Tujuh

2016 Words
Kamis (14.25), 01 April 2021 ------------------------ Aira menunggu Dariel dengan gelisah. Perutnya yang lapar tidak lagi terasa mengganggu karena ada hal lain yang lebih membuatnya cemas. Sekarang adalah hari terakhirnya masuk shift pagi di pom bensin karena besok dia harus masuk shift sore. Memang begitulah di pom bensin tempat Aira bekerja. Tiap tiga hari sekali shift akan berubah. Begitu seterusnya. Yang menjadi masalah adalah jam masuk shift pagi tepat pukul enam pagi. Sedangkan jam sudah menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit. Aira kembali berdiri dari tempat duduknya semula di sofa ruang tamu. Dia mengintip dari pintu yang sengaja dibiarkannya terbuka. Entah sudah berapa kali Aira melakukan hal ini sejak satu jam lalu. Dia terus mondar-mandir antara sofa dan pintu depan dengan seragam pom bensin yang sudah ia kenakan. Apa mungkin Dariel langsung berangkat sekolah? Aira mematung karena pikiran itu. Semalam dia tidak sempat mengingatkan Dariel bahwa dirinya harus masuk bekerja. Bagaimana kalau Dariel baru akan menemuinya setelah pulang sekolah? Dan lagi, Aira sama sekali tidak tahu jalan menuju pom bensin tempatnya bekerja dari rumah Dariel ini. Tentu ini bencana bagi Aira. Dirinya sudah membuat masalah secara bertubi-tubi selama dua hari. Jika ditambah sehari lagi, Aira ragu apa masih ada keringanan untuknya. “Jangan takut dan merasa sendirian, Kak. Ada aku dalam hatimu.” Air mata Aira menitik saat kalimat itu terngiang dalam benaknya. Itu adalah kata-kata terakhir Airi sebelum proses transplantasi hati dilakukan. Saat itu Airi sudah memohon agar Aira menyerah dan tidak melanjutkan niatnya untuk mendonorkan hati. Namun Aira bersikeras. Meski dokter juga pesimis, ia tetap melaksanakan proses transplantasi hati yang akhirnya sia-sia karena Airi meninggal sebelum mendapat hati darinya. Kemarin saat Aira menggelitiki Dariel karena terlalu kesal, ingatan mengenai Airi muncul kembali. Dulu ketika tubuh Airi masih cukup kuat, mereka sering bercanda seperti itu. Setelah Airi mengusilinya, pasti Aira akan langsung menggelitiki Airi hingga adiknya itu memohon ampun. Itu sebabnya Aira tiba-tiba menangis di d**a Dariel. Dia sungguh merindukan Airi. Meski hidup mereka terbilang sulit, tapi keberadaan Airi menguatkan langkahnya. Demi Airi dia terus tersenyum. Demi Airi dia bekerja keras dari hari ke hari. Dan demi Airi pula dirinya tidak membiarkan masalah membuatnya terpuruk. Kini Aira merasa luluh lantak. Tidak ada lagi yang menjadi penyemangatnya. Tidak ada lagi yang menjadi alasannya untuk terus tersenyum dan bertahan. Kadang, saat kepedihan begitu melilit dirinya, Aira sempat berpikir untuk mengakhiri hidup. Tapi ternyata dirinya terlalu lemah. Dia tidak pernah berani melakukannya. Dan sekarang—mungkin karena otaknya sudah kembali waras—Aira merasakan takut saat mendekati kematian. Dia takut di akhirat hidupnya akan lebih menderita karena dia masih memiliki banyak dosa. Bruumm. Suara motor yang mendekati rumah membuat Aira segera menghapus air mata lalu bergegas ke pintu. Rupanya memang Dariel yang datang dan baru saja turun dari motor. “Dariel, bisakah langsung antarkan aku ke tempat kerja? Hanya kali ini saja sekalian aku akan menghafal rutenya.” Sebenarnya Aira sedikit tidak enak meminta hal ini pada Dariel. Pemuda itu sudah begitu baik memberinya pinjaman uang dan memberinya atap untuk berteduh. Kini Aira masih akan merepotkan pemuda yang seharusnya berangkat sekolah itu. “Kau sudah makan?” bukannya menanggapi ucapan Aira, Dariel malah menanyakan hal lain. “Aku akan makan di tempat kerja.” Dariel berjalan santai masuk ke rumah sambil membawa bungkusan tas plastik. “Aku belum sarapan. Ayo makan bersamaku.” Jemari Aira saling meremas dengan gelisah. Tidak ada waktu lagi. Kini jarum jam sudah menunjuk pukul enam kurang lima menit. “Dariel,” panggil Aira sambil mengikuti pemuda itu masuk menuju ruang makan yang menyatu dengan dapur. Bahkan di telinga Aira sendiri, nada suaranya terdengar seperti merengek. “Aku benar-benar harus berangkat. Atau kau tidak perlu mengantarku. Jelaskan saja rute menuju jalan raya dari sini. Aku tidak memperhatikan kemarin.” “Tentu saja kau tidak memperhatikan. Kau lebih sibuk merajuk padaku,” gerutu Dariel sambil menyiapkan piring, sendok dan garpu. “Aku membeli mie ayam. Semoga kau tidak keberatan.” “Mana mungkin aku keberatan?” Aira menelan liurnya menatap mie ayam yang terlihat begitu lezat. “Aku baru tahu ada yang menjual mie ayam sepagi ini.” “Aku membelinya di warung langgananku.” Lalu tanpa diduga, Dariel mengarahkan garpu yang sudah dililit mie ke mulut Aira. “Buka mulutmu!” Refleks Aira langsung membuka mulut. Tatapannya terpaku pada mata biru gelap milik Dariel yang kini juga menatapnya tajam. Lalu entah mengapa, jantung Aira berdebar keras. Selesai melahap mie dari garpu yang dipegang Dariel, Aira tertunduk. Wajahnya terasa panas. Dia merasa menjadi remaja yang sedang salah tingkah saat lelaki yang disukainya memberi perhatian khusus padanya. Dan sungguh, itu terdengar sangat memalukan bagi Aira. “Ayo, duduk. Habiskan sarapanmu!” setelah berkata dengan nada datar seperti itu, Dariel langsung duduk dan segera melahap mienya, masih menggunakan garpu yang tadi. Aira yang masih berdiri, menoleh ke arah Dariel dengan perasaan campur aduk. Dia ingin memaksa Dariel segera mengantarnya, namun tidak tega dan—takut? Tidak tega karena pemuda itu terlihat benar-benar lapar jika dilihat dari cara makannya yang lahap. Dan takut karena mendadap Dariel bersikap datar padanya. Tidak seperti pemuda tengil yang menolongnya kemarin. Mungkinkah tiba-tiba Dariel merasa menyesal karena telah menolongnya? “Berhenti berpikiran aneh-aneh, Aira. Duduk!” perintah Dariel tegas. Tanpa pikir panjang Aira langsung duduk. Sedikit takut Aira melirik Dariel. Walau bocah di sampingnya jauh lebih muda, ternyata dia bisa terlihat menyeramkan ketika berkata dengan nada tinggi dan tegas seperti tadi. “Makan, Aira! Apa perlu aku mendikte semuanya?” tanya Dariel sambil menatap Aira tajam. Aira menggeleng cepat lalu segera mengalihkan perhatian dari Dariel. Ia meraih garpu dan memakan mie dengan terburu-buru. Mie yang seharusnya terasa lezat menjadi hambar. Dia tidak terlalu mempermasalahkan rasanya agar cepat selesai— Uhuuk huk! Dariel berdiri lalu menuang air mineral yang tadi ia beli bersama mie ayam ke dalam gelas. “Minum!” perintah Dariel. Aira langsung menangkup gelas itu lalu meneguk air banyak-banyak. Beberapa saat kemudian, Aira sudah kembali bisa bernafas lega. Saat itulah dia menyadari bahwa tanpa sadar dia juga menangkup tangan Dariel yang masih memegang gelas. Buru-buru ia menjauhkan tangannya dari gelas. Jemarinya kembali saling meremas dengan gugup.   “Kau sudah selesai makan?” tanya Dariel sambil menuang kembali air mineral lalu minum dari gelas yang sama yang tadi Aira gunakan hingga membuat wajah Aira terasa panas. “Kalau kau masih mau makan, segera habiskan!” “Ah, eh—tidak! Aku sudah selesai.” Buru-buru Aira berdiri lalu menatap Dariel gugup. Sama seperti tingkah Dariel sepuluh menit terakhir, kali inipun pemuda itu melakukan sesuatu yang tidak terduga. Mendadak dia mendekap Aira erat. Tubuh Aira menegang namun dia sama sekali tidak bergerak karena terlalu kaget. Dia sungguh tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan Dariel sekarang. Jantungnya yang sedari tadi berdebar tidak normal, kini semakin memburuk. Dia bahkan mulai berpikir macam-macam mengenai serangan jantung. “Aira, kumohon. Jangan sedih lagi. Rasanya sakit sekali dan sangat menggangguku.” DEG Permohonan Dariel yang terdengar lembut dan begitu tulus dari dalam hatinya, membuat d**a Aira terasa sesak. Dia tidak mengerti mengapa kesedihannya bisa mengganggu Dariel. Dan lagi, pemuda itu baru saja datang. Bagaimana bisa dia menyimpulkan bahwa Aira bersedih lagi. Namun semua pertanyaan itu tidak terlalu Aira pikirkan karena nada lembut dan kalimat Dariel terasa begitu mengena di hatinya. Seperti ada sesuatu dalam dirinya yang terbangun akibat perhatian Dariel yang terasa jelas. “Sudahlah, ayo berangkat. Kau pasti sudah sangat terlambat.” Perlahan Dariel melepas pelukannya. Tidak seperti tadi, kini nada suara Dariel terdengar lembut dan pemuda itu menghadirkan sebuah senyuman untuk Aira. Setelahnya dia menggenggam jemari Aira kuat lalu membawa wanita itu ke pintu depan.      Oh tidak, Dariel. Jangan! Aira memekik dalam hati. Sikap Dariel membuat Aira takut. Ini baru hari ketiga sejak mereka pertama kali bertemu. Tapi pemuda itu sudah membuat perasaan Aira menjadi aneh begini. Aira takut—sangat takut—suatu ketika hatinya akan berlabuh di tempat yang salah.   *** Perasaan Aira campur aduk antara cemas dan takut saat dirinya berjalan menuju kantor pom untuk mengisi absen. Dia terlambat hampir setengah jam dan kini teman-teman satu shiftnya sudah melayani pelanggan di luar. Perlahan Aira membuka pintu kantor dan seketika tubuhnya menegang saat melihat Mbak As sedang duduk di sofa kantor. “Kamu sadar ini jam berapa, Aira?” tanya Mbak As dengan nada dingin. Aira semakin menciut ketakutan namun dia sedikit heran saat melihat mata Mbak As terlihat cemas. “Iya, Mbak. Maaf,” jawab Aira lemah. “Kamu benar-benar tidak disiplin dan selalu membuat masalah. Kali ini saya tidak sanggup mentolerir kamu lagi. Karena itu saya serahkan pada Pak Dennis Anthony untuk memberikan sanksi tegas padamu.” Mbak As mengucapkan kalimat terakhirnya sambil menoleh ke arah sofa di depannya. Tubuh Aira yang masih tegang sedari tadi kini makin tegang. Bahkan mungkin tubuhnya akan retak hanya karena ada seekor lalat yang hinggap. Perlahan Aira menoleh, lalu tatapannya beradu dengan mata biru terang milik seorang lelaki berwajah—ehm, tidak bisa dibilang tampan. Namun sangat menarik. Dagunya ditumbuhi cambang tipis dan bibirnya yang bisa membuat para wanita berfantasi liar, mengerucut tidak suka. Saat melihat bibir itu, Aira tahu bahwa dirinya dalam masalah besar. Walau Aira tidak pernah berjumpa secara langsung, dia tahu betul siapa orang yang bernama Dennis Anthony. Dia adalah pemilik pom bensin ini. Pantas saja Mbak As tadi terlihat begitu cemas. Dia pasti juga takut terkena masalah karena Aira terlambat datang. Semua pegawai di pom bensin ini tahu betul watak seorang Dennis Anthony. Dia paling tidak suka dengan keterlambatan dan ketidakdisiplinan. Sering kali Dennis datang secara diam-diam tanpa pemberitahuan hanya untuk mengecek kinerja orang-orang yang bekerja untuknya. “Nona Aira, apa kau memang sering terlambat seperti ini?” tanya Dennis dengan nada dinginnya. “Tidak. Ini baru pertama kali,” jawab Aira jujur. “Lalu apa maksud Asrana bahwa kamu selalu membuat masalah?” tanya Dennis masih dengan nada dinginnya. Aira tertunduk tidak tahu harus berkata apa. Terutama karena itu benar, dirinya memang pembuat masalah. “Asrana, apa wanita ini yang memiliki hutang ratusan juta itu?” “Iya,” jawab Mbak As singkat. Bagaimanapun dia juga prihatin pada Aira. Tapi sebagai orang yang diberi tanggung jawab di tempat itu, dia juga tidak boleh bersikap lembek. Jika anak buahnya salah, dia memang harus menyalahkan. “Oh, jadi benar kau orangnya.” Dennis berdiri lalu berjalan angkuh ke hadapan Aira. “Jangan bilang kau sengaja berbuat ulah agar kau dipecat sehingga bisa menghindar membayar hutang.” “Ti—tidak, Pak. Saya tidak melakukannya.” Aira menggeleng cepat. “Bagaimana aku bisa percaya?” Salah satu alis Dennis terangkat. “Saya tidak akan berhenti bekerja di sini.” Dennis mendengus. “Kau hanya mengandalkan ucapan? Tanpa jaminan?” Kembali Aira tertunduk. “Saya tidak memiliki apapun untuk dijadikan jaminan.” “Kau. Kau yang akan menjadi jaminannya.” Aira mendongak tiba-tiba karena kaget. Bahkan Mbak As juga menatap Dennis dengan bingung dan waswas. “Ma—maksud Anda?” tanya Aira. “Bekerja seperti biasa di sini sampai minggu depan. Setelah itu kau harus ikut denganku. Aku memiliki posisi yang bagus untukmu di kantor pusat. Selain itu, akan lebih mudah bagiku untuk mengawasimu dan memastikan kau tidak kabur.” Mbak As dan Aira hanya saling pandang tanpa tahu harus berkata apa. Kalau boleh jujur, Aira sangat panik. Berbagai pikiran buruk berseliweran di benaknya. Dia hanya memiliki ijazah SD. Sempat masuk SMP namun hanya satu setengah tahun. Tidak ada keahlian yang bisa dibanggakannya. Lalu pekerjaan apa yang bisa dia lakukan di kantor pusat? Bukan pekerjaan seperti—p*****r, kan? “Asrana, mulai cari penggantinya. Kuharap kali ini kau benar-benar menyeleksi orang yang akan bekerja di sini.” Selesai berkata demikian, Dennis langsung berbalik lalu keluar dari kantor. Tidak ada salam perpisahan atau apa. Semua pegawai pom bensin itu memang tahu bahwa Dennis adalah seorang yang dingin dan—kemungkinan—tidak bisa tersenyum. Namun siapa yang menduga begitu masuk ke kursi belakang mobil dan menyuruh sopirnya agar berangkat, Dennis tersenyum lebar. Wajahnya yang semula tampak kaku kini berbinar. Aira, sebentar lagi kau akan berada dalam jangkauanku. Saat itu tiba, akan kupastikan kau menjadi milikku, lagi. Pemikiran itu makin membuat Dennis bersemangat dan tidak sabar menunggu minggu depan. ---------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD