Selasa (11.39), 30 Maret 2021
----------------------
Aira turun dari motor Dariel dengan pikiran semakin kalut. Dia tidak mau menyangkal bahwa saat ini dirinya berharap kembali ke beberapa menit lalu, saat berada di punggung motor bersama Dariel. Meski Aira menganggap perbuatan Dariel menantang maut, tapi itu berhasil membuat Aira melupakan beban hidupnya sejenak.
“Kau punya masalah apa? Kenapa sampai ada polisi?”
Aira tersentak saat menyadari Dariel sudah berdiri di sampingnya. “Bukan apa-apa. Sebaiknya kau pulang saja. Kita ngobrol lain kali.”
“Tidak mau. Aku akan tetap di sini,” ujar Dariel keras kepala.
“Pulanglah. Jangan buat orang tuamu khawatir di rumah.”
Dariel menghadap Aira sambil berkacak pinggang. “Kau berkata seolah aku adalah anak SD. Kalau aku mau, aku sanggup menghamilimu saat ini juga.”
Aira ternganga karena ucapan Dariel. “A—apa?!!”
“AIRA!!”
Aira tidak jadi mempermasalahkan ucapan Dariel yang menurutnya sangat tidak sopan. Perhatiannya kini beralih pada Bu Ina yang tadi menyebut namanya dengan suara lantang.
“Maaf Bu Ina. Sebenarnya ada apa ini?” Aira terlalu gugup sehingga tidak tahu harus berkata apa.
“Kau masih berani bertanya?” Bu Ina bertanya dengan nada tinggi. “Lihat itu, Pak! Dia pura-pura tidak bersalah.”
Aira semakin gugup saat ia sadar para tetangga mulai menonton keributan di depan rumah kontrakannya. Jemarinya saling meremas. “Bagaimana kalau kita bicarakan hal ini baik-baik di dalam?"
“Bukankah kemarin-kemarinnya aku sudah berusaha bicara baik-baik denganmu? Tapi kau sendiri yang hanya menganggap ucapanku angin lalu.” Bu Ina kembali berkata.
Seorang polisi yang tampak memiliki jabatan paling tinggi di antara tiga polisi lainnya, memegang bahu Bu Ina untuk menenangkan lalu berbisik. Setelah Bu Ina terlihat tenang, barulah polisi itu mengalihkan perhatian pada Aira.
“Kita persingkat saja, Nona. Bu Ina merasa tertipu karena Anda hanya mengumbar janji untuk hutang-hutang Anda yang cukup besar. Tiap Bu Ina menagih, Anda berjanji akan membayar setelah gajian. Begitu seterusnya hingga sudah lebih dari setengah tahun.” Polisi yang tampak berusia menjelang kepala empat itu berkata dengan lembut namun tegas.
“Itu—saya,” Aira sudah nyaris menangis tapi dia berusaha menahan diri. “Saya juga punya hutang di tempat kerja. Jadi gaji saya sudah dipotong—”
“Itu masalahmu!” seru Bu Ina. “Kalau tidak mau gajimu dipotong, jangan coba-coba untuk hutang. Lalu sekarang, kamu mau menjadikan itu sebagai alasan?”
Aira terdiam. Dia sadar dirinya dalam posisi salah. Bagaimanapun hutang memang harus dibayar. Dan Bu Ina berhak menagih uangnya.
“Tunggu sebentar.” Dariel yang mulai memahami situasi, akhirnya buka suara. “Sebenarnya berapa hutang Aira?”
Aira melirik Dariel jengkel karena remaja itu mencampuri urusannya. Selain itu dengan entengnya Dariel menanyakan nominal hutangnya di depan banyak orang. Aira sudah begitu malu karena Bu Ina menagihnya terang-terangan dengan membawa polisi. Dan sekarang Dariel malah akan menambah perasaan malunya dengan menanyakan hal itu tanpa melihat keadaan.
Sementara itu Bu Ina juga menatap Dariel kesal. Dia tidak suka remaja itu mencampuri urusan orang dewasa. “Hei, Nak. Bermainlah di tempat lain.” Bu Ina berkata sambil mengibaskan tangannya mengusir Dariel.
Kesal, Dariel melangkah ke hadapan Bu Ina dan para polisi dengan tangan di pinggang. “Bagaimana jika saya bisa membayar lunas hutang Aira?” tanya Dariel dengan nada menantang.
Ya Tuhan, Aira memekik dalam hati. Sepertinya remaja labil di hadapannya itu akan membuat masalahnya makin sulit.
