Delapan

1830 Words
Jumat (14.03), 02 April 2021 ---------------------- Dariel sama sekali tidak fokus pada penjelasan guru matematikanya. Benaknya terus melayang kembali pada sosok Aira. Entah takdir apa yang menantinya di masa depan, kini Aira seolah menjadi pusat perhatiannya. Di mana pun Dariel berada, pikiraannya selalu melayang kembali pada wanita yang memiliki mata hitam beriris cokelat itu. Bagaimana tidak? Saat hatimu bisa merasakan apa yang dirasakannya, dan saat jantungmu berdetak seiring detak jantungnya, masihkah ada hal lain yang bisa kau pikirkan selain dirinya? Itu yang sekarang sedang dialami Dariel. Dia jadi tidak bisa konsentrasi karena terus merasakan perasaan gelisah yang melingkupi Aira. Entah hukuman apa yang diterima Aira tadi. Seharusnya dia tetap bersikeras untuk membantu menjelaskan alasan keterlambatan Aira pada Manajer Pom, bukannya langsung menyerah saat wanita itu menolak. Dariel mengusap wajahnya. Dia merasa hidupnya yang tenang dan nyaman jadi sulit. Biasanya seorang Dariel Kenneth selalu ceria. Tidak ada masalah apapun yang sanggup membebani pikirannya. Namun sekarang, masalah Aira juga menjadi beban Dariel. Tiap merasakan kesedihan wanita itu, keinginan untuk melindungi dalam diri Dariel selalu muncul. “Dariel, bisa kerjakan soal nomor tiga di papan?” Pertanyaan gurunya yang tiba-tiba membuat Dariel tersentak kaget. Tapi buru-buru ia menguasai diri dan mulai memperhatikan soal yang dimaksud gurunya. Tak butuh waktu lama, Dariel mengangguk sebagai jawaban lalu berjalan menuju papan dan mulai mengerjakannya tanpa kesulitan. "Bagus. Lain kali jangan melamun lagi." Guru matematika Dariel memperingatkan. Dariel menyeringai, menampilkan giginya yang putih terawat. "Saya tidak melamun, Pak. Saya memperhatikan pelajaran. Itu sebabnya saya bisa mengerjakan soal ini." Sang guru hanya berdecak seraya membuat gerakan mengusir dengan tangannya sebagai isyarat agar Dariel kembali ke tempat duduk. Dia tahu betul Dariel termasuk satu di antara minoritas siswa yang suka mempelajari materi sebelum itu diajarkan.  “Apa yang sedang kau lamunkan dari tadi?” Vian, teman satu bangku Dariel bertanya setelah pelajaran usai. Vian begitu tenang saat pelajaran tadi bukan karena memperhatikan. Tapi dia takut kena hukuman lagi. Sudah cukup minggu kemarin Vian dihukum berdiri di depan kelas. Bukan berdirinya yang jadi masalah. Tapi tempatnya. Dengan tega, guru matematika yang terkenal killer itu menghukum Vian berdiri di dalam kelas lain. “Terlihat jelas ya?” Dariel malah balik tanya. “Bukan apa-apa. Hanya sedang memikirkan salah satu gadisku.” Kris, remaja perempuan yang duduk di depan Dariel berbalik menghadap Dariel dan Vian. “Dasar playboy! Daripada kau terus berpikiran jorok tentang gadis-gadis, lebih baik kau ajari aku soal nomor dua dan lima tadi.” Kris termasuk salah satu juara kelas. Namun rangkingnya selalu berubah-ubah mengingat ada dua gadis lain yang kemampuannya setara Kris dan sekarang ditambah si cerdas Dariel. “Ajari aku juga, Kak,” pinta Mega, remaja pemalu yang duduk di samping Kris. Sebenarnya dia menaruh hati pada Dariel, namun tidak pernah berani mengungkapkan. Dia merasa seperti mendapat durian runtuh saat tahu Dariel mengulang kelas dua di kelasnya setelah lama tidak masuk sekolah akibat sakit. Bahkan Dariel juga duduk di belakangnya.    “Baiklah, kemarikan buku kalian.” Dariel berkata yang langsung disambut dengan semangat oleh kedua remaja wanita di depan Dariel. “Lalu aku jadi apa di sini?” tanya Vian yang merasa diabaikan karena teman-teman di dekatnya sibuk belajar. “Perhatikan juga! Kau berbicara seolah sudah pintar sekali,” cibir Dariel. Vian nyengir lalu menuruti nasihat Dariel meski matanya mendadak langsung memerah. Bagi Vian, pelajaran seperti obat tidur. Sebentar saja dia melihatnya, dia tidak akan berhenti menguap. “Vian, kau mengganggu!” seru Kris karena Vian terus menguap. “Kau lagi. Mau belajar atau tidak? Jangan perhatikan Vian terus.” Dariel memarahi dan berhasil membuat pipi Kris memerah. Beberapa bulan duduk di sekitar mereka membuat Dariel sadar bahwa Kris menyukai Vian. Namun Dariel tidak bisa menebak bagaimana perasaan Vian terhadap Kris. Baru juga lima menit berlalu, Mona dari kelas tiga melenggang masuk ke kelas Dariel. Lalu tanpa tahu tempat, dia mengecup pipi Dariel tiba-tiba. Yah, hanya pipi. Dariel paling tidak suka ada yang mencium bibirnya meski wanita itu berstatus kekasih Dariel. Tentu saja bibirnya hanya untuk orang yang benar-benar Dariel cintai. “Sayang, ayo kita ke kantin.” Mona berkata manja. “Kau tidak lihat aku sedang apa?” tanya Dariel datar lalu kembali menjelaskan pada Kris dan Mega. “Tapi Sayang, kau tidak boleh telat makan. Kesehatanmu yang paling utama.” Mona berusaha bersikap perhatian pada Dariel. Dariel menoleh pada Mona lalu menampilkan tatapan tajam. “Aku akan melemparmu keluar jendela jika masih terus mengoceh.” Setelah berkata demikian, Dariel melanjutkan kegiatannya tadi. Ucapan Dariel sukses membuat Mona bungkam. Dariel memang seperti ini jika merasa terganggu. Tapi di waktu lain, pemuda itu juga bisa sangat manis dan menyenangkan. Akhirnya Mona menyerah membujuk Dariel. Dia memilih menarik kursi ke dekat bangku Dariel lalu turut memperhatikan. Dengan sengaja dia duduk sedekat mungkin dengan Dariel karena tahu betul bahwa adik kelasnya yang bernama Mega itu menaruh hati pada kekasihnya. Vian yang sudah tidak lagi memperhatikan penjelasan Dariel hanya menggeleng pelan melihat tingkah Mona yang menurutnya seperti anak kecil yang tidak ingin mainannya direbut. Padahal semua orang juga tahu. Dariel itu milik bersama. Tanpa sadar Vian terkekeh karena pikiran itu. “Vian, tutup mulutmu!” sergah Dariel kesal. Vian menggaruk-garuk kepala karena Dariel dan Kris melotot ke arahnya. Beberapa detik kemudian dia bernafas lega saat melihat siapa yang baru saja masuk kelas. “Honey, aku menunggumu dari tadi.” Leli, remaja yang baru masuk, langsung berdiri di dekat bangku Dariel. Mona langsung mendongak menatap gadis yang memanggil kekasihnya dengan panggilan ‘honey’. Mona tidak mengenalnya. Tapi tampaknya gadis itu anak kelas dua namun tidak sekelas dengan Dariel. Kesal, Mona berdiri dan melayangkan tatapan tajam ke arah gadis itu. “Siapa yang kau panggil ‘honey’, hah?” “Apa sih, teriak-teriak?” Bukannya takut akan kemarahan Mona, gadis itu malah terlihat menantang. Kenyataan bahwa Mona adalah kakak kelasnya juga tidak berhasil membuatnya gentar. “Astaga,” desah Dariel kesal. “Kita lanjutkan lain kali saja,” lanjutnya pada Mega dan Kris. Kris menatap tajam kedua wanita yang telah mengganggu acara belajarnya sedangkan Mega hanya bisa tertunduk dengan perasaan iri. Seandainya dia sedikit memiliki keberanian, mungkin dirinya juga bisa seperti kedua wanita itu. Menjadi kekasih Dariel. “Sayang, siapa lagi gadis ini?” tanya Mona dengan nada merajuk. “Aku adalah kekasih Dariel. Kami jadian seminggu yang lalu,” sahut Leli bangga. Jangan lupakan tatapan merendahkannya pada Mona. Tingkah dan cara bicara Leli membuat Mona geram. “Sebelum mengutarakan perasaan pada Dariel, pasti kau sudah tahu bahwa aku dan Dariel masih menjalin hubungan.” “Ya, aku sudah tahu. Aku juga tahu bahwa kau bukan satu-satunya kekasih Dariel. Di sekolah ini saja Dariel punya setidaknya lima atau—enam belas kekasih. Belum lagi di luar sana. Jadi apa salahnya kalau aku hanya ingin jadi salah satunya?” Ucapan Leli membuat tawa Vian meledak. Itu alasan mengapa tadi Vian menyebut Dariel milik bersama. Tanpa terpengaruh tawa Vian, Mona kembali berkata, “Kurang ajar sekali sikapmu pada kakak kelasmu?” “Jika berhubungan dengan persaingan hati, kakak kelas atau bukan tidak jadi masalah.” “Kalian sudah selesai?” nada dingin Dariel membuat Mona yang sudah siap mengeluarkan makian langsung bungkam. Kini keenam siswa itu telah menjadi pusat perhatian seluruh kelas yang semula sibuk dengan kegiatan masing-masing. Setelah menunggu beberapa saat dan tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Dariel, akhirnya remaja delapan belas tahun itu kembali berkata, “Apa kalian keberatan karena kalian berdua adalah kekasihku?” Leli dan Mona saling pandang sejenak tapi akhirnya mereka sama-sama menggeleng. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Dariel bisa dengan mudah memutuskan hubungan dengan kekasihnya hanya karena alasan sepele. Dan jika mereka sudah putus, tidak akan ada kesempatan lagi untuk kembali menjadi kekasih seorang Dariel Kenneth. Pernah suatu ketika, dua siswi berkelahi di area sekolah hingga mengakibatkan salah satu jendela kelas rusak saking brutalnya perkelahian mereka. Setelah berhasil diamankan di ruang BK, mereka mengaku bertengkar karena memperebutkan Dariel. Saat itu keduanya sama-sama berstatus kekasih Dariel.      Dariel yang dianggap sebagai akar permasalahan juga turut dipanggil guru BK. Saat ditanya alasan Dariel memiliki dua kekasih, dengan enteng dia mengatakan bahwa kekasihnya tidak hanya dua. Bukan Dariel yang selama ini mengejar para gadis itu. Mereka yang mengutarakan cinta pada Dariel. Sebagai pemuda yang baik dan tidak tega menyakiti hati gadis yang menyukainya, Dariel pun menerima mereka. Tanpa pernyataan cinta balasan. Hanya, ‘baiklah aku mau jadi kekasihmu’. Tentu saja, kebaikan hati Dariel berlaku untuk semua orang. Jadi jangan salahkan Dariel kalau dirinya memiliki banyak kekasih.  Para guru yang turut mendengarkan penjelasan Dariel hanya bisa melongo. Beberapa di antaranya bahkan menahan tawa geli. Akhirnya setelah kejadian itu, Dariel langsung memutus hubungan dengan kedua gadis tadi. Hanya karena kesal saja bisa membuat Dariel memutuskan hubungan, apalagi jika sampai membuat Dariel dipanggil guru BK. Tentu tidak ada maaf lagi. Yah, untuk mendapatkan status sebagai ‘kekasih Dariel’ memang sangat mudah. Tapi setelah itu—harus benar-benar memiliki hati yang kuat untuk tetap bertahan. Selama beberapa saat, Dariel masih terus memandang kedua gadis di depannya. “Jika kalian masih ingin jadi kekasihku, bersikap baiklah.” Dariel beralih pada Vian, Kris dan Mega. “Ayo, ke kantin. Aku yang traktir.” Vian langsung melonjak senang. “Tidak sia-sia aku menunggumu.” “Dasar kau ini!” Dariel terkekeh sambil merangkul pundak Vian lalu melewati kedua kekasihnya seolah tidak terjadi apapun. “Jangan bilang kau menghabiskan uang saku mingguanmu untuk bermain game online lagi.” Vian nyengir. “Memang,” sahutnya santai. Kris dan Mega yang juga diajak oleh Dariel buru-buru mengikuti. Kedua wanita itu memang tidak terlalu dekat dengan Dariel. Tidak seperti Vian yang sangat akrab sejak mereka duduk satu bangku. Namun karena tempat duduk Kris dan Mega dekat dengan Dariel, maka keduanya sangat sering kebagian traktiran. Baru saja hendak memasuki area kantin,  salah satu teman Dariel yang sekarang sudah duduk di bangku kelas tiga, menghadang langkah Dariel dengan nafas tersengal. “Zen, ada apa?” tanya Dariel. “Di lapangan—” Zen terengah-engah. “Anak-anak.....berkumpul di lapangan. Ketua tim basket unggulan sekolah kita menantangmu bertanding.” Kening Dariel berkerut. Sepertinya ini bukan permainan biasa untuk menguras keringat. Pasti akan ada sesuatu yang dijadikan taruhan. “Memangnya apa yang dia inginkan dari Dariel?” Vian mewakili pertanyaan Dariel. “Zaskia, primadona sekolah dari kelas satu. Kalau si Ketua Tim Basket yang menang, kau harus memutus hubungan dengan Zaskia. Untuk kemenanganmu, kau bisa meminta sendiri padanya.” Dariel tersenyum miring. “Baiklah, aku terima tantangannya.” Kemudian ia beralih pada ketiga teman sekelasnya, tetap mengabaikan Mona dan Leli yang juga ada di sana. “Aku janji akan mentraktir kalian besok. Ayo, Zen!” Bukan karena ingin mempertahankan Zaskia yang membuat Dariel menerima tantangan. Dia tidak peduli menang atau kalah. Dia hanya suka meladeni siapapun yang menantangnya. “Dariel, aku juga ikut.” Buru-buru Vian membuntuti Dariel yang sudah menjauh. Dan ternyata bukan hanya Vian, seluruh siswa yang tadi mendengar pembicaraan mereka juga bergegas ke lapangan untuk menonton pertandingan yang pasti akan sangat menegangkan itu. ----------------------- Akhirnya... ini lebih enak dibaca T_T ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD