Titik Terendah Flora

989 Words
“Mulai malam ini kamu bukan istriku lagi. Aku ceraikan kamu, Flora Sabina!” *** Hujan turun pelan, menempel di kaca besar ruang NICU seperti garis-garis buram. Flora berdiri di depan pintu itu, tubuhnya masih tertopang infus. Perutnya nyeri, ia baru melahirkan. Tapi ia memaksa berdiri, karena di balik kaca itulah anaknya berjuang untuk hidup. Flora melahirkan di rumah sakit tanpa ada yang menemani. Bayi mungil itu bahkan belum sempat ia peluk. Ponsel Flora tiba-tiba bergetar di tangan. Flora mengusap layar dengan ibu jari yang gemetar. Tiga pesan. Dari Bara, suaminya. Ia sempat berpikir Bara menanyakan kondisi bayi mereka. Atau menanyakan apakah ia baik-baik saja. Tapi isi pesannya bukan itu. (Bara: Mulai malam ini kamu bukan istriku lagi. Aku ceraikan kamu, Flora Sabina!) (Bara: Ini akibat kamu tak menurut padaku! Sejak awal sudah kukatakan gugurkan kandunganmu!) (Bara: Aku dan ibuku mendoakan anakmu cepat meninggal! Sekarang anakmu masuk NICU selamat mencari biayanya! Jangan pernah cari kami. Hubungan kita putus. Pernikahan kita ga pernah aku daftarkan, jadi tak perlu kamu ke pengadilan.) Flora membeku. Pesan itu seperti suara keras yang meledak dalam kepalanya, tapi tak ada satupun orang di lorong rumah sakit itu yang sadar ada hati yang hancur pada detik itu juga. Tangannya melemah sampai-sampai ponselnya hampir jatuh. “Bu Flora?” Perawat muda mendekat, menatapnya cemas. “Ibu pucat sekali. Mau duduk dulu?” Flora membuka mulut, tapi tenggorokannya seperti disumpal. “A…aku nggak apa-apa,” jawabnya lirih. “Kalau Ibu butuh lihat bayinya, saya bisa bantu antar.” Flora mengangguk, tapi tatapannya tak lepas dari layar ponselnya. Ia menekan pesan itu sekali lagi, seakan-akan teksnya akan berubah jika ia baca ulang. Tapi tetap sama. Tetap kejam. Perawat itu ragu sejenak sebelum meninggalkannya. Dan koridor kembali sunyi. Flora merasakan mata panas, tapi tidak ada tangis keluar. Belum. Tubuhnya terlalu lelah untuk menangis. Ia mengangkat wajah, menatap kaca NICU. Di balik pembatas itu, anaknya dikelilingi mesin. Kabel kecil menempel di d**a dan lengan mungilnya. Wajah bayi itu merah, seolah menahan sakit yang tak seharusnya dirasakan bayi mana pun. “Kamu nggak sendirian…” bisik Flora, hampir tanpa suara. “Ibu di sini.” Ia menyentuh kaca dengan punggung jarinya. Dingin. Ia menarik napas panjang, namun dadanya justru semakin sesak. Perlahan, kenangan enam tahun terakhir mulai muncul—pelan, tapi menusuk. Ia tidak mau mengingat. Tapi otaknya memaksa. Enam tahun yang lalu. Hari pertama setelah menikah, Flora bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan sederhana. Ia berharap Bara tersenyum. Ia ingin rumah, keluarga… sesuatu yang tak pernah ia punya sebelumnya. Tapi Anita, ibu mertua yang pertama kali ia lihat pagi itu—langsung melemparkan kalimat pertama tanpa salam. “Kamu kerja apa tadi?” Suara Anita tajam, tanpa menoleh. Flora buru-buru mendekat sambil membawa piring. “Aku masak nasi goreng, Bu. Semoga—” “Nasi goreng? Kamu pikir ini hotel?” Anita mencibir. “Bara nggak suka minyak banyak. Kamu nggak paham?” Flora tercekat. “Ma-maaf, Bu. Nanti Aku ganti menunya.” “Udah terlanjur,” gumam Anita dingin. Bara, yang sudah duduk di meja makan, hanya menatap piringnya. Tidak ada belas kasihan, tidak ada pembelaan. Flora menelan ludah, mencoba tersenyum kecil. Ia pikir mungkin hanya hari pertama. Mungkin Anita butuh waktu untuk menerima kehadirannya. Tapi ia salah. Hari demi hari suara Anita memenuhi rumah itu. “Flora, gaji kamu kasih ke Ibu. Kamu nggak usah simpan-simpan uang.” “Kamu pakai sabun kebanyakan. Lihat, habis terus!” “Jangan banyak tidur. Orang baru kawin kok lemes mulu?” Padahal Flora sangat lelah setelah seharian bekerja. Kadang lembur. Flora mencoba, sungguh mencoba untuk tidak membalas. Ia hanya ingin damai. Hidup sederhana saja sudah cukup baginya. Suatu malam, Anita memberikan pil kontrasepsi. “Minum ini.” Flora menatap pil itu lama. “Bu… Aku kira kalau Aku dan Bara—” “Belum saatnya punya anak.” Anita memotong cepat. “Kamu belum becus jadi istri.” “Tapi—” “Kamu minum saja. Jangan banyak tanya.” Bara yang baru pulang kerja hanya mendesah lelah. “Ikuti Ibu, Flora. Biar nggak ribut.” Dan Flora menelan pil itu setiap malam. Tanpa pernah berani protes. Hingga satu malam ia begitu kelelahan setelah lembur. Ia lupa menelan satu butir. Satu. Hanya satu. Flora mengucek matanya dengan punggung tangan. Baru saat itu air mata benar-benar jatuh. Pelan. Tanpa suara. Ia memegang perut, meski kini kosong dengan refleks. “Bara…” suaranya patah. “Kenapa kamu tinggalkan aku disaat aku paling butuh kamu…?” Langkah pasien dan keluarga berlalu-lalang di belakangnya, namun semuanya kedengarannya jauh. Seakan dunia bergerak tapi Flora tertinggal di satu titik yang gelap. Ia mengambil napas pendek, terputus-putus. Lalu ia meraih gagang pintu NICU. Setidaknya, anaknya masih ada. Anaknya masih berjuang. Dan ia harus di sana. Dengan tubuh lemah, Flora masuk pelan-pelan. Suara mesin menyambutnya, bip-bip lembut namun membuat hati terasa dicekik. “Selamat pagi, Bu Flora,” sapa perawat senior. “Bolehkah saya bantu?” Flora tersenyum kaku. “Saya cuma mau melihat dia… sebentar saja.” “Silakan. Tapi jangan terlalu lama berdiri. Ibu masih harus istirahat.” Flora mengangguk. Ia berdiri di samping inkubator. Bayi laki-laki itu mengalami kelainan jantung dan harus dirawat intensif. Bayi itu begitu kecil. Begitu rapuh. Flora menyentuh kacanya dengan jari yang bergetar. “Maaf ya, Nak…” Suara Flora pecah untuk pertama kalinya. “Ibu belum bisa jagain kamu dengan baik…” Tangisnya pecah perlahan, tapi ia cepat menutup mulut agar tidak terdengar. Ia tak ingin membuat orang lain khawatir. Baru lima menit berlalu, tapi tubuhnya sudah melemah. Perawat mendekat. “Bu Flora, ayo istirahat dulu. Kita tunggu sampai Ibu kuat.” Flora mengangguk pelan. Saat melangkah keluar, ia kembali melihat ponselnya. Pesan itu masih di sana. Tidak berubah. Ia menyeka air matanya, lalu berbisik pelan, “Aku nggak punya siapa-siapa. Tapi aku masih punya kamu, Nak… aku janji akan berjuang buat kamu.” Ia tidak tahu bahwa takdir sudah menyiapkan pukulan lain jauh lebih kejam yang menunggu hanya beberapa hari lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD