Malam itu, meski tubuhnya rebah di sofa empuk, mata Reinaldi enggan terpejam. Pikirannya terus melayang pada wajah Faiza yang tertidur di ranjang megahnya. Ia menatap ke langit-langit kamar, menelan ludah, seolah mencoba menyangkal perasaan yang pelan-pelan tumbuh tanpa izin. "Kenapa wajahnya terus menghantui? Kenapa aku merasa ingin menjaganya? Padahal aku masih punya Angel…" batinnya gelisah. Beberapa kali ia menoleh, memastikan Faiza tidur dengan tenang. Nafasnya teratur, wajahnya begitu damai di bawah cahaya lampu temaram kamar. Reinaldi sempat tersenyum samar—senyum yang jarang muncul di wajah dinginnya. Namun seiring waktu, kantuk akhirnya menyeretnya. Ia terlelap di sofa dengan posisi setengah miring, masih mengenakan kaus putihnya. — Pagi menjelang. Cahaya matahari menembus ti