Belanja Bersama

1344 Words
Adit mulai terbiasa dengan keberadaan Nayla. Sarapan dan makan malam bersama. Pakaian yang selalu rapi ketika ke kantor tanpa ia bersusah payah ke laundry. Apartemen yang selalu bersih. Entah bagaimana, semua menjadi tampak lebih mudah untuknya. Meski mereka sangat jarang berinteraksi, kehadiran Nayla seakan memberi banyak kemudahan di hidupnya. Ia hanya perlu memikirkan pekerjaannya sekarang tanpa direpoti keperluan domestik seperti apartemen dan baju-baju kotor. Bahkan perutnya pun sekarang lebih terurus tanpa ia repot memikirkannya apalagi mencarinya keluar. "Mas, bahan makanan di kulkas habis. Mas Adit ada waktu antar ke grocery?" "Kita lihat sepulang aku kerja nanti." "Iya. Kalau misal Mas capek, nanti nunggu Mas Adit libur nggak apa-apa. Kita bisa gofood dulu sementara" "Oke. Aku berangkat" Nayla mengangguk. Mencium tangan Adit seperti biasa. Melepasnya dengan doa dan senyuman. Bagi Nayla, Adit tidak memperlakukannya dengan buruk itu sudah cukup. Meski laki-laki itu hanya menganggapnya teman hidup, tak lebih. Tapi Nayla selalu berdoa agar kelak Adit betul-betul menganggapnya istri. Ia akan bersabar menunggu untuk itu. Dan meski laki-laki itu kerap mengacuhkannya, ia tetap akan melakukan kewajibannya sebagai istri. Setidaknya kehadirannya tak menjadi beban bagi laki-laki itu. Dan terlebih lagi, seharian Nayla masih bisa mengurus toko onlinenya dengan leluasa, sambil mengerjakan beberapa pekerjaan rumah yang tidak seberapa itu. Selepas Adit berangkat, Nayla akan duduk di meja makan dan membuka laptopnya. Mengecek setiap pesan di semua aplikasi sosial medianya. Dan itu dilakukannya sambil mencuci. Menyapu. Mengepel. Beberes. Menyetrika. Dia tak pernah sekalipun keluar. Hanya balkon itu saja tempatnya menghirup udara luar. Selebihnya ia benar-benar terkurung di ruangan itu. Hingga sore itu, untuk pertama kalinya Adit menelponnya. "Nay," suara di seberang membuat jantungnya berpacu lebih cepat. "Iya, Mas." "Siap-siap. Kita ke grocery sore ini. Aku jemput sebentar lagi. Gak usah masak. Kita makan di luar nanti." "Iya, Mas." Nayla berdiri di depan lemari mereka. Berpikir sejenak apa yang bisa ia gunakan. Ini adalah pertama kalinya ia pergi bersama Adit. Dan ia tak ingin membuat laki-laki itu malu membawanya serta. Dia melirik baju-baju Adit, dan disadarinya tumpukan baju itu hanya berisi beberapa warna saja, hitam, putih, biru, navy, abu-abu, coklat, krem. Tak ada warna lain di sana. Nayla mengambil gamis warna mocca dengan aplikasi warna abu memanjang di tengah dari pinggang sampai bawah. Dia menyapukan pelembab. BB cream. Lalu lipbalm. Setelah itu ia mengambil kerudung panjang warna senada yg setingkat lebih gelap dari gamisnya. Adit masuk ketika Nayla merapikan kerudungnya. Dia tertegun sesaat. Dia tahu Nayla tidak menggunakan make up. Wajah itu bersih. Lebih berseri dari biasanya. "Sudah siap?" "Kita gak nunggu maghrib aja Mas?" "Nanti kemaleman. Sampai sana kita nanti solat maghrib dulu baru kamu belanja." Nayla menurut. Dia menyambar handphone dan tas selempangnya. Lalu mengambil sepatu slip on nya."Sudah, Mas." Adit mengangguk. Menukar kunci motor dengan kunci mobilnya. "Bawa catatan kan?" "Ada." Nayla mengikuti Adit menuju ke basement. Itu adalah pertama kalinya ia keluar dari apartemen Adit. Di pelataran gedung, Nayla melihat sebuah minimarket dan beberapa kios makanan. Mereka keluar dari kompleks apartemen dan bergabung dengan arus kendaraan yg mengular. Pantas saja Adit lebih suka membawa motor ke kantornya. Macet begini. Batin Nayla. Mereka melakukan perjalanan itu dalam diam. Adit sesekali melirik Nayla. Perempuan itu begitu sederhana. Begitu tenang. Tak pernah sekalipun ia mendengar Nayla mengeluh. Adit membawa Nayla ke mushola yang ada di supermarket itu. Waktu maghrib yang relatif pendek membuat tempat itu lebih ramai dibanding waktu lainnya. Mereka duduk berdekatan mengenakan kembali sepatu mereka selesai solat. Adit menyelesaikan lebih dulu. Dia menengok ke arah wanita itu, dan hidungnya terkejut menangkap bau yang terasa terlampau manis di penciumannya dari sekitar leher Nayla. Sepanjang perjalanan tadi, dia bahkan tak mencium bau parfum apapun kecuali parfumnya sendiri. Kini, begitu berdekatan bau itu tercium manis. "Ayo," Nayla bangkit begitu ada laki-laki yg hendak duduk di sampingnya. Adit mengangguk. Dia sengaja merapatkan jalannya dengan tubuh mungil itu. Dan acap kali ia sengaja mendekatkan hidungnya ke bagian leher Nayla yang tertutup kerudung, mencoba menerka parfum wanita itu. Vanilla. Dia akhirnya mengambil kesimpulan. Adit mengambil alih troli yang diambil Nayla. Dia berjalan mengikuti wanita itu sambil mendorong trolinya. Dia mengamati wanita itu. Berjalan sambil membuka catatan di hapenya. Sesekali dia membantu Nayla mengambilkan sesuatu yang tak terjangkau tubuh pendeknya. Dan di luar dugaan, ia menikmati kegiatan itu. Mendorong troli belanjaan. Dia pernah beberapa kali menemani Arneta belanja. Tapi tak setenang Nayla. Arneta sama sekali tak efektif untuk urusan domestic. Apa karena itukah ibunya tak pernah menyetujui hubungannya dengan Arneta? Karena diam-diam, Adit memang mendamba seorang istri yang akan mengurusnya seperti ibunya mengurus ayahnya. Seorang ibu yang akan mengurus anak-anaknya seperti dia diurus ibunya selama ini. "Mas ada butuh sesuatu?" Suara Nayla mengagetkannya. Adit memandang troli belanjanya. Bahkan semua keperluan pribadinya sudah masuk di troli, sama persis dengan yang kerap ia pakai setiap hari. Adit menggeleng. Mereka mengantri di kasir. Beberapa orang tampak memperhatikan mereka. Adit memindahkan semua belanjaan mereka ke meja kasir. Mengeluarkan kartu debitnya. Lalu membisikkan nomor pin nya pada Nayla. Entah darimana ide itu, tapi sedetik keduanya mengejang seakan ada aliran listrik tegangan tinggi yang menyengat. Nayla tersengat bibir Adit yang menempel di telinganya yang tertutup kerudung. Dan Adit dibuat mabuk oleh harum yang hanya tercium dalam jarak sangat dekat. Mereka berjalan bersisian menuju tempat Adit memarkir mobilnya sambil mendorong troli. "Nay," mereka menata belanjaan di bagasi bersamaan. "Kamu pakai parfum?" Nayla tampak kaget. "Tercium ya Mas? Astaghfirullah." Adit tertawa ringan. "Enggak jika seperti ini." Nayla mengernyit. "Kok Mas Adit tahu." "Waktu kita memakai sepatu dan waktu menyerahkan atm" "Oh." Nayla terkesiap. "Maaf, Mas" "It's oke," Adit membukakan pintu untuk Nayla. “Mas gak marah kan aku pakai parfum?” Adit tertawa kecil. Ia tahu benar maksud pertanyaan itu. Bahwa gadis itu hanya miliknya. Wanginya hanya untuknya. "Orang lain gak bisa cium wanginya kan?" Nayla sudah duduk di depan. Adit berdiri sebelum menutup pintu. Entah kenapa wangi itu tiba-tiba menjadi candu berikutnya untuknya setelah kopi. "Kamu pakai apa?" Adit sekarang sudah ada di samping Nayla, memegang kemudi. Nayla menyebut parfum yang dipakainya. Adit hanya mengangguk pelan. Seleranya boleh juga. Pantas saja. Bukan parfum murahan. Batinnya. "Kamu pingin makan apa?" "Aku belum punya referensi. Asal gak yang aneh-aneh insyaAllah aku bisa makan" "Penyetan aja?" "Boleh." Adit membelokkan mobilnya ke warung tenda tempat ia biasa nongkrong bersama beberapa temannya. Laki-laki itu tipe orang yang bisa makan dimana saja, bahkan dia lebih menyukai makan di warung-warung kecil dibandingkan di resto. Dia hanya akan makan di resto jika bertemu klien. Atau bersama Arneta. Dan itu sangat jarang dengan kesibukan kekasihnya. "Weh lama gak kesini sudah ganti aja nih gandengannya, bang." Sambut Nurdin, asisten paling ramah di tempat itu menyambutnya. "Bini gue." "Eh Mbak, saya Nurdin," laki-laki berkulit gelap itu mengulurkan tangannya. Nayla tersenyum. Mengatupkan kedua tangannya di depan d**a. "Saya Nayla, mas Nurdin. Maaf" dia mengangguk meminta maaf tak menyambut uluran tangan Nurdin. "Eh iya. Maaf" Nurdin ikut mengatupkan tangannya. "Dapet dimana, Bang yang begini?" Dia berbisik pada Adit yg masih bisa terdengar Nayla dg jelas. "Yuk, sebelah sana," Adit sedari tadi rupanya mencari kursi yang di pinggir. Dia menarik tangan Nayla agar berjalan di depannya, lalu membimbingnya ke tempat yang dia maksud dengan memegangi pundak wanita itu hingga membuat Nayla tergugup. Adit menempatkan Nayla di pinggir, dan dia duduk di sampingnya bersebelahan dengan pengunjung lain. "Makasih," Nayla berkata lirih. Mereka makan dalam diam. Adit sesekali melirik wanita di sampingnya. Nayla tampak tak risih sama sekali makan di warung tenda pinggir jalan. Tapi dia menyisihkan sebagian nasinya ke pinggirnya. Adit mencomotnya separuh gundukan itu dan meletakkannya di piringnya, sementara separuh lagi ia baurkan dengan nasi yg digelar Nayla. Bola mata Nayla membulat protes. "Habiskan." Beberapa pasang mata tampak memperhatikan mereka. Nayla tertunduk. Adit cuek saja menghabiskan isi piringnya bahkan mencomot lauk di piring Nayla yg masih tersisa cukup besar. Mereka kembali ke apartemen menjelang jam 10 malam. "Besok aja beresinnya, sudah malam" "Gak apa-apa. Besok takut ada yang rusak." Adit naik untuk ke kamar mandi sementara Nayla masih membereskan isi belanjaan mereka ke tempatnya masing-masing. "Mau isya bareng, Nay?" Adit agak berteriak di ujung tangga atas sambil merapikan sarungnya. "Iya." Nayla segera bangkit. Naik ke atas, mengambil wudhu dan berdiri di belakang laki-laki itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD