bc

Istri Pilihan Ibu

book_age16+
3.3K
FOLLOW
23.5K
READ
contract marriage
inspirational
sweet
city
civilian
like
intro-logo
Blurb

Bagi Nayla pernikahan adalah sakral. Perjanjian dengan Tuhan yang tak hanya membawa konsekuensi status di dunia, tapi ibadah terpanjang yang akan menuntun langkahnya kelak hingga ke surga. Karenanya, ia akan sebaik mungkin menjalani perannya, menjadi istri dari seorang laki-laki yang ia kenal baik ibunya.

Bagi Adit, restu ibunya adalah yang utama di dunia ini. Bahkan ketika hubungannya dengan kekasihnya tak jua mendapat restu, ia memilih mengalah pada pilihan ibunya. Ia yakin ibunya akan selalu mengusahakan yang terbaik untuknya. Tapi akankah ia mengusahakan yang terbaik juga untuk pilihan ibunya?

chap-preview
Free preview
Rumah Baru
Nayla masuk ke apartemen itu dengan perasaan tak menentu. Dia memandang sekeliling. Sebuah ruangan segiempat yang tampak rapi meski minimalis dan nyaris tanpa sekat. Sebuah tangga yang tak terlalu banyak tampak langsung begitu membuka pintu. Di sisi tangga sebuah sofa abu yang tampak nyaman berseberangan dengan meja makan yang hanya muat untuk dua orang. Di sisi kiri tampak sebuah ruangan yang tanpa pintu, sedang di sisi kanan ada satu ruangan tertutup. Ruangan itu lebih mirip studio. Simple. Rapi. "Itu dapur,” Adit menunjuk sisi kiri ruangan. “Tempat tidurnya di atas,” Nayla mendongak ke atas. Sebuah ruangan di atas dapur yang hanya dibatasi oleh semacam pagar kaca. “Gak usah kuatir, aku hampir tidak pernah menerima tamu di sini. Jadi kamu aman." Adit tampaknya membaca pikiran Nayla. Nayla mengangguk gamang. Adit membawa kopor Nayla dan tasnya sendiri ke atas. Nayla mengikutinya dengan ragu. “Lemariku cuma satu, kamu pakai saja.” Nayla mengangguk. Dia tampak kikuk. Sebelum akhirnya memilih duduk di ranjang dan mulai melepas kaos kakinya meski sedikit ragu. Sekelabat, ditangkapnya bayangan laki-laki itu masuk ke satu-satunya pintu yang lain yang ada di sisi kiri ranjang. Lalu terdengar suara kran air dibuka. "Kalau mau mandi dulu, mandi aja. Kamu nanti tidur di sini, aku di sofa di bawah," Adit sudah kembali lalu melangkah turun meninggalkan Nayla. Nayla beranjak ke kamar mandi. Mengecek segala sesuatunya, sebelum akhirnya memutuskan untuk mandi sekalian. Bukan karena ia membutuhkannya, tapi lebih karena ia ingin sejenak mendapatkan privacy untuk sekedar menata perasaannya. Sakit itu masih kerap menyelinap di hatinya setiap kali ia berdekatan dengan laki-laki itu. Dan kini, ia harus hidup berdua dengannya tanpa siapapun. Di ruangan yang tadi sempat ia pindai melalui lift berada di lantai 5. Tanpa ia kenal siapapun. Nayla menghembuskan napas. Setidaknya, sekilas ia tahu apartemen itu cukup rapi dan nyaman. * Praditya Nafie adalah anak bungsu keluarga Gunawan Nafie, seorang kontraktor yang kini mengelola sebuah toko furniture terbesar di kota kecil di pantura. Di usia senjanya, ia dihadapkan pada kenyataan, bahwa putra bungsunya tampaknya lebih suka membujang. Lebaran 2019, seperti biasa, Adit pulang ke rumah masa kecilnya di malam lebaran. Kebiasaan yang sering dilakukannya sejak beberapa tahun terakhir. Seakan ia enggan pulang ke kampung halamannya. Bukan ia tak rindu rumah masa kecilnya. Hanya saja, ada enggan jika ia harus pulang mengikuti arus sebagian besar wajah negerinya. Dan tampang cueknya masih tak berubah ketika malam itu ia turun dari kendaraannya, menjejakkan kaki di halaman rumahnya. "Ciyee, calon pengantin baru dateng." Sekar, kakak sulungnya menggoda. "Brisik lo" Adit bersungut masuk ke dalam. "Jam berapa dari sana, Mas? Sudah makan?" Ibunya memeluknya dengan hangat. Pelukan yang kerap dirindukannya. Selalu dirindukannya. Ia balas mendekap erat. Menghirup aroma cinta pertamanya. Kembali menjadi bocah. "Sengaja gak makan di jalan. Mau makan masakan Ibu." Wanita itu tersenyum senang. Dan dengan sigap menyiapkan makan, sementara putra bungsunya itu menyapa ayahnya dan kakak laki-lakinya, Erlangga Nafie. "Duduk, Dit." Kata Angga, kakaknya. "Mau mandi dulu sebelum diceramahin elo." Jawabnya cuek. "Adit," ibunya mengingatkan. Adit cuek saja menuju kamarnya di atas. Mereka duduk mengitari meja makan menunggui si bungsu makan. "Udah deh, gak usah segitunya ngliatin orang makan." Sekar tertawa. "Hei, ada anak-anak kecil, yang sopan." Dia menepuk bahu adiknya. "Kamu seriusan kan, Dit?" Adit hanya melirik Sekar. "Kan kalian yang berkonspirasi" "Dia orang baik, Dit. Aku kenal baik musrifahnya. Kalau kamu cuma mau main-main." "I’ll keep my words, Mbak." "Praditya Nafie," Adit mendongak mendengar namanya dipanggil lengkap. Meja itu mendadak hening. Mereka sama-sama tahu, jika ada seorang anak yang dipanggil lengkap namanya oleh ibunya, maka tak seorangpun berani bersuara. "Ini bukan hanya tentang kamu sekarang. Tapi kamu ke depan. Satu. Dua. Bertahun-tahun ke depan. Sama seperti Mas Angga dan Mbak Sekar, kami tak lepas hingga memilihkan pendamping untuk mereka. Begitu pun kamu." Dan Praditya Nafie. Laki-laki mapan di usianya yang menjelang 32 tahun pun akhirnya tak kuasa menolak permintaan ibunya, setelah perempuan pilihannya ditolak mentah-mentah oleh sang ibu. Adit tahu alasan ibunya sangat masuk akal. Tapi ia tetap tak bisa menerima sepenuhnya. Dan satu-satunya cara menurutnya adalah membiarkan ibunya menang terlebih dahulu dengan menerima wanita pilihan ibunya, tanpa ia melepaskan pilihannya sendiri. Kedua orang tuanya melamar gadis itu tanpa kehadirannya. Ia betul-betul tak pernah diijinkan untuk berkomunikasi langsung dengan gadis itu. Ibunya yang melakukan semuanya. Bahkan hingga hari pernikahan mereka. Dan Adit tak terlalu peduli seperti apa rupa atau wataknya. Ah, ia yakin ibunya akan memilihkan yang terbaik untuknya. * "Nayla, kita perlu bicara." Adit duduk di atas ranjang memperhatikan wanita itu yang tengah duduk di depan cermin membersihkan sisa make up di wajahnya. Malam itu adalah acara terakhir di rumah orang tua Adit, setelah seharian dari pagi sampai sore ia berada di rumah Nayla. Laki-laki itu begitu memaksa agar semua acara selesai dalam satu hari. Ia ingin semua cepat selesai. Lalu ia bisa kembali secepatnya ke Jakarta. "Iya," Nayla membalikkan tubuhnya menghadap Adit. "Kamu tahu kan, kamu adalah wanita pilihan ibuku." Seketika wajah Nayla pias. Dia bukan perempuan bodoh yang tak mengerti makna tersirat dari kalimat laki-laki yang sekarang adalah suaminya. "Kamu bukan pilihanku. Jadi..." Nayla tertunduk. Ia merekam dengan jelas setiap kata-kata Adit setelahnya. Dan sesuatu seakan mengiris hatinya begitu perih. Tak pernah ia merasai kata-kata bisa sebegitu perih rasanya di hatinya. Air matanya menggenang di pelupuk. Tapi ia memaksakan diri mengangkat wajahnya. Menahannya sebisa mungkin agar tak tumpah. Tidak. Ia tak jatuh cinta pada laki-laki itu. Ia pun tak berpikir mencintai laki-laki itu. Tapi laki-laki itu adalah suaminya kini. Seseorang yang dihalalkan dengan nama Tuhannya. Dan kata-kata itu serupa pisau yang mengiris perih kalbunya. Menciptakan jarak dan tembok yang tinggi. "Baik, Mas. Saya mengerti." Nayla melanjutkan membersihkan wajahnya. Setelahnya ia pergi ke kamar mandi. Menyikat gigi dan mengambil wudhu. Shalat witir. Lalu naik ke tempat tidur. "Saya tidur dulu, Mas." Dia memejamkan matanya. Sesuatu mengaduk-aduk rasanya. Tàpi sekuat mungkin ia tahan air matanya. Bagaimanapun, laki-laki itu adalah suaminya di hadapan Pemilik kehidupan. Yang dengannya Nayla terikat hukum-hukum syariat. Meski ia tak menganggap Nayla adalah wanitanya, tapi Nayla tetap istrinya. Dan di hadapan Rabbnya, ikatan dengan laki-laki itu adalah yang paling kuat untuknya. Dia menghembuskan napas. Meringankan sendiri rongga d**a yang memberat. Lalu terpejam perlahan. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
32.2K
bc

Rayuan Sang Casanova

read
4.2K
bc

Terjebak Pemuas Hasrat Om Maven

read
41.5K
bc

Petaka Semalam di Kamar Adik Ipar

read
7.3K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
9.2K
bc

Desahan Sang Biduan

read
43.5K
bc

Benih Cinta Sang CEO 2

read
20.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook