Pagi Pertama

1009 Words
Nayla terbangun sebelum subuh. Tidurnya tak nyenyak. Dia beranjak ke kamar mandi dan menunaikan solat seperti biasanya. Lalu beranjak turun ke dapur menunggu subuh. Di sofa, dilihatnya Adit masih terlelap dengan ponsel tergeletak di atas meja, dan selimut turun tak beraturan. Hati-hati, dirapikannya lagi selimut itu lalu ia masuk ke dapur, membuka kulkas dan mulai memikirkan hendak memasak apa untuk sarapan. Bekal dari ibu mertuanya sudah ia rapikan semalam di kulkas. Cukup untuk beberapa hari. Dia mengambil wortel, brokoli dan bakso, lalu beras. Bahkan ibu mertuanya itu membawakannya sayuran. Mungkin beliau mengerti betul kehidupan putranya di apartemen. Perempuan sebaik itu. Jika bukan wanita itu sendiri yang memintanya, Nayla pasti punya stok alasan untuk menolak. Nayla menghela napas berat. Diliriknya Adit yang masih terlelap di sofa sebelum memutar kran perlahan untuk mencuci beras. "Lakukan saja bagianmu sebaik mungkin, Nay. This dunya is temporary. Begitupun setiap sakit." Dia menguatkan hatinya sendiri. * Gemericik air membuat Adit terbangun. Dia memicingkan mata. Dilihatnya bayangan perempuan masih menggunakan mukena berdiri di dapur. Dahinya mengernyit. Lalu dihempaskannya lagi punggungnya di sofa. Perempuan itu. Nayla. "Ngapain kamu." Dia akhirnya bangkit duduk. Menyangga kepalanya dengan kedua tangannya setelah mengecek jam di ponselnya yang tergeletak. "Mencuci beras. Maaf, aku membangunkan Mas Adit ya. Syukurlah, sebentar lagi subuh,Mas," Nayla tersenyum. Adit menghentakkan kakinya menuju ke atas. Lalu menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, menenggelamkan wajahnya di atas bantal. Ada aroma baru menyeruak ke hidungnya. Memaksa matanya yang hendak terpejam kembali terbuka. "Mas mau subuh ke masjid?" Nayla sudah sampai kembali atas, dia berdiri di ujung tangga. “Gak usah ikut campur urusanku. Berapa kali kubilang." Nayla menggigit bibir menyadari kesalahannya. "Aku tunggu Mas solat jamaah ya," katanya kemudian mengambilkan baju bersih dan sarung dan meletakkannya di dekat laki-laki itu. “Aku tunggu, Mas.” Adit beranjak menuju kamar mandi. Dia sempat melihat sarung dan baju bersih sudah ada di atas tempat tidur, sementara gadis itu tengah menggelar sajadah di sisi tempat tidur. Dia menghembus napas, mencoba mengurangi kesalnya. Sebrengsek apapun ia sekarang, kedua orangtuanya dulu membekalinya dengan ilmu agama yang tak bisa dibilang sedikit. Bahkan ia menghabiskan enam tahun masa remajanya di lingkungan pesantren. Dan kini, ibunya memilihkan seseorang untuknya yang sepertinya akan menjadi alarm waktu-waktu solatnya. Nayla langsung beranjak ke dapur selesai melipat mukenanya. Adit sudah bangkit dari tadi sebelum Nayla menyelesaikan doanya. Laki-laki itu sudah menghilang di ruang kerjanya yang tertutup rapat. Satu-satunya ruang tertutup yang Nayla dilarang memasukinya. Adit sudah menandai area privatnya kemarin dengan tegas. Sementara Nayla diberi ruang tidur di atas. Tapi itu bukan area privatnya. Karena ia menggunakan tempat itu bergantian dengan Adit, karena laki-laki itu tetap bebas keluar masuk. Nayla mendesah. Di sinilah ia sekarang. Bersama laki-laki yang baru ditemuinya ketika akad dua hari yang lalu. Dan kini laki-laki itu akan kembali pada aktivitas kantornya, sementara dia akan sendiri di ruangan segiempat itu, menunggu suaminya pulang. Nayla menyibukkan pagi pertamanya dengan peralatan dapurnya. Oh, bukan. Peralatan dapur Adit tepatnya. Ia lalu mulai memasak. Sebelum jam enam, Nayla sudah selesai dengan pekerjaannya. Dia tak tahu apa kesukaan Adit. Jadi ia hanya membuat capcay, omelet, tempe goreng. Nayla hanya menduga-duga Adit mungkin hanya sempat sarapan roti selama ini, maka dia membuat roti bakar dan menyeduh kopi. Nayla sudah selesai menata di meja makan, dia beranjak ke atas untuk mengganti bajunya. Entah mengapa, ia tak pernah suka dengan badannya yang bau dapur, karenanya ia kerap mandi lagi selesai memasak, meskipun singkat. Dilihatnya ruang kerja Adit masih tertutup. Diketuknya perlahan. “Mas, sarapan sudah siap.” Tak ada jawaban. Ia kembali mengetuk. Hingga ketiga kalinya, akhirnya ia kembali ke meja makan. Mengambil cangkir, dan menyeruput kopinya. Sepasang matanya tertuju pada pintu ruang kerja Adit. Berharap pintu itu segera terbuka. * Adit meletakkan ponselnya. Dia keluar ketika Nayla sudah menghabiskan separuh kopinya. Aroma harum kopi masih menguar membuat Adit mengernyit. Baunya sudah tak terlalu tajam, tapi tetap saja terlalu wangi untuk berada di apartemennya. Wangi yang menyeret langkahnya mendekat. “Kamu ngopi?” “Eh, Mas. Iya,” Nayla tergagap mendengar suara itu. Ia mendongak gugup. Diletakkannya cangkir kopinya di meja lalu berdiri canggung. “Maaf, Mas, tadi kuketuk pintu sampai tiga kali tidak ada sahutan.” Adit duduk dengan acuh. Diambilnya cangkir kopi yang sudah dingin itu. “Sudah dingin, Mas. Biar kubuatkan yang baru.” "Aku mau mandi dulu. Next time kamu gak perlu repot nyiapin makanku. Aku jarang makan di rumah." Adit beranjak ke kamar mandi setelah menyeruput kopinya sekali. "Gapapa, Mas. Sekalian aku perlu makan juga." Adit kembali ke meja makan dengan pakaian yang sudah rapi dan wangi. Satu cangkir kopi dengan uap yang masih mengepul sudah ada di meja. Dia mengambilnya, menghirup wanginya, sebelum meneruputnya pelan. “Kamu pakai kopi apa?” “Gayo, Mas. Arabika.” “Dapet darimana?” “Aku bawa dari rumah.” Adit hanya mengangguk samar. Dia mengulurkan tangan hendak mengambil piring. Ia memang tak terbiasa sarapan, karena memang hampir tak pernah tersedia sarapan di tempat tinggalnya itu. Tapi selagi ada, apa salahnya mengisi perutnya yang memang lapar. "Biar aku, Mas," Nayla mencegahnya. "Aku gak butuh dilayani kamu," katanya ketus. "Aku tahu. Setidaknya ijinkan aku melakukan bagianku sebaik mungkin." Kata Nayla tegas. Adit mengalah. Intonasi suara gadis itu yang seakan memberi garis tegas, yang entah bagaimana cukup untuk membungkamnya. Tanpa bantahan. Tak pernah seorang perempuan pun berhasil melakukan itu padanya kecuali ibunya. Mereka makan dalam diam. Hingga ketika mereka selesai. Adit langsung beranjak mengambil tasnya dan melenggang keluar. Nayla yang masih membereskan meja bergegas mengikuti suaminya menuju pintu. "Apa?" Adit berbalik. Galak. Nayla mengulurkan tangannya. Adit berpaling. Tapi kemudian menyambutnya. Tak ayal, ada sesuatu yang berdesir di hatinya ketika Nayla mengecup punggung tangannya, dan melepasnya berangkat dengan senyuman. "Hati-hati, Mas." "Pinnya ada di nakas dekat tempat tidur. Kamu bebas pergi kemanapun kamu suka. Gak perlu ngasih tau aku." "Aku tetap akan minta ijin Mas Adit. Mohon mengertilah." Adit berbalik dan menutup pintu dengan kasar. Dia sempat mendengar Nayla mengucapkan salam, "Assalamualaikum, Mas." Dari balik pintu Adit menghembuskan napasnya. "Waalaikumussalam, Nayla." Dia menjawab lirih. Menatap punggung tangannya yang terkena bibir perempuan itu. Hangat. Dia melangkah cepat meninggalkan apartemennya. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD