak mendengar pertanyaan Abinaya yang langsung menuju sasaran tanpa basa-basi. “Kalau saya ikut orangtua aja Mas. Gimana baiknya mereka,” jawab Zahira dengan seulas senyum. Abinaya terdiam sejenak. “Ada apa Mas? Apa Mas Abi keberatan dengan perjodohan ini?” Zahira menyipitkan matanya. Abinaya mengangguk pelan. “Maaf Za, saya sudah menyukai seseorang.” Zahira begitu terpukul. Hatinya seakan tercabik. Padahal ia baru pertama kali bertatap muka dengan Abinaya tapi seolah ia sudah mengenal lama hanya dengan membaca postingan-postingan Abinaya di akun instagramnya dan Zahira mengaguminya sejak lama. “Baiklah Mas, saya akan bicara pada kedua orangtua saya kalau saya menolak perjodohan ini,” ucap Zahira yang tersenyum dalam getir dan hatinya bergerimis. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD