Lorong rumah sakit pagi itu dipenuhi bau antiseptik dan suara langkah cepat para perawat. Flora duduk di bangku panjang dekat jendela, sambil meremas ujung selimut yang menutupi kakinya. Kepalanya masih pening, tapi pikirannya jauh lebih berat daripada tubuhnya.
Ia baru keluar dari ruang NICU dan diminta istirahat. Tapi bagaimana ia bisa? Anaknya masih berjuang sendiri di balik pintu itu.
Flora menunduk. Ponsel di genggamannya kembali bergetar—bukan dari Bara, tentu saja. Hanya pesan pemberitahuan dari aplikasi rumah sakit. Ia menatap layarnya kosong. Ia berharap itu Bara, meski dalam hati tahu itu mustahil.
Baru saja ia menarik nafas, suara langkah tergesa datang mendekat.
“Bu Flora?”
Perawat senior mendekat dengan nada lembut. “Makan dulu ya, Bu. Ibu tidak boleh kosong. Ibu masih pemulihan.”
Flora menggeleng pelan. “Saya nggak selera. Makan rasanya… susah.”
“Sedikit saja,” bujuk si perawat. “Kalau Ibu sampai pingsan, siapa yang mau lihat bayi Ibu nanti?”
Kalimat itu menusuk pelan. Flora menelan ludah, lalu mengangguk.
“Oke, Bu. Saya ambilkan roti.”
Setelah perawat pergi, Flora menyandarkan kepala ke dinding. Air mata menggenang begitu mudah hari ini. Mungkin karena tubuhnya masih lemah. Mungkin juga karena ia benar-benar sendirian.
Dan saat kesunyian menelannya, ingatan itu kembali—waktu pertama kali ia tahu ia hamil.
Beberapa bulan sebelumnya. Flora memegang test pack dengan tangan gemetar. Dua garis merah muda. Jelas.
Dadanya sesak. Antara takut dan bahagia berbaur.
“Aku hamil…” bisiknya pada diri sendiri. “Ya Tuhan… aku bakal punya keluarga.”
Ia menempelkan test pack itu ke d**a, tersenyum kecil, membayangkan Bara memeluknya.
Mungkin semuanya akan berubah. Mungkin Bara akan lebih lembut. Mungkin Anita juga akan luluh.
Ia menunggu Bara pulang dengan hati tak menentu. Hari itu Flora tidak masuk kerja karena ia merasa kurang enak badan.
Ketika Bara datang, Flora langsung menyambutnya, mencoba menahan euforia.
“Bar…” Flora menyodorkan test pack itu, suaranya pelan namun penuh harap. “Aku hamil.”
Bara menatapnya sekilas, lalu wajahnya langsung mengeras.
Seakan kabar itu adalah berita buruk.
“Serius kamu?” nadanya dingin.
Flora mengangguk kecil. “Iya. Aku… aku lupa minum pil satu kali. Tapi kita bisa—”
BRAK!
Pintu kamar Anita terbuka keras.
“Apa aku barusan dengar kamu HAMIL?” suara Anita nyaring, tajam, menusuk udara.
Flora tersentak. “Bu, aku—”
“KAMU GILA, FLORA?!” Anita mendekat dengan tatapan penuh kemarahan. “Aku sudah bilang jangan bikin anak dulu! Kamu pikir anak itu murah?”
Flora menelan ludah. “Bu, ini bukan kesengajaan. Tapi… ini anak kami. Aku—”
“GUGURKAN!” Suara Anita melengking.
Bara hanya berdiri diam, kepalanya tertunduk.
Flora terbelalak. “Bu… jangan bilang begitu. Ini nyawa.”
“Nggak peduli! Aku nggak mau repot! Kamu masih miskin, kerjaannya cuma bersih-bersih. Kau mau kasih makan anak pakai apa? Udara?”
“Bara…” Flora berbalik pada suaminya, memohon. “Tolong… ini anak kita.”
Bara menghembuskan napas panjang, wajahnya tertekan.
“Aku ikut Ibu, Flora. Sekarang belum waktunya.”
Jantung Flora seakan diremas.
“Aku… nggak mau gugurin anak ini,” suara Flora gemetar. “Apapun yang terjadi, aku mau dia. Dia darah daging kita.”
Anita menunjuk wajah Flora.
“Kalau kamu egois, jangan salahkan aku kalau hidup kamu di rumah ini jadi neraka.”
Flora menahan napas.
Sudah lama hidupnya terasa seperti neraka.
Apalagi yang bisa lebih buruk?
Kembali ke rumah sakit. “Bu, ini rotinya.”
Perawat senior kembali, meletakkan piring kecil di pangkuan Flora.
Flora mengusap pipinya diam-diam sebelum mengangkat wajah. “Terima kasih…”
Perawat itu duduk sebentar di sampingnya. “Tadi dokter bilang, kondisi bayi Ibu masih kritis. Kita semua berusaha, Bu. Tapi Ibu juga harus kuat.”
Flora mengangguk, meski tenggorokannya terasa tertutup.
“Kalau ada keluarga yang bisa datang, panggil saja ya, Bu,” lanjut sang perawat. “Ibu butuh dukungan.”
Flora terdiam sesaat.
Keluarga?
Siapa?
Ia menggeleng pelan. “Saya… nggak punya siapa-siapa.”
“Oh…” Perawat itu terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
Flora memecah sunyi. “Ayah dan ibu saya nggak pernah saya kenal. Saya besar di panti. Suami saya…” Ia berhenti, menahan getar di suaranya. “…dia nggak mau lihat kami.”
Perawat itu menatapnya iba.
“Maaf… saya ikut sedih dengarnya.”
Flora memaksakan senyum, meski getar bibirnya sulit disembunyikan. “Tidak apa-apa. Saya cuma… berharap bayi saya kuat. Itu saja.”
Perawat memegang bahu Flora. “Kita akan berbuat sebisanya, Bu. Ibu juga sudah kuat sejauh ini. Tolong makan ya.”
Setelah perawat itu pergi, Flora akhirnya menyuap sepotong kecil roti. Rasanya hambar. Tapi ia memaksa menelan.
Karena ia tahu, ia harus bertahan. Untuk bayinya.
Ia meraih ponselnya lagi. Menatap pesan dari Bara.
Kalimat itu berputar-putar di kepalanya, menghantam berkali-kali.
(Bara: Mulai malam ini kamu bukan istriku lagi. Aku ceraikan kamu, Flora Sabina!)
Flora menghapus air matanya lagi.
Ia menarik napas dalam-dalam.
“Aku nggak butuh mereka…” bisiknya, pelan tapi tegas. “Aku cuma butuh kamu, Nak. Selama kamu berjuang, Ibu juga berjuang.”
Ia menatap pintu NICU yang tertutup rapat.
Flora tidak tahu bahwa perjuangan itu baru saja dimulai.