“Oh ya?” nada Bu Ina terdengar meremehkan. Dia memperhatikan penampilan Dariel dari atas ke bawah lalu beralih pada motor yang tadi dinaiki Dariel.
Polisi yang tadi berbicara, kembali berbisik pada Bu Ina “Bukankah yang lebih penting uang Mbak kembali?”
Bu Ina mengangguk. Beberapa saat kemudian dia kembali menatap Aira dan Dariel. “Kamu ada hubungan apa dengan Aira?” mendadak Bu Ina menanyakan sesuatu yang lain.
“Dia—”
Ucapan Aira terpotong karena Dariel menyela. “Aira adalah tante saya. Kami baru saja bertemu setelah sekian lama terpisah.”
Aira meringis sambil menggigit bibir bawah. Bisa-bisanya Dariel berbohong seperti itu di depan banyak orang dan juga polisi. Selain itu, apa katanya tadi? Aira tantenya! Yang benar saja. Aira tidak setua itu untuk memiliki keponakan sebesar Dariel.
Aira mendekat ke punggung Dariel lalu menarik-narik pelan seragam Dariel sebagai isyarat agar pemuda itu berhenti. Tapi Dariel mengabaikan Aira. Akhirnya Aira mencubit pinggang Dariel dengan kuku ibu jari dan telunjuknya.
Dariel meringis lalu menoleh pada Aira sambil melotot. Kemudian dia menarik tangan Aira dari pinggang dan menggenggamnya erat. Seperti biasa, debarannya perlahan reda.
Bu Ina masih memperhatikan Dariel dan Aira bergantian. Kemudian dia berkata, “Aira memiliki hutang sebesar lima ratus juta. Itu sudah termasuk uang kontrakannya yang beberapa bulan tidak dia bayar.”
Kening Dariel berkerut. Dia penasaran kira-kira uang sebanyak itu Aira gunakan untuk apa. Dan lagi dari percakapan yang tadi disimaknya, Aira juga memiliki hutang di tempat kerja.
“Kenapa diam? Cukup banyak kan, hutangnya? Karena itu aku tidak bisa diam saja. Aku dan suamiku sudah terlalu lembek padanya. Buktinya kami tidak mempermasalahkan hutang besar itu sebelumnya. Tapi sekarang, kesabaranku sudah habis.”
Perlahan Aira bergeser makin merapat ke punggung Dariel. Sikapnya memang terlihat kekanakan. Padahal usia Dariel yang jauh lebih muda darinya. Tapi sungguh, sekarang Aira ingin sembunyi di balik bahu Dariel yang kekar. Saat ini dia benar-benar bersyukur dirinya tidak sendirian meski terkesan pengecut.
“Dariel, sudahlah. Kau pulang saja!” Aira berbisik.
Dariel tersenyum. Aira menyuruhnya untuk pulang, namun Dariel bisa merasakan bahwa wanita itu sedikit tenang karena bisa bersembunyi di belakang tubuhnya. Dan lagi, jemari Aira yang meremas tangan Dariel kuat jelas menunjukkan bahwa dia ingin Dariel menjadi tamengnya. Meski tentu saja Aira tidak mungkin mengakui.
Tanpa mengacuhkan ucapan Aira, Dariel menatap angkuh si pemilik kontrakan. “Bisakah Anda memberiku waktu sampai besok?”
“Apa? Besok? Tanyakan padanya berapa lama aku sudah memberinya waktu!” Bu Ina melotot.
“Kalau begitu sebutkan nomor rekening Anda agar saya bisa langsung mentransfer uangnya.”
Perkataan Dariel membuat Aira semakin kalut. “Dariel, kumohon. Jangan sampai mereka menganggapmu penipu juga. Tidak apa kalau memang aku harus dipenjara. Tapi aku akan merasa sangat bersalah pada orang tuamu jika kau juga terlibat.”
Dariel hanya berdecak mendengar ucapan Aira sementara perhatiannya masih fokus pada Bu Ina yang sedang meminta pendapat polisi.
“Baiklah, tunggu sebentar. Aku akan meminta putriku di rumah untuk mengirimkan nomor rekeningku.”
Hanya berselang beberapa menit, Bu Ina sudah menyerahkan ponselnya yang menampilkan nomor rekening pada Dariel.
Dariel terpaksa melepaskan tautan tangannya dengan Aira karena dia harus memegang dua ponsel yang berbeda. Kembali Aira menarik-narik seragam putih Dariel meminta pemuda itu untuk berhenti.
“Dariel, sudah—”
“Ssstt!” seru Dariel sambil memegang ponsel di telinga. “Hai Dad, Dariel butuh uang sekarang,” ujar Dariel tidak terlalu keras hingga hanya Aira yang mendengar.
“.....”
“Lima ratus juta.”
“.....”
Aira kembali menunduk dengan gugup. Percuma menghentikan Dariel. Remaja satu ini berkepala batu. Dia sudah berusaha menyiapkan diri dibawa ke kantor polisi. Tapi tetap saja, hal itu sangat mengerikan bagi Aira.
“Baiklah, Dad. Akan Dariel kirim nomor rekeningnya. Jangan lupa kabari kalau Daddy sudah mentransfer. Sampai jumpa di rumah.” Setelah itu Dariel masih tampak sibuk menyalin nomor rekening ke ponselnya. Beberapa saat kemudian dia menyerahkan ponsel Bu Ina kembali. “Sebentar lagi uangnya akan masuk ke rekening Anda.”
“Kalau begitu kita tunggu saja.” Polisi yang masih berdiri di samping Bu Ina yang berkata.
“Apa—apa tidak sebaiknya kita masuk?” Aira kembali menawarkan. Sungguh dia merasa sangat tidak nyaman—lebih tepatnya malu—karena menjadi pusat perhatian tetangganya.
“Masuk? Masuk ke mana?” tanya Bu Ina dengan galak. “Begitu aku menerima uang itu, kau harus segera angkat kaki dari sini!”
Dariel mulai geram karena Bu Ina sedari tadi terus membentak-bentak Aira. “Nyonya, tolong! Kita di sini sedang berusaha menyelesaikan masalah baik-baik. Jadi jangan membuat keruh keadaan dengan ucapan Anda.”
“Dia—”
Polisi di samping Bu Ina memegang tangannya. “Dia benar. Lagipula Mbak sudah cukup mengungkapkan kekesalan. Kita tunggu saja uangnya agar masalah ini cepat selesai.”
Dariel memperhatikan interaksi kedua orang itu sambil bersandar di motornya. “Apa mereka memiliki hubungan?” tanya Dariel sambil mengedikkan kepala ke arah Bu Ina dan polisi itu.
“Polisi itu adik sepupunya.” Aira menjelaskan.
“Pantas saja berani bawa-bawa polisi segala,” cemooh Dariel.
Aira mengabaikan komentar Dariel karena ada sesuatu yang lebih penting. “Dariel, aku sudah percaya kau kaya. Tapi sebelum terlambat, jangan libatkan dirimu terlalu jauh dalam masalahku. Pergilah!”
Dariel hanya menatap Aira dengan kilat geli di matanya. Jelas wanita itu merasa lega karena bantuan Dariel. Tapi masih saja dia tidak mau mengakuinya.
Deg deg deg.
Dariel tersenyum. Setelah mengetahui apa penyebab debar aneh di jantungnya, Dariel tidak lagi merasa tak nyaman. Namun penasaran itu masih ada. Apa alasan dirinya dan Aira terhubung? Mengapa baru sekarang?
“Dariel, kenapa kau malah tersenyum?” Aira mendesah. “Yah, mungkin bagimu hal semacam ini terdengar lucu. Tapi—” Kenyataan yang baru disadari Aira membuat panik kembali menguasainya, mengalahkan perasaan lega yang baru hinggap.
“Kenapa?” tanya Dariel penasaran akan perubahan perasaan Aira yang juga dirasakan Dariel.
Seandainya Aira tahu, bukankah ini impian semua wanita? Berharap seseorang mengerti perasaannya tanpa perlu ia yang mengungkapkan.
“Kau juga melibatkan orang tuamu,” ujar Aira dengan suara lemah. “Sepertinya setelah dicaci maki pemilik kontrakan, aku pasti akan dicaci maki orang tuamu karena telah memanfaatkan putra mereka yang masih remaja.”
Dariel berdecak. “Aku sudah delapan belas tahun. Kata ‘remaja’ tidak cocok lagi untukku.”
“Kau berbicara sok dewasa. Apa tidak malu dengan seragammu?” mendadak Aira teringat ucapan Dariel sebelumnya yang menurutnya sangat kurang ajar. Perasaan jengkel menghinggapi dadanya. “Jangan kau kira aku sudah melupakan kalimat kurang ajarmu tadi.” Aira berkata sambil melotot.
Dariel menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Apa semua wanita seperti ini, atau hanya Aira saja? Perasaan mereka berubah-ubah dengan cepat namun perasaan sebelumnya masih bertahan. Jadilah semua perasaan itu menjadi satu dan saling campur aduk seperti benang kusut.
“Dariel, kau dengar aku tidak?”
“Iya, iya,” jawab Dariel.
“Ada apa ini, Bu?!”
Dariel dan Aira menoleh dan mendapati seorang Bapak yang tampak seumuran Bu Ina mendatangi Bu Ina dan para polisi yang terlibat percakapan.
“Ibu cuma sedang menagih uang kita, Yah. Kalau kita tidak bersikap tegas, dia akan terus meremehkan dan akhirnya tidak pernah mau membayar hutang.”
Bapak itu terlihat marah. “Kita tidak sedang membutuhkan uang itu, Bu. Lagipula kalau orang sudah tidak punya uang, diancam akan dibunuh pun dia tetap tidak akan bayar.”
“Asal Ayah tahu, dia langsung membayar saat melihat polisi ada di sini. Berarti dia memang punya uang, kan?”
Kemarahan Dariel memuncak. Bu Ina sengaja membuat Aira terkesan menghindar membayar hutang bukan karena tidak punya uang, melainkan karena menyimpan uangnya.
“Nyonya, perkataan Anda sangat tidak pantas untuk diucapkan oleh wanita terhormat. Semua orang di sini saksinya, bahwa Aira benar-benar tidak bisa membayar. Kalau bukan karena ada saya di sini, mungkin Aira sekarang sudah dibawa ke penjara.”
Dariel bukannya memuji dirinya sendiri atau sedang berusaha membuat Aira merasa berhutang budi. Jelas dia mengatakan itu untuk menunjukkan situasi sebenarnya pada suami Bu Ina. Dan Aira sadar betul akan hal itu.
Drrtt.
Ponsel Dariel bergetar sebelum ada seorang pun yang menimpali pernyataannya. Dia membuka pesan lalu membacanya sekilas. “Uang Anda sudah ditransfer. Silahkan pastikan sendiri.”
Bu Ina terlihat menghubungi seseorang. Mungkin putrinya yang tadi ia hubungi. Setelah beberapa saat, dia memutus sambungan telepon.
“Iya, uangnya sudah masuk ke rekening kami. Sekarang tolong kemasi barang-barangmu dan pergi dari sini!”
“Ibu!!” suami Bu Ina menegur dengan nada tinggi.
“Tenang saja. Tanpa perlu disuruh pun Aira memang akan pergi dari sini.” Dariel berkata santai sambil menarik tangan Aira menuju rumah.
Aira yang kaget hanya bisa pasrah saat Dariel memerintahkannya untuk membuka pintu. Lagipula Aira ingin segera menyembunyikan wajah dari tatapan semua orang di depan rumahnya.
“Dariel, apa yang kau katakan tadi? Kalau aku pergi dari sini, aku akan tinggal di mana?” Aira bertanya pada Dariel yang terus masuk tanpa izin ke dalam rumah.
Aira tidak mengerti apa yang dipikirkan remaja—baiklah pemuda yang kini tampak mencari-cari sesuatu di rumahnya. Tapi begitu melihat kasur lantai milik Aira, Dariel langsung menghempaskan diri dalam posisi tengkurap, lengkap dengan sepatu dan seragamnya. Untung saja sepatunya tidak menyentuh kasur. Jika tidak, Aira pasti akan langsung menyeret tubuh Dariel.
“Bangunkan aku setelah kau selesai berkemas. Aku benar-benar lelah karena sedari tadi hanya bediri,” Dariel menjelaskan sambil menarik guling Aira untuk dijadikan bantal.
Aira terlihat masih ingin membantah tapi lalu dia tidak tega saat melihat wajah Dariel yang benar-benar tampak lelah. Akhirnya Aira hanya bisa mendesah lalu keluar dari kamarnya yang kini sedang dikuasai Dariel.
Di depan pintu kamar, pandangan Aira menyapu seluruh bagian rumah yang sanggup dijangkau matanya. Perlahan tubuh Aira merosot ke lantai karena dirinya harus terpaksa meninggalkan rumah yang penuh kenangan bersama Airi. Air mata yang mati-matian berusaha Aira tahan pun tumpah.
----------------------
♥ Aya Emily ♥