Jealous

3135 Words
Adzan Subuh berkumandang. Pelan-pelan mata Fara mengerjap. Terdengar suara ketukan pintu yang pada akhirnya membangunkannya setelah beberapa detik yang lalu memutuskan untuk kembali tidur. “Far Subuhan.” Suara Lidya terdengar sayup. “Iya, jamaah ya. Aku jadi makmum saja,” jawab Fara sembari melirik doa-doa sholat yang ia tempelkan di dinding. Dulu sempat hafal waktu awal-awal menjadi muallaf. Setelah kembali terjun ke dunia clubbing, hafalannya buyar. Sholat masih bolong-bolong dan ia merasa kehilangan sosok guru spiritual setelah kakak angkatannya wisuda dan pulang ke kampung halaman. Dialah yang membimbing Fara di awal menjadi muallaf. Sebelum mengambil air wudhu, ada satu pesan WA dari Abinaya. Far, Subuhan. Jangan lupa berdoa semoga kita berjodoh. Segaris senyum melengkung di bibirnya. Abinaya selalu rajin mengingatkannya sholat lima waktu, ini membantunya untuk lebih rajin sholat. Dia merasa sudah seharusnya ia kembali serius mempelajari Islam, bukan hanya menjadi status saja bahwa dia sudah beragama Islam, tapi dia harus mempelajari dan mengamalkan ajarannya. Selama ini Fara tak pernah menceritakan apapun pada Abinaya terkait perjalanan spiritualnya. Abinaya tak tahu bahwa dia seorang muallaf. Fara rasa belum saatnya untuk menceritakan. Fara mengerjakan sholat Subuh berjamaah di kamar Lidya. Meski Lidya tidak sereligius kakak angkatannya, tapi dia sering menjadi tempat bertanya seputar agama. Sebenarnya sebelum skandalnya dan Gharal merebak, dia bisa dengan bebas mengunjungi Masjid kampus untuk mengikuti kajin khusus akhwat. Setelah kasus itu viral, dia lebih menutup diri dan tak berani mendatangi Masjid lagi karena tak nyaman dengan tatapan penuh benci dari mahasiswa lain setiap melihatnya di kampus. Julukan pelakor begitu melekat kuat padanya kendati dia dan Gharal tak menjalin hubungan apapun. Seusai sholat, Lidya tersenyum padanya. “Far, aku lihat makin ke sini, sifat kamu sudah makin tenang, sudah berkurang meledak-ledaknya. Jangan-jangan efek dari kedekatanmu dengan Pak Abinaya, dosen psikologi yang paling ganteng seantero kampus.” Lidya menaikkan alisnya. Fara tertawa kecil, “Aku belajar untuk berubah sejak kasusku dan Gharal viral Lid. Aku berasa ditampar bolak-balik. Ini kayak jadi titik balik agar aku benar-benar serius mempelajari Islam. Dipikir-pikir lelah juga dengan hidupku selama ini. Bener banget sih apa kata Mas Abi, aku mesti berhenti clubbing dan minum.” “Bener banget tuh. Kamu coba deh ke Masjid dekat kampus yang sering ngadain kajian rutin untuk akhwat, ada ngaji Al-Qur’an juga, buat nglancarin bacaan Al-Qur’an kamu.” Fara tersenyum cerah, “Wah makasih ya infonya. Iya nih banyak yang aku lupa cara membaca Al-Qur’an. Surat-surat pendek yang dulu lumayan hafal juga jadi lupa lagi.” “Kamu juga sih kebanyakan clubbing. Sayang hafalan kamu akhirnya jadi hilang karena kamu nggak aktif mengaji lagi.” Fara mengangguk, “Iya, nanti temeni aku kajian ya kalau ada jadwal.” Lidya mengangkat ibu jarinya, “Beres.” Fara kembali ke kamarnya. Ia letakkan mukena di atas meja. Dipandangnya setumpuk buku-buku agama dan Al-Qur’an pemberian kakak angkatannya. Rasanya ia merindukan moment mengaji bersama kakak angkatannya. Menjadi seorang muallaf adalah murni keinginannya dari hati terdalam. Ia selalu merasakan kedamaian dan kesejukan setiap kali mendengar kakak angkatannya membaca Al-Qur’an. Dari situlah dia meminjam Al-Qur’an dan terjemahan milik kakak angkatannya. Fara kerap membacanya. Setelah dua semester berjibaku dengan sela-sela waktunya yang ia gunakan untuk membaca terjemahan Al-Qur’an itu, ia merasa tersentuh dengan isinya. Jauh di dasar hati ia membenarkan apa yang tertulis di Al-Qur’an dan meyakininya, sampai akhirnya ia memutuskan masuk Islam. Salah satu ayat Al-Qur’an yang membuatnya semakin mantap untuk menjadi muallaf adalah penggalan dalam surat Al-Maidah ayat tiga, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi jadi agama bagimu”. Satu pesan WA menggetarkan iphonenya. Iphone itu selalu mengingatkannya pada Gharal. Gharal membelikannya sebagai hadiah. Mau menjualnya rasanya sayang karena dia menyukainya. Mau dibuang lebih-lebih. Ia tak yakin papanya mau membelikannya iphone karena sekarang ini perhatian dan nafkahnya terbagi untuk keluarga barunya. Fara juga sudah berhenti dari dunia modelling jadi dia tak memiliki penghasilan tambahan. Papanya melarang dia bekerja karena takut skripsinya terbengkelai. Fara membuka pesan WA itu. Sudah Fara duga, pesan w******p itu dikirim oleh Abinaya. Far udah Subuhannya? Fara membalas. Fara Udah. Abinaya. Kamu nanti mau ke kampus? Fara Revisiku belum selesai. Aku mau ke perpus pinjem buku. Ada tambahan lagi dari dosen, aku mesti nyari buku pendukungnya. Abinaya Ya udah turuti aja permintaan dosen. Mas hari ini nggak ke kampus, lagi cuti. Eh kamu nggak nanya ding ya. Ya kali aja nanti kamu diam-diam ke fakultas psikologi buat nyariin Mas Abi, jadi Mas kasih tahu dari sekarang. Fara menyeringai setiap kali Abinaya mulai gaje dan ke-GR-an. Fara Ngapain nyariin Mas di kampus? Abinaya Ya kali aja Fara kangen sama Mas. Fara Kayaknya kebalik, Mas Abi yang kangen sama Fara. Abinaya Iya deh, ngaku. Fara Perasaan hampir tiap hari Mas Abi bilang kangen. Abinaya Emang beneran. Nggak ada yang ditutup-tutupi. Silakan kalau Fara mau lihat sampai ke dalem-dalem. Fara Ih Mas Abi nih. Abinaya Mas lagi di Purwokerto. Ini Mas habis balik dari Masjid terus mampir ke warung gorengan. Pingin makan mendoan. Abinaya mengirimkan foto mendoan. Fara Kayaknya enak banget Mas. Jadi pingin.. Abinaya Jadi pingin apa? Pingin makan mendoan sama Mas Abi? Fara Pingin mendoannya doang. Abinaya Oh kirain. Kalau makan mendoan bareng orang ganteng, ntar rasanya jadi tambah enak. Fara Hahaha, masa sih? Abinaya Ntar malem Mas balik ke Bandung. Besoknya aku mampir deh ke kostmu anterin mendoan mentah. Ntar kamu goreng bisa. Bisa nggorengnya nggak? di kostmu ada kompor kan? Kalau nggak bisa gorengnya, ntar Mas yang goreng di apartemen. Fara Jadi ngrepotin. Fara bisa lah kalau soal goreng-mengggoreng. Di kost ada kompor. Abinaya Nggak ngrepotin kok. Everything I’ll do for you. Fara Hmm mulai lagi recehnya. Abinaya Nggak punya receh. Fara Mas Abi tiap hari sholat di Masjid ya? Abinaya Ya Mas Abi selalu usahain untuk sholat di Masjid. Laki-laki kan utamanya sholat berjama’ah di Masjid. Kalau perempuan lebih utama sholat di rumah. Fara Mas Abi rajin ya. Pasti milih calon istrinya mesti yang sholehah ya? Fara mah bukan perempuan sholehah. Abinaya Hmm... Fara bukannya perempuan yang nggak sholehah, tapi mungkin belum. Nanti kalau udah nikah sama Mas, insya Allah jadi perempuan sholehah. Tapi Mas juga masih belajar kok untuk menjadi sholeh. Kalau Fara mau belajar dari sekarang lebih bagus lagi. Fara Ya Fara mau belajar. Oya Mas Abi kenapa tiba-tiba cuti pulang kampung? Abinaya Ehem... kepo nih. Udah mulai kepo berarti ada perasaan yang berkecamuk di dalam hati. Ciyeee... Fara udah mulai jatuh cinta sama Mas. Fara Ih Mas Abi mah gitu. Nggak kepo-kepo amat kok. Palingan Mas Abi udah kangen keluarga di sana. Atau malah kangen sama pacar yang ada di sana. Abinaya Pacar yang mana? Pacar Mas cuma satu orang di Bandung, namanya Fara Imelda. Fara Ih sejak kapan Fara jadi pacarnya Mas. Abinaya Sejak pagi ini. Fara Maksa Abinaya Nggak apa –apa. Habis kamu gantungin Mas terus. Masa Mas disamain sama jemuran, digantung-gantung gitu. Jadi solusinya Mas Abi nganggap Fara jadi pacar Mas, atau lebih jauh calon istri. Fara Yey seenaknya gitu. Abinaya Pacaran sebenarnya nggak boleh sih. Mas bukan orang alim, cuma lagi belajar buat jadi orang baik. Makanya sebenarnya Mas pingin langsung ajak Fara nikah. Enak kalau udah nikah. Tidur ada yang nemenin. Fara Ujung-ujungnya urusan ranjang. Abinaya Emang Mas salah? Kan kalau udah nikah tidurnya bareng. Masa iya satu tidur di kamar, satu tidur disofa, kayak kita dulu. Fara Mas Abi pikirannya m***m juga ya. Ujung-ujungnya pingin nikah karena pingin tidur bareng. Abinaya Emang kalau tidur bareng ngapain aja? Berarti Fara yang mikirnya kejauhan. Fara Au ah... Ngeles. Abinaya Hehe, ngambek nih. Fara Nggak kok. Abinaya Iya jangan donk. Kasihan Mas Abi kalau kamu ngambek, nanti jadi merana. Fara halah.. udah ah, Mas Abi WA terus, emang nggak capek? Mentang-mentag lagi libur. Abinaya Buat kamu mah nggak capek. Ya udah deh, WA-nya stop dulu. Mas mau balik ke rumah. Udah dulu ya. Kalau nanti Fara nggak bisa nahan kangen, WA aja Mas Abi. Sesekali Mas pingin Fara hubungi Mas Abi duluan. Biar Mas merasa dibutuhkan. Fara Lihat aja nanti deh. Nggak tahu juga sih bakal kangen apa nggak. Abinaya Pasti bakal kangen lah hehe...Muach. Fara mendelik membaca kata “muach”. Ini dosen emang langka, gombal iya, alay iya, tapi bikin senyum-senyum. Fara tersenyum. Rasanya sejak mengenal Abi, Fara jadi lebih sering tersenyum dan tertawa. Perlahan kesedihan yang ia rasakan karena bebagai tekanan hidup pun menguap. ****** Siang tadi Fara sudah meminjam buku di perpus, sedang sorenya kembali sibuk mengetik revisi. Selesai mengetik, Fara menghibur diri dengan membuka akun instagramnya. Entah kenapa dia ingin melihat postingan Abinaya. Abinaya banyak memposting tempat wisata di Baturaden, kecamatan tetangga dari Purwokerto. Rupanya Abinaya mnghabiskan hari ini untuk berwisata sebelum balik ke Bandung nanti malam. Fara membaca komentar-komentar yang mampir ke postingannya. Ada satu komentar yang membuat matanya terbelalak. ZahiraAnnisa Makasih ya Mas udah nemeni Zahira, ayah dan bunda ke Baturaden. Semoga perjalanan ke Bandung lancar. Fara penasaran membuka profil Zahira. Saat ia membuka laman i********: milik Zahira, ia kaget bukan kepalang melihat foto-foto Abinaya ada banyak di sana. Dia berpose bersama satu bapak, satu ibu, dan satu gadis berhijab yang cukup cantik. Ia ingat, Abinaya pernah bercerita bahwa ia memiliki seorang adik laki-laki. Jelas Zahira bukan adiknya. Ia lihat semua postingan Zahira. Dari postingan gadis berhijab itu, Fara tahu kalau Zahira baru saja pulang ke Indonesia setelah sebelumnya kuliah di Al-Azhar, Kairo. Bapak dan ibu yang ada di foto adalah orangtua Zahira, karena di postingan lain, Fara melihat postingan foto kedua orang tersebut disertai caption ‘my parents’. Mendadak ada sepercik cemburu menjalar ke segala ruang di hatinya. Padahal ia belum tahu siapa itu Zahira, ada hubungan apa dengan Abinaya, tapi entahlah, lubuk hatinya yang terdalam ia cemburu melihat kedekatan Abinaya dengan gadis itu dan keluarganya. Jelas Fara merasa bukan apa-apa jika dibandingkan dengan gadis berhijab yang terlihat sholehah itu. Pendidikannya bagus, lulusan Al-Azhar, orangtuanya harmonis, gadis itu juga menarik dengan wajah cantiknya. Kini Fara meragukan keseriusan Abinaya. Dia berpikir, mungkin sikap Abinaya terhadapnya hanya iseng saja sedang sebenarnya dia sudah menjalin hubungan serius dengan gadis berhijab itu. ****** Abinaya menaiki kereta malam menuju Bandung. Ibunya membawakan beragam oleh-oleh. Abinaya sendiri sudah membeli mendoan Sawangan untuk Fara. Abinaya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Suasana kereta tidak begitu padat. Abinaya mengembuskan napas dan memikirkan serangkaian kejadian pagi menjelang siang saat orangtuanya memintanya menemani Zahira beserta Pak Saputra dan Bu Windri berwisata ke Baturaden. Jelas, Zahira belum mengutarakan penolakannya pada ayah bundanya. Saat Abinaya menanyakan soal ini, Zahira mengatakan dia belum berani mengatakannya. Dia malah meminta Abinaya untuk lebih dulu mengutarakan penolakannya pada bapak ibu. Padahal maksud Abinaya meminta Zahira mengutarakan lebih dulu adalah agar menjaga kehormatan Zahira sendiri. Jika Abinaya yang mengatakan lebih dulu maka kedua orangtua Zahira akan lebih sakit hati karena anak gadisnya ditolak. Dengan keberanian yang sudah ia kumpulkan sejak pagi, sorenya setelah pulang dari Baturaden, Abinaya mengungkapkan pendapatnya tentang perjodohannya dengan Zahira pada kedua orangtuanya. Terang saja bapak ibunya kaget dan tak menyangkan Abinaya berani menolak permintaan mereka. Masih terngiang ucapan ibunya yang begitu tegas. Apa sih kurangnya Zahira Bi? Dia itu sholehah, pendidikannya bagus, lulusan Al-Azhar, background keluarganya juga baik. Nyari yang kayak Zahira itu susah. Memangnya kamu sudah punya calon sendiri? Kalau kamu sudah punya calon sendiri, ibu dan bapak ingin kenalan dulu. Biar kami menilai, dia cocok nggak buat kamu. Dia baik atau nggak. background keluarganya kayak apa. Kalau dia tidak lebih baik atau setara dengan Zahira ya menurut ibu, mending kamu sama Zahira saja, yang sudah jelas bibit, bebet, bobotnya. Abinaya memejamkan mata. Dia sudah bertekad, suatu saat dia akan mengenalkan Fara pada bapak ibunya. ****** “Far dicariin babang dosen tuh,” ujar Lidya sembari menyandarkan salah satu tangannya di pinggiran pintu kamar Fara. Fara mengangguk, “Ya makasih.” Fara tahu Abinaya telah tiba di Bandung semalam. Dia tak membalas WA yang dikirim Abinaya selama dia berada di kereta. Rasa cemburunya membuat Fara bergerak mundur. Ia memutuskan untuk menjauh dari Abinaya sebelum perasaannya terlanjur dalam, meski ia sadari mungkin agak terlambat karena sadar atau tidak, dia sudah menyukai dosen ganteng itu. Fara berjalan ke teras depan dengan perasaan tak menentu. Saat ia tiba di teras, Abinaya tengah duduk dan tersenyum ke arahnya. Fara duduk di kursi sebelajh tempat Abinaya duduk. Abinaya meletakkan satu kantong besar. “Oleh-oleh buat kamu.” Fara melirik sejenak lalu menatap Abinaya. “Makasih Mas.” Abinaya menyadari ada yang berbeda dari sikap Fara. Sejak semalam di kereta, Fara tak membalas pesan whatsappnya. Pagi tadi dia mencoba telepon juga tak diangkat. Abinaya menduga pasti ada sesuatu yang disembunyikan Fara. Tak biasanya sikap Fara seketus ini meski sebenarnya dia terkadang mendapat perlakuan serupa dengan tidak dibalasnya pesan-pesan WA-nya. Namun kali ini, Fara sungguh berbeda. “Dari semalam kamu berubah Far. Ketus lagi sama Mas. Sama kayak dulu waktu kamu ngambek. Tapi kok rasanya kali ini beda ya. Apa ada yang kamu sembunyiin?” Fara terpekur, “Nggak ada apa-apa.” “Jangan bohong. Ayo bilang yang jujur. Mas akan terus nanya sampai kamu jawab jujur.” Fara menatap Abinaya tajam, “Mas pulang ke Purwokerto untuk nemui pacar Mas dan keluarganya kan?” Abinaya terperanjat, “Pacar? Pacar yang mana?” “Mas nggak usah berlagak polos. Fara tahu dari intagram Zahira. Emang di ig Mas Abi nggak ada foto Zahira dan orangtuanya. Tapi di ig Zahira ada banyak foto mas bersama Zahira dan keluarganya. Abinaya menajamkan penglihatannya. Dia melompong dan bertanya-tanya, kenapa Fara bisa tahu soal Zahira. “Jangan mandang aku kayak gitu Mas. Okay aku akui, aku baca komentar Zahira di postingan Mas Abi, terus aku stalking ig Zahira. Dari postingannya, Fara menyimpulkan pasti ada yang spesial antara mas Abi dengan Zahira.” Kata-kata tegas itu meluncur lugas dari bibir Fara. Ia tak banyak menatap Abinaya dan lebih memilih memalingkan pandangan ke arah lain. “Zahira itu bukan siapa-siapanya Mas. Okay Mas bakal cerita semuanya. Orangtua Mas dan orangtua Zahira menjodohkan kami. Tapi mereka juga nggak maksa. Semua tergantung kami. Mas udah bilang ke orangtua Mas kalau Mas menolak perjodohan itu. Dan acara ke Baturaden itu karena bapak dan ibu Mas yang nyuruh nemeni mereka. Bapak ibu pingin kenalan sama kamu.” Fara terhenyak, “Kenapa Fara dibawa-bawa?” “Karena Mas bilang sudah punya calon sendiri. Masa Mas mesti ngenalin orangtua ke cewek lain? Kamu baru lihat foto Zahira dan orangtuanya bareng sama Mas udah cemburu gitu sampai WA Mas dianggurin, nggak dibales, apalagi kalau Mas ngenalin orangtua ke cewek lain.” “Siapa yang cemburu?” Fara mendelik. Abinaya melongo, “Hah? Nggak ngrasa? Anak kost sebelah yang cemburu. Tapi gengsi nggak mau ngaku kalau cemburu. Padahal udah jelas banget kelihatan cemburu.” “Fara udah bilang kalau Fara nggak cemburu. Silakan aja kalau Mas Abi mau ngenalin orangtua ke cewek lain. Mau milih Zahira pun nggak apa-apa.” “Beneran? Okay kalau kamu nyuruh Mas milih Zahira.” Fara bengong dan menatap Abinaya dengan gemuruh rasa yang tak bisa dijelaskan, antara kesal, sebal, cemburu dan marah bercampur aduk bagai seporsi gado-gado yang berisi kacang panjang, telur, kerupuk, sayuran lain dan bumbu kacang. “Ya udah sana. Zahira memang cantik kok.” , “Dia memang cantik,” balas Abinaya datar. “Udah cantik, sholehah pula, berhijab,” tukas Fara semakin kesal. “Ya betul,” tukas Abinaya tanpa ekspresi. “Pendidikannya juga bagus, lulusan Al-Azhar.” “Ya dia memang pintar berpendidikan,” balas Abinaya lagi, membuat Fara semakin galau tak menentu. “Keluarganya juga harmonis,” ujar Fara dengan tampang cemberut. “Yup, sempurna.” Abinaya melirik Fara yang menatapnya dengan bibir mengerucut. “Iya dia memang sempurna. Mas Abi lebih serasi sama dia. Fara mah nggak ada apa-apanya dibanding dia. Fara anak broken home. Mama papa cerai karena papa berselingkuh. Mama dirawat di Rumah Sakit Jiwa karena schizophrenia, dan Fara juga bukan gadis sholehah. Sholat masih bolong-bolong, doa-doa sholat belum hafal, hafalan Al-Qur’annya kalah telak dibanding Zahira, Fara cuma halal Al-Fatihah, Al-Ikhlas, An-Nas sama Al-Falaq, tiap sholat surat-surat itu aja yang dibaca. Fara juga nggak berhijab dan Fara baru masuk Islam semester lima kemarin. Jelas dari segi agama, Fara nggak ada apa-apanya dibanding Zahira. Fara pernah dengar ceramah kalau wanita itu dinikahi karena empat hal, karena kekayaannya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya, maka carilah yang baik agamanya. Jadi keputusan Mas Abi sudah tepat kalau milih Zahira. Dia nggak cuma baik agamanya tapi juga dari keluarga berada, cantik, keturunan dari orang-orang yang baik dan dari keluarga Muslim. Mas Abi terima saja perjodohan itu.” Fara beranjak dan bulir bening itu sudah menetes membasahi pipi. Abinaya beranjak dan secepat kilat mencengkeram tangan Fara agar tak masuk ke dalam. Abinaya begitu terkejut dan shock mendengar penuturan Fara tentang keluarganya. Dan satu hal yang sangat mengejutkannya adalah Fara ternyata seorang muallaf. Rasanya Abinaya mendapat banyak jawaban atas pertanyaan selama ini, kenapa Fara bisa salah pergaulan, kenapa hati Fara begitu keras untuk percaya pada laki-laki, kenapa Fara skeptis terhadap cinta dan pernikahan, kenapa setiap menatap mata indah Fara seperti ada luka yang begitu getir di dalamnya. Fara terisak tanpa mau menatap Abinaya. Abinaya menyeka air mata yang mengalir dari kedua sudut mata gadis itu. “Kamu benar-benar cemburu berat Far. Nggak usah mengelak lagi. Mas nggak akan memilih Zahira. Mas cuma bercanda tadi dan ingin tahu reaksimu saja. Jangan membandingkan dirimu dengan orang lain. Mas bisa memahami kondisimu dan Mas nggak akan mundur.” Fara mengangkat wajahnya dan menatap Abinaya yang tersenyum lembut padanya. “Mas, apa Mas Abi nggak nyesel nolak perjodohan itu? Zahira benar-benar sempurna Mas, nggak ada celanya.” “Mas nggak nyari yang sempurna. Mas nyari yang bisa diajak bareng-bareng memperbaiki diri dan mau dampingi Mas entah susah maupun senang.” Fara melihat ada keseriusan di wajah Abinaya. “Ya udah kamu masuk dulu aja, oleh-olehnya dibagi-bagi ya ama teman kamu. Ada mendoannya juga di dalam. Mas mau pamit juga. Ada jadwal mengajar di universitas lain.” Fara mengangguk. “Udah jangan nangis lagi. Mas Abimu masih menjadi milikmu dan nggak akan kemana-mana. Hati udah mentok buat kamu.” Fara tertawa kecil. “Ya udah ya Mas pulang dulu. Mau bilang I love you ntar dikira kayak anak SMA yang lagi poling in lop. Apalagi kalau nge-kiss, ntar kalau kepergok ibu kost, Mas nggak boleh main lagi ke sini, padahal pingin juga.” “Mas Abiiiii.” Fara membulatkan matanya. “Becanda.” Abinaya terkekeh. “Pulang ya, assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Fara menatap langkah Abinaya yang kian menjauh dengan senyum yang tak lepas. Setiba di dekat mobil, Abinaya melayangkan kissbye sebelum masuk ke dalam mobil. Fara tertawa sambil menggeleng. Entah apa reaksi mahasiswanya jika tahu kelakuan Pak Dosen yang sedemikian alay di luar kampus. Tapi Fara menyukainya. Perasaannya begitu berbunga hari ini. Rasa takut akan trauma itu masih ada, tapi Fara berusaha untuk membunuh ketakutannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD