3. ANAKKU TIDAK BUTUH AYAH

1248 Words
Rhae beradu pandangan dengan pria yang kini tengah memegang bola. Jelas wanita itu tidak mengenalnya meski jarak mereka sudah begitu dekat untuk melihat dengan jelas wajah pria asing itu. Pakaian formalnya sudah berantakan, bahkan peluh membasahi wajahnya. Rhae memasang raut wajah waspada dengan pria itu. “Mommy!” seru Nio yang terkejut melihat keberadaan ibu. “Nio ngapain di sini?” Rhae menarik tangan anaknya, menjauh dari pria itu. “Harusnya tunggu Mommy di tempat biasa,” sambungnya. “Aku bosan karna Mommy lama sekali,” gerutu Nio. Rhae menghela napas, merasa bersalah kepada putranya. “Mommy minta maaf, ya. Lain kali nggak telat lagi.” “Iya Mommy, nggak apa-apa. Aku nggak bosan karna main basket sama Uncel.” Pria itu berdeham saat Nio menunjuknya. Masih sama dengan di awal, tatapan sinis dan tidak bersahabat Rhae masih bertahan hingga sekarang. Suasana pun menjadi canggung, meski pria itu nampak memasang senyum ramah. “Hai, saya Gyan,” sapa pria itu sambil mengulurkan tangan. Dengan ragu, Rhae membalas. “Rhae, Mommy-nya Nio.” “Tadi saya nggak sengaja lihat Nio di depan, dan kami ngobrol sebentar. Karna Mommy-nya nggak kunjung datang, saya jadi kasihan. Makanya saya ajak main basket biar dia nggak bosan.” “Terima kasih mau sudah nemenin, Nio. Tapi lain kali nggak usah,” ujar Rhae ketus. Nio menarik tangan ibunya. “Kenapa nggak boleh Mommy?” “Karna kamu nggak boleh ngomong sama orang asing,” jawabnya. Bibir anak itu langsung mengerucut sedih. “Padalah aku suka ada teman main,” gumamnya. Tanpa peringatan, Nio langsung pergi meninggalkan Rhae. Tindakan anak ini membuat ibunya terkejut sekaligus bingung. “Nio, tunggu Mommy!” Gyan berdeham untuk mengalihkan perhatian Rhae. “Sepertinya dia kesal. Sebaiknya cepat susul dia.” Tatapan mata Rhae semakin sinis dan mengangap ini salah Gyan. “Lain kali jangan ajak main anak saya. Harusnya pihak sekolah nggak sembarangan biarin anak-anak ketemu sama orang asing.” “Saya minta maaf,” ucap Gyan dengan senyum bersahabat di wajahnya. Rhae menghela napas, lalu pergi dari hadapan Gyan tanpa mengatakan apa-apa lagi. Baginya, urusannya dengan pria itu sudah selesai. Ia tidak suka basa-basi dengan orang yang tidak dikenal. Apalagi pertemuan pertema mereka bisa dianggap tidak hangat, jadi Rhae ingin cepat pergi dan menyusul putranya. Kepalanya pun semakin sakit akibat kejadian ini. “Nio, Mommy minta maaf ya karena telat jemput Nio. Mommy minum obat, jadi ngantuk sekali terus tidur.” “Mommy masih sakit?” Rhae menggeleng pelan dengan wajah masih pucat. “Cuma sedikit. Besok juga sembuh,” jawabnya. Rhae mengangkat tangan lalu mengusap pucuk kepala anaknya. “Mommy tau kamu anak pintar yang selalu ingat apa pesan Mommy sama kamu, Nio.” “Uncle Gyan kan baik, Mom. Aku senang main sama dia. Aku mau berteman sama Uncle Gyan.” “Kamu baru kenal sama Uncle, jadi belum tentu baik, Sayang,” ujar Rhae sambil mengemudikan mobil dan meninggalkan area sekolah. “Anak kecil harus berteman dengan yang seumuran. Pokoknya ini yang terakhir, lain kali jangan mau diajak ngobrol sama orang asing. Kamu ngerti, Nio?” Nio mengangguk masih dengan raut wajah sedih. “Iya Mommy.” Kadang sebagai ibu yang sangat menyayangi anaknya, Rhae harus tega bersikap tegas. Mungkin Nio menganggap ibunya suka marah tapi Rhae berusaha memberikan pengertian bahwa tujuannya selalu baik. Untung saja, diusianya yang masih kecil, anak itu selalu belajar memahami hal baik yang diberitahu olehnya, sehingga Rhae bisa sedikit lega anaknya tidak membencinya. Mengingat tentang Gyan, Rhae akhirnya tahu siapa sosok pria itu. Ia sempat komplain dengan satpam karena membiarkan Nio bersama orang asing. Satpam tersebut memberitahu kalau yang bermain dengan Nio adalah Gyanendra Romedjoe yang tidak lain adalah anak dari pemilik yayasan tempat anaknya sekolah. Namun meski begitu, Rhae tetap keberatan atas apa yang Gyan lakukan. *** “Harusnya kamu nggak usah repot jenguk aku. Cuma demam biasa, besok juga sembuh.” Senara menghela napas melihat kondisi Rhae yang masih pucat dan lemas. Dua hari tidak masuk kerja, membuat wanita itu khawatir. Ketika bisa pulang tepat waktu, akhirnya memutuskan untuk mengunjungi Rhae. “Cuma demam tapi sampai sekarang badan kamu masih hangat. Jangan meremehkan sakit, harusnya kamu cepat tes darah biar tahu sakit apa.” Rhae tersenyum melihat bagaimana khawatirnya Senara. “Besok kalau masih demam, aku ke rumah sakit.” “Terus tadi Nio pulang sekolah sama siapa?” tanya Senara kepada anak yang duduk di sebelah sambil mengerjakan tugas. Nio pun manatap Senara. “Sama Mommy tapi terlambat.” “Oh iya. Kenapa terlambat?” tanya Senara. “Kata Mommy ketiduran.” Senara pun menatap Rhae. “Benar?” “Iya. Efek obatnya.” “Ya ampun, kasihan sekali Nio sayang. Pasti bosan nunggu Mommy, ya?” Anak itu menggeleng polos. “Enggak karena ada Uncle Gyan yang nemenin main basket.” “Uncle Gyan?” “Uncle Gyan jago sekali main basket. Tapi kata Mommy nggak boleh temenan sama Uncle.” Senara pun menatap Rhae karena bingung dengan apa yang Nio katakan. Rhae memberi tanda agar Senara diam dan tidak membahas nama itu di hadapan anaknya. “Mommy, aku sudah selesai buat tugas. Sekarang boleh gambar?” Rhae mengangguk. “Gambar di kamar, ya.” “Oke Mommy.” “Siapa Uncle Gyan? Pacar kamu?” bisik Senara begitu Nio pergi dari ruang tamu. Rhae langsung menggeleng cepat. “Jelas bukan. Aku juga nggak kenal dia,” balasnya dengan suara pelan. “Jadi siapa Gyan itu? Kenapa Nio bisa ngomong begitu? Apa dia guru di sekolah? Jarang-jarang atau bahkan nggak pernah Nio ngomongin cowok seantusias itu. Aku jadi penasaran,” cecar Senara. Lagi dan lagi Rhae menggeleng pelan. “Aku Cuma tau dia anak pemilik yayasan. Yang jelas aku nggak suka sama sikapnya yang ngajak Nio main basket siang-siang. Harusnya dia jangan sok akrab padahal nggak kenal anakku.” “Katanya nggak kenal tapi kok kesel?” “Oke, aku kasih tau biar kamu nggak kayak polisi lagi interogasi penjahat,” ujar Rhae dengan suara pelan karena memang masih lemas. “Dengar baik-baik.” “Iya-iya.” Rhae menuturkan apa yang terjadi saat menjemput anaknya di sekolah. Raut wajahnya tegang dan kesal saat menyebut sosok Gyan. Bukan tanpa alasan, rasa kesal itu muncul setiap ingat anaknya bersama orang asing yang membuat traumanya muncul kembali. “Kamu tahu kan gimana rasa takut itu nggak pernah hilang. Makanya kesan pertama ketemu sama dia nggak ada bagus-bagusnya.” Senara pun mengangguk paham. “Oke, aku ngerti perasaan kamu sebagai ibu. Tapi setelah tahu dia anak pemilik yayasan, harusnya kamu nggak terlalu kesal, dong?” “Nggak bisa. Kesan pertama menentukan sikapku selanjutnya.” “Jangan berlebihan, Rhae. Dia pasti berniat baik sama Nio karna kasihan sendirian. Lagian kamu nggak tahu ke depan akan gimana. Siapa tahu ternyata Gyan itu jodoh sama kamu,” ucap Senara. Sontak kedua mata Rhae membola dengan raut wajah panik. “Enggak, jangan ngomong terlalu jauh. Kamu tahu sendiri aku nggak ada niat menikah. Aku sudah bahagia hidup berdua sama Nio.” “Tapi kamu pernah mikir nggak, apakah Nio bahagia hidup Cuma berdua sama kamu tanpa ada kehadiaran sosok daddy?” Rhae menghela napas, lalu meraih gelas berisi air putih. Diteguknya cukup lama, dengan napas sedikit memburu. “Sorry aku ngomong kelewatan tapi kadang aku sedih lihat Nio menatap anak-anak yang lagi sama papanya. Dia pasti pingin, Cuma nggak tahu harus ngomong gimana sama kamu,” ucap Senara. “Aku tahu apa yang terbaik untuk Nio. Dia Cuma butuh aku, jadi kamu nggak usah kasihan walaupun dia nggak punya daddy,” ucapnya tegas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD