Lima

1660 Words
Kamis (13.44), 01 April 2021 ------------------- “Dariel, aku sudah selesai berkemas.” Tidak ada jawaban. Pemuda itu masih nyaman tidur dalam posisi tengkurap seperti saat Aira meninggalkannya. Aira mendesah. Lalu dia mengguncang pundak Dariel pelan. “Dariel, bangun.” “Hmm.” Aira terdiam memperhatikan wajah Dariel cukup lama. Yang dipikirkannya sekarang bukan kekaguman akan wajah tampan yang memiliki hidung mancung dan alis tebal itu. Melainkan rasa bersalah dan kebingungan. Aira bergeser hingga punggungnya beradu dengan dinding. Kedua kakinya ditekuk sementara lengannya bersandar di atas lutut. Satu masalahnya selesai namun ia dihadapkan dengan masalah baru. Kini dirinya berhutang pada Dariel dan tidak tahu bagaimana cara membayarnya. Selain itu mengenai tempat tinggal. Kemana dirinya harus pergi? Ditambah lagi hutangnya di tempat kerja yang tadi ditagih Mbak As. Yang terakhir itu memang salahnya. Kinerjanya tidak pernah bagus dan dirinya sudah punya hutang yang nominalnya sama dengan hutang kepada Bu Ina. Tapi dengan kurang ajarnya tadi sebelum pulang kerja, Aira mencoba meminjam uang lagi untuk dibayarkan kepada Bu Ina. Alhasil Mbak As memarahinya dan malah menagih hutang Aira sebelumnya. Ya, semua uang itu memang Aira gunakan untuk pengobatan Airi. Meski hidupnya jadi kacau dan sering dicaci maki orang karena hutang itu, tapi tidak pernah sekalipun Aira menyesal dan menyalahkan Airi. Dia lega karena setidaknya telah melakukan sesuatu yang bisa memperpanjang hidup Airi meski akhirnya dia tetap kehilangan adiknya itu. Tanpa sadar Aira terisak. Segera ia menutup mulut untuk meredam isak tangisnya agar tidak mengganggu Dariel. Rasanya kepala Aira hendak pecah. Dia sungguh tidak tahan lagi dengan semua masalah yang membentang di hadapannya. Seandainya bisa, Aira ingin menyerah saja atas semua siksaan ini. “Akh, sial!” umpat Dariel sambil mengubah posisi tidurnya menjadi telentang. Matanya masih terpejam namun pemuda itu memukul-mukul dadanya dengan kepalan tangan seolah hendak menyingkirkan rasa sesak. Buru-buru Aira menghapus air mata lalu memanggil Dariel pelan karena berpikir pemuda itu sedang mengigau. “Dariel.”    “Aira, aku tidak bisa tidur. Bisakah kau berhenti menangis? Cobalah untuk tenang dan jangan pikirkan apapun.” Kening Aira berkerut. Tidak bisa tidur? Yang benar saja. Dariel bahkan tidak bangun setelah Aira mengguncang pundaknya tadi. Dan lagi, Aira tidak menangis keras. “Aku tidak menangis, Dariel.” “Lalu kenapa matamu basah?” “Bagaimana kau tahu? Dari tadi kau belum membuka mata.” Sudut bibir Dariel melekuk membentuk senyuman, namun matanya masih terpejam. “Aku bisa merasakannya.” Dariel menjelaskan sambil memegang d**a. Aira berdecak. “Gombalanmu tidak akan mempan karena salah sasaran. Seharusnya kau menggunakan gombalan itu untuk gadis-gadis seusia denganmu atau yang lebih muda. Bagiku malah terdengar menggelikan.” Senyum Dariel makin lebar, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang terawat. Padahal Dariel mengatakan yang sebenarnya. Dia sudah menduga pasti Aira tidak akan percaya.   “Dariel, kalau kau sudah tidak lelah, bisakah kau mengantarku ke pom bensin tempatku bekerja? Mungkin aku bisa menemukan seseorang yang bersedia menampungku sementara.” Perlahan Dariel membuka mata lalu berbaring miring menghadap Aira. “Seingatku, rekan kerjamu tidak ada yang suka padamu.” Ujar Dariel terang-terangan. Dia sangat ingin bertanya mengenai keluarga Aira tapi menahan diri. Aira tersenyum ironis. “Terlihat jelas, ya? Tapi tidak semua. Ada beberapa yang sangat baik padaku. Oh, satu lagi.” Aira mengambil secarik kertas dan pulpen yang tadi sudah ia siapkan lalu menyerahkannya pada Dariel. “Berikan aku nomor ponselmu. Walau lama, aku janji akan membayar hutangku." Dariel hanya menatap kertas dan pulpen di tangannya lalu meletakkan kedua benda itu di atas kasur. “Kau punya ponsel?” “Tidak. Tapi aku akan menghubungimu dengan meminjam ponsel seseorang. Aku tidak akan kabur. Sungguh.” Aira mengacungkan jari kelingkingnya ke depan Dariel untuk membuat simbol janji. Dariel mendengus. “Berapa usiamu?” “Dua puluh lima. Memangnya kenapa?” “Wanita dewasa sepertimu masih menggunakan janji jari kelingking? Kalau semudah itu, pasti tidak sulit meminjam uang di bank. Tinggal saling menautkan jari kelingking, pihak bank langsung mempercayaimu dan meminjamkan uang.” Aira merengut karena dirinya diejek seorang bocah. Namun tidak ada bantahan karena ucapan Dariel semuanya benar. “Baiklah, tidak perlu janji jari kelingking. Hanya percaya saja padaku.” “Enak saja.” “Lalu bagaimana?” tanya Aira dengan lelah. Sejenak Dariel memperhatikan penampilan Aira yang sudah mengganti seragam pom bensinnya dengan jins yang warnanya mulai pudar dan kaos. “Sudah selesai berkemas?” Aira mengangguk. “Ayo, pergi!” Dariel duduk lalu meregangkan otot-ototnya. Setelah itu ia bangkit sambil menarik tangan Aira, membuat wanita itu juga bangkit berdiri. “Pergi ke mana?” tanya Aira bingung. Dariel tidak menjawab dan terus menggenggam tangan Aira hingga di ruang tamu. “Hanya ini barang-barangmu?” tanya Dariel sambil melihat tiga tas berukuran sedang di kursi. “Iya.” “Tidak ada tas besar?” Aira menggeleng. “Aku penasaran apa isinya.” Gumam Dariel. Lalu tanpa diduga pemuda itu sudah melepas tangan Aira kemudian membuka ritsleting salah satu tas. Aira memekik saat ingat benda apa yang ada dalam tas itu di tumpukan teratas. Segera ia menarik tasnya menjauh dari Dariel. “Dasar kurang ajar!” “Hei, mana aku tahu kalau isinya seperti itu. Kau sungguh berlebihan. Aku tidak menggunakan pakaian dalam seperti milikmu. Jadi aku tidak akan mengambilnya.” Jawab Dariel enteng. Padahal jantungnya berdebar cepat. Yah, bagaimanapun Dariel adalah seorang lelaki normal. Tanpa bisa dicegah, sesuatu dalam dirinya terasa bergolak. “Lagipula kau mau apa membuka tasku tanpa izin?” tanya Aira kesal. “Aku hanya penasaran karena barang-barangmu sangat sedikit. Seandainya aku yang hendak pergi, tiga tas besar saja tidak akan cukup menampung barang-barang di kamarku. Tapi lihat!” Dariel menunjuk tas Aira. “Tiga tas yang tidak terlalu besar itu ternyata sudah cukup menampung barangmu dari seluruh bagian rumah ini, bukan hanya dari kamar.” “Aku tidak pernah membeli barang yang tidak penting.” Jawab Aira jujur. Memang begitulah keadaannya dan sang adik. Mereka hidup pas-pasan agar pengobatan Airi bisa terus berlanjut. Dariel tidak melanjutkan karena perasaan Aira kembali dihinggapi kesedihan. “Lalu bagaimana dengan perabotan?” “Itu bukan milikku. Aku menempati rumah ini yang memang sudah lengkap dengan perabotannya.” “Baiklah. Kalau kau sudah yakin tidak ada barang yang tertinggal, ayo pergi sekarang.” Dariel mengambil dua tas lalu berjalan keluar rumah lebih dulu. “Eh, Dariel!” panggil Aira yang segera mengikuti dengan membawa tasnya yang tadi sempat dibuka Dariel. “Seingatku kau membawa ransel. Apa tertinggal di kamar?” “Tidak. aku meninggalkannya di atas sepeda saat baru turun dari motor.” Sahut Dariel tanpa menghentikan langkah. “Oh.” Hanya itu yang dikatakan Aira sambil mengunci pintu kontrakan. Setelahnya dia menghampiri Dariel. “Aku harus mengembalikan kunci rumah ini sebelum pergi.” “Tunjukkan saja arahnya.” Ujar Dariel yang sudah duduk di atas motor dengan dua tas Aira di depannya. Kemudian ia menyerahkan ranselnya pada Aira. Aira langsung memasukkan kedua lengannya di gendongan ransel Dariel lalu naik ke atas motor dengan tasnya yang satu lagi berada di antara tubuhnya dan tubuh Dariel. Pembuat masalah! DEG. Air mata Aira menetes tanpa bisa dicegah. Kata-kata itu tiba-tiba terngiang di benak Aira saat menyadari betapa Dariel telah begitu kesusahan karena membantu dirinya. Demi Tuhan, siapa yang mau menjadi orang yang selalu menyusahkan orang lain. Seandainya boleh memilih, Aira lebih suka menjadi wanita yang bisa menolong orang, bukannya selalu ditolong. Tapi keadaan belum mengizinkannya. Dariel mendesah. “Aira, jangan menangis. Kumohon.” “Aku tidak menangis.” Sahut Aira sambil menghapus air matanya. Rasa sesak karena kesedihan yang terasa di d**a Dariel sangat mengganggu. Dia khawatir tidak bisa mengemudi dengan benar karena perasaan itu. Segera ia memutar otak untuk menemukan sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian Aira. “Hmm, Ai. Kapan kau akan membayar hutangmu padaku?” Pertanyaan Dariel membuat Aira tertegun sejenak, lalu air matanya kembali mengalir. “Dariel, aku berhutang hanya beberapa jam dan kau sudah menagihnya.” Kali ini Aira tidak menyembunyikan isakannya. Dariel menyeringai geli. “Aku hanya penasaran kau bisa bayar atau tidak.” “Aku masih punya hutang yang sama besar di tempatku bekerja. Gajiku hanya satu juga setengah. Jadi tunggu sampai hutangku lunas dulu.” “Apa?” Dariel bertanya kaget. Bukan pura-pura karena Dariel benar-benar tidak habis pikir Aira gunakan untuk apa semua uang itu. Dan lagi, bagaimana pihak pom bensin bisa memberikan pinjaman yang begitu besar padahal gaji Aira terbilang hanya sedikit. Butuh berapa puluh tahun untuk melunasinya. “Aku tahu apa yang kau pikirkan. Memang tampaknya mustahil bagiku untuk melunasinya.” Sahut Aira lemah. “Jangan bilang kau menggunakan janji jari kelingking untuk memperoleh pinjaman.” “Mana mungkin aku melakukannya?” “Yah, bisa saja. Lagipula sangat aneh mengapa pihak pom bensin memberimu pinjaman yang sangat mustahil bisa  kau lunasi.” Aira tertegun karena ucapan Dariel. Sebelumnya Aira tidak pernah memikirkan hal ini. Dia hanya berusaha mendapatkan pinjaman demi adiknya. Kalau alasan suami Bu Ina bisa meminjamkan uang sebanyak itu, karena beliau sudah tahu sendiri keadaan Aira dan adiknya. Kadang Aira pikir suami Bu Ina tampak memang ingin menolong tanpa berharap uang itu kembali. Lalu apa kira-kira alasan pihak pom bensin memberi pinjaman yang sangat besar padahal mustahil bisa Aira lunasi? “Ah, sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan.” Bukan itu yang ingin Dariel katakan agar pikiran dan perasaan Aira beralih dari kesedihannya. “Aku ingin membahas pinjamanmu padaku.” “Kumohon bersabarlah, Dariel. Memang sangat sulit bagiku melunasi hutang-hutang ini. Tapi aku akan mencari pekerjaan lagi untuk menambah penghasilan. Gajinya akan kuserahkan padamu untuk menyicil hutang.” “Aku tidak mau. Kalau kau mau mengganti uangku, kau harus bayar lunas. Jika tidak—” “Jika tidak?” tanya Aira dengan was-was. Dia tidak bisa menebak apa yang dipikirkan Dariel. Sementara itu Dariel menyeringai. Perasaan was-was Aira tidak terlalu mengganggu, tidak seperti kesedihan wanita itu. Karenanya Dariel mulai menyalakan mesin motor dan membiarkan Aira makin penasaran. “Dariel, kau belum menjawab.” Tegur Aira kesal. Raung motor CBR Dariel terdengar keras. “Jadilah kekasihku untuk melunasi hutangmu.” Bersamaan dengan itu, Dariel melajukan motornya tanpa menunggu respon dari Aira. ---------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD