Derita Flora

685 Words
Keesokan harinya Flora kembali berdiri di depan jendela NICU, matanya masih sembab. Beberapa menit berlalu tanpa ia sadari—sampai akhirnya suara langkah perawat membuatnya kembali ke kenyataan. “Bu Flora, kalau pusing atau ingin duduk sebentar, bilang ya,” ujar perawat ramah itu. Flora mengangguk kecil. “Saya di sini saja… nggak apa-apa.” Suaranya nyaris hilang. Begitu perawat berlalu, keheningan kembali menelan ruang itu—dan memorinya datang lagi, menyergap seperti gelombang dingin yang tak tertahan. Waktu itu, kehamilan Flora baru sekitar sembilan minggu. Ia ingat betul pagi saat pusingnya tak tertahankan di ruang ganti tempat ia bekerja. Atasannya, Pak Surya, melihat wajah pucatnya. “Flora, kamu istirahat dulu. Kamu udah dari tadi kayak mau pingsan. Cuti aja dua-tiga hari, ya.” “Tapi Pak, saya masih sanggup kerja,” jawab Flora sambil memaksakan senyum. “Saya yang bilang kamu cuti. Kamu pulang, istirahat. Kesehatan lebih penting.” Flora terharu, tapi juga takut. Ia tahu di rumah akan ada amarah yang menunggunya. Dan benar saja. Begitu Flora mengabari bahwa ia harus cuti karena hamil muda, Anita langsung meledak seperti gunung api. “Kamu sengaja ya?! Sengaja males-malesan kerja karena hamil? Saya udah bilang apa? Jangan punya anak dulu!” Flora hanya berdiri di pintu dapur, tangan memegangi perutnya yang bahkan belum terlihat. “Bu, ini bukan sengaja… saya benar-benar lemes… pusing…” “Alasan! Baru hamil dikit aja udah kayak orang sekarat!” Anita menunjuk wajahnya. “Dengar ya—kamu itu makan dari uang saya. Gaji kamu dan Bara buat saya. Kamu pikir saya mau keluar duit lebih cuma buat janin yang bahkan saya nggak mau?!” Flora menelan ludah, tenggorokannya seperti terbakar. Bara muncul dari ruang tengah tanpa ekspresi. “Ma, udah.” Tapi ucapannya bukan untuk membela Flora. Bara hanya ingin ibunya berhenti berteriak, bukan membela istrinya. Ketika Flora berharap Bara akan memegang tangannya dan berkata “Aku dukung kamu”, yang keluar justru, “Kenapa kamu nggak hati-hati, Flora? Kamu kan tahu Ma nggak suka ini.” Sakitnya seperti pukulan. Kembali ke masa kini, Flora menarik nafas pendek. Rasanya perihnya tetap sama seperti dulu. Ingatan bergeser lagi ke beberapa bulan ke belakang—aura ruang makan yang gelap, hanya ditemani suara kipas angin tua. Anita meletakkan selembar uang lusuh di meja. “Nih. Lima ribu. Buat kamu sehari.” Flora terpaku. “Bu… saya hamil. Saya butuh makan yang bergizi…” “Kalau kamu butuh gizi, lahir aja dari keluarga kaya!” cibir Anita. “Udah syukur saya masih ngasih uang. Kalau nggak hamil, kamu bisa makan lauk sama kami. Tapi karena kamu bawa-bawa ini,”—telunjuk Anita menunjuk perut Flora—“kamu yang tanggung sendiri.” Flora menunduk, menahan air mata. “Saya cuma… takut kalau bayi ini—” “Nggak peduli!” Anita memotong. “Saya bilang jangan punya anak! Udah dikasih tablet penunda, kenapa masih hamil? Kamu tuh bener-bener bikin hidup kami susah!” Bara hanya berdiri di belakang, diam seperti bayangan. Flora mencoba mendekati suaminya. “Mas… tolong bicara sesuatu…” Namun Bara menepis tangannya. “Jangan drama. Kamu tahu sendiri ini salahmu.” Flora merasa seolah seluruh isi tubuhnya runtuh dari dalam. Sekarang, Flora berdiri lagi di depan kaca NICU. Jemarinya menempel di permukaan dingin. “Maafin Ibu ya…” bisiknya lirih pada bayi kecilnya yang sedang berjuang di balik kaca. “Maaf kalau dari awal hidup kamu jadi sesulit ini…” Air matanya jatuh lagi. Dia teringat bagaimana dulu ia pernah menahan lapar sampai menggigil, hanya demi memastikan bayinya tetap hidup di dalam kandungan. Bagaimana ia pernah makan hanya nasi putih tanpa lauk tiga hari berturut-turut. Bagaimana Bara tidur pulas sementara ia menahan mual hebat sendirian. Bagaimana Anita menyuruhnya mengepel teras sambil memegangi perutnya yang sering kram. Bagaimana ia setiap malam berdoa, “Tolong jangan ambil bayiku…” Kini bayi itu terbaring kecil dan rentan, dan Flora hanya bisa menatap dari balik kaca. “Bertahan ya, Nak…” suara Flora pecah. “Jangan tinggalin Ibu…” Tapi hatinya teriris oleh kenyataan pahit—karena masa lalunya masih mengejar, dan ia bahkan belum tahu bahwa luka paling besar belum datang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD