Saat pintu ruang rapat terbuka, semua kepala menoleh hampir bersamaan. Seorang wanita elegan dengan setelan blazer putih gading, rambut hitam panjang terurai rapi, dan parfum mahal yang lembut melangkah masuk, Nadira Adhiyasa, pewaris tunggal perusahaan investasi besar dari Singapura. “Maaf terlambat, macet,” katanya santai, senyum tipis menghiasi bibir merahnya. Reinaldi berdiri sopan dan mengangguk singkat. “Tidak masalah, Miss Nadira. Kami baru mulai presentasi.” Nadira berjalan ke kursinya, namun tatapannya tidak pernah lepas dari wajah Reinaldi. Ada kilatan kagum di matanya, campuran antara profesionalisme dan ketertarikan yang tidak ia sembunyikan. Selama presentasi berjalan, ia beberapa kali mencondongkan tubuh ke depan, pura-pura memperhatikan layar padahal matanya hanya fokus