Selasa (11.09), 30 Maret 2021
----------------------
Sebenarnya Amy telah melarang Dariel masuk sekolah esoknya. Namun pemuda itu memaksa dengan alasan kepalanya sakit karena bosan jika di rumah terus. Akhirnya setelah memastikan Dariel berjanji tidak akan bolos lagi, Amy mengizinkan Dariel berangkat sekolah.
Begitu jam sekolah usai, Dariel langsung memacu motornya menuju pom bensin kemarin. Entah mengapa dia merasa bahwa kejadian nafasnya tersengal-sengal hingga jatuh pingsan kemarin ada hubungannya dengan wanita yang diingat Dariel bernama Aira.
Bisa saja Dariel hanya terlalu mengkait-kaitkan kondisi aneh yang dialaminya. Tapi siapa yang bisa memberi penjelasan kalau bukan dirinya sendiri yang berusaha mencari tahu?
Dengan alasan mengisi bahan bakar, Dariel bertanya pada pegawai pom di sampingnya karena tidak melihat sosok Aira yang diingat Dariel kemarin.
“Mas, pegawai di sini yang bernama Aira tidak masuk kerja?” tanya Dariel, seolah dirinya mengenal Aira.
“Oh, baru saja pergantian shift. Dia masuk shift pagi.” Pegawai itu menjelaskan.
“Jadi dia sudah pulang, ya?”
“Belum, masih ada di kantor. Shift pagi sekarang masih merekap pemasukan.”
Dariel mengangguk-angguk paham. Tentunya masing-masing shift bertanggung jawab terhadap pemasukan selama jam mereka bekerja. Dan ini tentu kesempatan yang bagus untuknya. Dariel bisa menunggu sampai Aira selesai. Dengan begini dia bisa leluasa mengobrol dengan Aira tanpa mengganggu jam kerja wanita itu.
“Memangnya Adek ada hubungan apa dengan Aira?”
Salah satu alis Dariel terangkat menunjukkan dirinya tidak suka dengan pertanyaan lelaki pegawai pom bensin itu. “Sepertinya kita tidak cukup dekat untuk saya menjawab pertanyaan itu. Jika Anda memang penasaran silahkan tanya pada Aira langsung.”
Kini gantian pegawai pom bensin itu yang menatap Dariel tidak suka namun dia tidak melanjutkan.
Dariel mengabaikan tatapan si pegawai pom bensin. Hanya karena dirinya bertanya lalu pegawai itu menjawab, bukan berarti hubungan mereka menjadi dekat. Biarlah meski dirinya dikira sombong.
Setelah selesai mengisi dan membayar, Dariel melajukan motornya pelan ke tempat duduk, tepat di depan cafe milik pom bensin. Kebetulan tempat duduk itu yang paling dekat dengan bangunan yang jelas menunjukkan bahwa itu kantornya.
Deg deg deg.
Detak jantung Dariel kembali meningkat dengan aneh. Rasanya sama seperti kemarin namun Dariel belum bisa memastikan apa alasannya.
Sepuluh menit Dariel menunggu, beberapa orang yang mengenakan seragam pom bensin keluar dari kantor. Dariel masih duduk diam di tempatnya sambil memperhatikan orang-orang itu satu per satu. Dia bahkan mengenali dua di antaranya sebagai pegawai lelaki yang kemarin mengisi tangki bensinnya dan seorang wanita yang membantu Aira bangun saat kejadian nyaris tertabrak motor Dariel.
Dariel mengerutkan kening bingung saat tidak melihat Aira di antara mereka. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Dariel putuskan untuk bertanya pada pegawai pom bensin yang sedang bersiap di tempat parkir untuk pulang. Tapi baru saja berdiri, dilihatnya Aira keluar dari bangunan kantor dengan wajah tertunduk.
Deg deg deg.
Debaran aneh di dadanya makin meningkat. Lalu tiba-tiba desakan ingin menangis terasa di d**a Dariel. Tidak perlu waktu lama bagi Dariel untuk menebak bahwa lagi-lagi perasaan ini milik orang lain. Dan orang itu adalah wanita yang kini meninggalkan area pom bensin dengan berjalan kaki.
Namun jantungnya yang berdebar makin cepat belum mendapat jawaban. Dariel tahu bahwa ini memang debaran jantung Aira. Tapi kenapa? Bagaimana bisa?
Segera Dariel naik ke punggung motornya lalu menyalakan mesin. Setelah itu ia bergerak mendekati Aira yang sudah berjalan di trotoar. Buru-buru Dariel memarkir motornya di pinggir jalan lalu bergegas menghampiri Aira.
“Hai.” Dariel yang kini sudah menghalangi jalan Aira menyapa.
Aira terdiam masih dalam posisi menunduk. Mata Dariel yang kini berkaca-kaca jelas menunjukkan bahwa Aira sudah menangis.
“Maaf, aku buru-buru,” jelas Aira dengan suara serak tanpa mengangkat kepalanya.
Dariel berdehem untuk melegakan tenggorokannya yang terasa tercekat. Rasanya tidak nyaman harus berbicara dengan rasa sesak menghimpit dadanya. Dan sekali lagi perasaan itu bukan milik Dariel.
“Ada hal penting yang ingin kubicarakan.” Kini Dariel menggunakan sapaan yang lebih akrab. Bukan lagi saya-anda seperti kemarin. “Bagaimana kalau kuantar kau pulang?”
Selama beberapa detik Aira terdiam. Kemudian dia sedikit mendongak untuk memperhatikan wajah Dariel, namun sebisa mungkin tidak memperlihatkan wajahnya sendiri.
“Bukankah kau anak SMA yang kemarin?” tanya Aira.
“Iya, benar.” Dariel mengangguk antusias karena Aira mengenalinya.
“Memangnya kau mau bicara apa? Kalau ini berhubungan dengan kejadian kemarin, aku baik-baik saja. Tidak perlu terlalu dipikirkan.”
Setelah berkata demikian Aira berjalan hendak melewati Dariel. Tapi dengan sigap Dariel menangkap pergelangan tangan Aira. Dan seketika, debaran jantungnya yang terasa aneh berangsur reda.
Selama beberapa saat, Dariel dan Aira terdiam. Keduanya sama-sama terkejut. Dariel karena kesadaran bahwa reaksi jantungnya seperti dipicu oleh kehadiran Aira, sedangkan Aira karena tiba-tiba Dariel menggenggam pergelangan tangannya erat.
Aira menarik nafas sejenak karena mendadak kemarahan menggumpal di dadanya. Saat ini pikirannya sedang kalut karena masalah yang datang bertubi-tubi, tapi bocah SMA di sampingnya ini malah ingin bermain-main.
“Maaf, Dek. Sungguh aku tidak mempermasalahkan kejadian kemarin. Tolong anggap saja insiden itu tidak pernah terjadi,” ujar Aira dengan bibir terkatup rapat tapi masih tidak mau mengangkat kepalanya untuk menatap Dariel.
“Ini bukan tentang kemarin. Tapi ada hal yang jauh lebih penting dari itu.” Dariel berusaha menjelaskan dengan lembut. Dia paham betul perasaan Aira sekarang. Bagaimana tidak? Semua perasaan Aira, kemarahan, ketakutan, kecemasan dan kepedihan yang dalam, juga sedang Dariel rasakan.
Akhirnya kemarahan Aira tidak dapat dibendung lagi. Dengan kasar dia mendongak menunjukkan wajah pucatnya dan matanya yang merah karena tangis. “Apa kau tidak paham—”
Ucapan Aira terhenti saat dilihatnya setetes air mata Dariel mengalir. Bahkan mata pemuda itu berkaca-kaca seperti dia berusaha menahan tangisnya.
Dengan malu Dariel menghapus air matanya. Sungguh dia bukan pemuda cengeng. Dia bahkan tidak pernah menangis saat tahu dirinya menderita penyakit berbahaya. Bahkan rasa sakit yang sering dialaminya karena penyakit itu tidak pernah sekalipun membuatnya menangis.
“Sungguh, aku tidak bermaksud mengganggumu atau apa. Aku hanya ingin membicarakan sesuatu saja,” jelas Dariel sambil berusaha mengulas senyum.
Sebenarnya dia cukup kaget melihat wajah Aira yang tampak seperti mayat hidup. Meski Dariel bisa merasakan semua yang sedang Aira rasakan, tapi dia tidak menduga bahwa perasaan buruk yang menerjang diri Aira bisa membuat fisiknya tampak begitu mengenaskan.
Sifat Dariel sebagai lelaki terusik. Rasanya dia ingin merengkuh tubuh Aira yang tingginya mencapai hidung Dariel, lalu membisikkan kalimat-kalimat menenangkan.
“Dengar,” kali ini Aira berkata dengan nada yang lebih lembut. “Kau lihat sendiri kondisiku sedang tidak dalam keadaan yang baik untuk mengobrol. Dan—” Aira tercekat. “Aku sedang ada masalah di rumah. Jadi bisakah kita mengobrol lain waktu saja?”
Nyaris saja Dariel bertanya mengenai masalah yang sedang dihadapi Aira. Bagaimana pun itu bukan kapasitasnya untuk ikut campur bahkan meski untuk menawarkan bantuan. Bukankah mereka nyaris tidak saling mengenal?
“Kalau begitu kuantar kau pulang saja,” tawar Dariel.
“Tidak perlu. Rumahku tidak jauh dari sini.”
“Aku memaksa.” Dariel berkata tegas tidak mau dibantah.
Aira menghela nafas lalu mengangguk lemah. Dia menolak Dariel untuk mengantarnya bukan karena khawatir Dariel adalah orang jahat. Dilihat sekilas saja, Aira tahu bahwa Dariel adalah pemuda yang baik dan santun. Bahkan seragam SMAnya yang rapi jelas menunjukkan bahwa Dariel bukan remaja nakal. Yah, itu pikiran Aira.
Penolakannya lebih karena tidak ingin merepotkan dan tidak mau pemuda itu terlalu banyak melihat kesedihan yang tergores jelas dalam sorot mata Aira.
Dariel tersenyum seraya melepas tangannya yang masih mencengkeram pergelangan tangan Aira lalu buru-buru menuju motornya sebelum Aira berubah pikiran.
Saat itulah Aira baru sadar bahwa tangannya masih dalam genggaman Dariel karena rasa kehilangan yang mendadak menerpanya. Aira mengerutkan kening tidak mengerti tapi lalu mengabaikan perasaan itu.
Sementara itu Dariel yang kini sudah duduk di punggung motor dan menyalakan mesin, merasa tidak nyaman karena debar jantungnya kembali meningkat dengan aneh. Itu membuat Dariel khawatir dirinya kena serangan jantung mendadak lalu membuat Aira dalam bahaya.
“Ayo, naik!” perintah Dariel.
Bibir Aira mengerucut kesal karena dirinya diperintah anak SMA yang mungkin sepuluh tahun lebih muda darinya. Namun Aira tidak membantah dan langsung naik ke punggung motor di belakang Dariel.
“Ngomong-ngomong, namaku Aira.” Aira memperkenalkan diri setelah dirinya duduk di belakang Dariel. Untung saja seragamnya berupa celana dan bukannya rok.
“Aku sudah tahu. Dan namaku Dariel,” jelas Dariel sambil melajukan motornya pelan.
“Darimana kau tahu?” tanya Aira penasaran.
“Kemarin temanmu memanggilmu begitu. Kira-kira berapa jarak rumahmu dari pom bensin tadi?”
“Tujuh ratus atau delapan ratus meter.”
“Hampir satu kilometer dan kau bilang itu tidak jauh?” Dariel berdecak.
“Menurutku itu tidak jauh. Dan tolong panggil aku ‘Kakak’. Kau jauh lebih muda dari adikku.”
Dariel tersenyum geli tapi lalu kembali merasa tidak nyaman dengan debaran di dadanya. “Baiklah, Kak Aira. Apa Kakak tidak takut jatuh duduk tanpa berpegangan seperti itu?”
“Tidak,” sahut Aira singkat.
Sebenarnya Dariel tidak tahu pasti. Tapi dia pikir debaran jantungnya akan reda jika dirinya dan Aira saling bersentuhan atau saat jarak mereka cukup jauh. Karena itu Dariel ingin membuktikannya.
Perlahan dia menambah kecepatan, lalu mengerem mendadak hingga Aira memekik kaget lalu memeluk pinggang Dariel tanpa sadar. Dan perlahan, debaran jantung Dariel berangsur reda.
“Apa yang kau lakukan? Kau bisa mengemudi atau tidak?” tanya Aira dengan jengkel tanpa melepas lengannya yang membelit pinggang Dariel.
“Ah, sebenarnya aku baru belajar tiga hari yang lalu,” sahut Dariel dengan usil.
“Apa? Kau bercanda, kan?”
“Sungguh. Kau bisa tanya pada Mommyku jika tidak percaya.”
“Astaga, ya Tuhan! Seharusnya aku tidak menerima ajakanmu tadi.” Aira bergumam panik. Bahkan dia tidak sadar bahwa Dariel tidak lagi memanggilnya ‘Kakak’.
Dariel menggigit bibirnya untuk menahan tawanya. “Tenang saja. Kau hanya perlu berpegangan padaku. Dengan begitu kau tidak akan terlempar dari atas motor.”
“Ah, hentikan! Aku turun di sini saja!” pekik Aira.
“Katakan dulu di mana tepatnya rumahmu.”
Aira langsung menjelaskan karena ingin segera turun dari motor. Tapi begitu Dariel mendapat petunjuk yang jelas, pemuda itu malah menarik gas lalu memacu cepat motornya meliuk di antara padatnya lalu lintas.
Aira berteriak sambil memeluk lebih erat pinggang Dariel. Dia bahkan menenggelamkan wajahnya di punggung Dariel tanpa memikirkan bahwa mereka baru saja kenal. Seberat apapun hidupnya, Aira belum ingin mati. Dosanya masih terlalu banyak. Hidup di dunia saja Aira sudah sengsara. Dia tidak mau sengsara juga di akhirat kelak.
Aksi Dariel menakuti Aira hanya berselang sebentar karena rasa takut dan panik yang memenuhi diri Dariel. Pemuda itu berdecak karena sadar betul itu perasaan Aira. Tapi bagaimanapun, Dariel tidak bisa mengebut dalam keadaan seperti itu. Bisa-bisa mereka mengalami kecelakaan.
“Bocah sialan! Kalau mau bunuh diri jangan mengajakku!” seru Aira sambil memukul pundak Dariel. Sekarang dia tidak lagi memeluk pinggang Dariel karena laju motor sudah melambat.
Dariel meringis sambil memegang pundaknya yang terasa nyeri karena pukulan Aira.
“Apa lagi yang kau lakukan? Kenapa kau melepas stir?” Aira bertanya dengan nada tinggi dan panik saat melihat salah satu tangan Dariel berada di pundak.
“Pundakku sakit, tahu! Dan sepertinya sebentar lagi aku akan tuli karena teriakanmu,” gerutu Dariel.
“Seharusnya kau tidak main-main seperti tadi, dasar bocah! Kau membuatku jantungan!” Aira sampai terengah-engah karena berteriak pada Dariel. Sungguh ini pertama kalinya Aira terang-terangan menunjukkan perasaan seperti ini. Biasanya apapun yang Aira rasakan, dia cenderung memendamnya sendiri.
“Dasar penakut. Hanya begitu saja,” ejek Dariel.
“Turun—”
“Kenapa ada polisi di sini?”
Aira langsung mendongak dari menatap belakang kepala Dariel dan—
DEG.
Beberapa polisi tampak berada di depan rumah kontrakannya dengan si pemilik kontrakan berada bersama para polisi itu.
Ya Tuhan, bagaimana cara Aira melewati cobaan kali ini?
------------------------
♥ Aya Emily ♥