Tuan Muda dan Upik Abu - 02 - Aku Selalu Mendapatkan Apa Yang Aku Mau

1561 Words
Sebuah motor Harley Davidson jenis Breakout terlihat melaju memasuki sebuah kawasan perumahan elit yang memiliki halaman hijau yang  luas, lengkap dengan lapangan golf dan juga danau buatan di sisi baratnya. Motor seharga Rp. 923.000.000 juta atau nyaris mendekati satu milyar itu terus melaju melewati jalanan aspal yang membelah halaman rereumputan yang lembut. Motor itu melaju dengan gesit, hingga kemudian berhenti di depan beranda rumah yang tinggi menjulang. Rumah yang berdiri kokoh layaknya istana itu berwarna putih bersih dengan untaian bunga mawar merah yang menjalari pilar-pilar penopangnya. Kontruksi bangunan rumah itu perpaduan antara gaya klasik-modern. Hal itu terlihat dari gaya arsitekur bagian depan yang mengusung gaya kastil Eropa di abad pertengahan, lalu dipadukan dengan gaya bangunan modern masa kini yang dipenuhi oleh aksen kaca di bagian belakangnya. Kedatangan sosok pemuda itu langsung disambut oleh barisan pekerja berpakaian serba hitam yang langsung berbaris rapi dan membungkukkan badan. Sosok pemuda itu melepas helm-nya, lalu melemparnya dengan gusar ke lantai dengan tatapan tajam. Rambut pemuda berkulit bening itu kini tampak kusut, raut wajahnya terlihat sangat murka. Tapi semua itu tidak mengurangi ketampanannya. Alisnya yang tebal, rahang yang tegas, hidung mancung dan bibir berwarna merah muda itu sungguh merupakan sebuah pemandangan yang membuat siapapun terpana. Pemuda yang mengenakan jaket kulit berwana hitam mengkilat itu melangkah memasuki rumah dengan gusar, tapi kemudian seorang lelaki berpenampilan klimis, lengkap dengan kacamata bulat langsung menghadang langkahnya. “Eh, k-kamu kenapa tiba-tiba ada di sini? Bukannya ini masih jam sekolah?” tegur lelaki itu. Pemuda itu mengembuskan napas panjang, lalu menatap tajam. “Apa benar Bu Rahma dateng ke rumah?” Sosok lelaki yang merupakan asisten pribadi pemuda itu meneguk ludah dan kesulitan untuk menjawab. “A-anu … o … a ….” Pemuda yang mempunyai tatapan mata setajam elang itu mendengkus kesal, lalu kembali melanjutkan langkahnya. “Alfian! tunggu ….!” sang asisten kembali memanggilnya sambil mengejar tuan mudanya itu. “Tunggu! Kamu nggak boleh ada di sini!” sang asisten memegangi tangan Alfian. Pemuda bernama Alfian itu menghentikan langkahnya. “Kenapa Mas Rudi nggak ngasih tahu tentang hal ini, ha?” Lelaki bernama Rudi itu terdiam, namun dia tetap memegangi tangan Alfian seerat mungkin. “P-pokoknya kamu nggak boleh ada di sini. K-kita kembali ke sekolah, ya!” Rudi berusaha membujuk Alfian yang sudah terlanjur emosi. Pasalnya kemarin Alfian kembali membuat ulah di sekolah. Alfian memasukkan seekor cicak ke dalam tas guru bahasa inggris. Hal itu bermula karena sang guru memberikan nilai yang jelek untuk ulangan harian Alfian. Wajar saja, Alfian memang tidak mengerjakan ulangan itu dengan baik. Namun biasanya, tidak ada seorang pun guru di sekolah itu yang berani memberikannya nilai yang jelek. Karena semua guru-guru pun tahu bahwa Alfian adalah pewaris tahta kerajaan Sandjaya. Alfian Sandjaya memang terkenal sebagai murid yang paling nakal di sekolah. Akan tetapi semua itu selalu ditutup-tutupi oleh pihak sekolah. Apalagi sosok kepala sekolah adalah tipikal penjilat yang selalu ingin terlihat baik di mata keluarga Sandjaya. Alhasil Alfian tumbuh menjadi siswa yang sangat arogan dan sombong. Dia memperlakukan sekolah itu seperti tempat bermain. Dia bebas datang dan pergi kapan saja. Dia bebas melakukan apa saja dan … Tak ada seorang pun yang berani menegurnya. Akan tetapi masa-masa kejayaan itu sirna sejak kehadiran guru baru bernama Rahma. Guru perempuan yang masih berusia 27 tahun itu adalah satu-satunya guru yang berani menegur Alfian, memarahinya dan bahkan sekarang memberikan nilai yang jelek untuknya. Karena itulah Alfian merasa kesal dan melakukan aksi balas dendam. Dia memasukkan cicak ke dalam tas bu Rahma. Tapi siapa yang menyangka …. Bu Rahma malah mendatangi rumah keluarga Alfian, untuk mengadukan semua perbuatannya. “Apa benar perempuan itu ada di sini?” tanya Alfian lagi. Rudi semakin kewalahan. Bercak-bercak keringat sudah membasahi kening lelaki berusia 28 tahun itu. “Sial ….” Alfian mengumpat dan menarik tangannya. Rudi pun menatap nanar dengan tangan mengawang. Sepertinya kali ini sang tuan muda akan menempatkannya dalam masalah lagi. Sebagai orang yang bertanggung jawab meng-handle Alfian, sudah jelas bahwa Rudi juga akan ditegur oleh kedua orang tua Alfian nantinya. “Alfiaaaan … kenapa kamu selalu menempatkan saya dalam kesulitan seperti ini?” bisiknya lirih dengan wajah memelas. Sementara itu Alfian sudah berbelok  menuju ruang keluarga. Benar saja, dia langsung melihat sosok bu Rahma yang sedang duduk bercengkerama bersama kedua orang tuanya. “Kenapa kamu ada di sini, ha?” sang mama tampak terkejut. Alfian tidak menjawab. Dia menatap bu Rahma dengan sorot mata tajam dan pangkal geraham yang bergesekan kuat. Alfian terlihat seperti seekor harimau yang hendak menerkam mangsanya hidup-hidup. Terlihat jelas raut wajah bengis dan kebencian dari tatapan matanya. Namun sosok gurunya itu hanya menatap santai, kemudian mengulum senyum. “Baiklah … saya hanya ingin menyampaikan hal itu kepada Ibuk dan Bapak. Saya harus kembali ke sekolah untuk mengajar.” bu Rahma bangun dari duduknya. Mama Alfian pun juga langsung bangkit dari duduknya. “Saya akan mengantar Bu Guru ke depan.” Bu Rahma pun melenggang pergi dengan senyum penuh kemenangan. Hal itu membuat Alfian semakin geram. Suara helaan napas lelaki berusia 17 tahun itu terdengar sesak seiring dengan sorot matanya yang mengikuti langkah kaki bu Rahma meninggalkan ruangan itu. “Apa …? Kamu memasukkan cicak ke dalam tas guru?” sang papa bersuara pelan. Deg. Alfian tersadar dan langsung menunduk, masih sambil menahan amarahnya. Sang papa perlahan bangun dari duduknya. Sosok pemimpin Sandjaya Group yang sangat terkenal itu berjalan pelan mendekati Alfian, lalu melayangkan sebuah tamparan di pipi pemuda itu. PLAK. “Benar-benar memalukan!” bentak sang papa. Alfian menyentuh pipinya perlahan. Pemuda itu balas menatap sang papa, lalu tersenyum sinis. “Memalukan? Lalu semua yang sudah Papa perbuat dengan wanita itu apa …? bukankah itu lebih memalukan?” Alfian menyeringai dengan mata melotot. Tak ada sedikit pun raut penyesalan dan juga ketakutan di wajahnya. Sang papa tampak terkejut. “A-apa kamu bilang barusan …!?” Tangan sang papa kembali mengayun hendak menampar Alfian kembali, tapi sang mama yang baru saja kembali setelah mengantar bu Rahma langsung berteriak histeris sambil berlari ke tengah-tengah Alfian dan papanya. “JANGAN PA …!!! jangan gunakan kekerasan lagi.” wanita yang terlihat awet muda itu menggeleng pelan dengan wajah memohon. Papa Alfian melonggarkan ikatan dasinya, lalu beranjak pergi dari sana. Sementara itu sang mama berbalik dan menatap Alfian dengan wajah rusuh. “K-kamu nggak apa-apa, kan?” Sang mama terkejut melihat sudut bibir Alfian yang terluka. Jemarinya terangkat pelan hendak menyentuh luka itum tapi Alfian dengan cepat menepis tangan itu dengan kasar. “Jangan sok peduli! Bukannya anda senang melihat saya seperti ini?” bisiknya pelan. Deg. Sang mama menatap nanar dan Alfian pun kembali berbisik ke telinganya. “Anda tidak perlu berpura-pura menjadi sosok ibu yang baik. Karena sampai kapan pun anda tidak akan pernah bisa menggantikan posisi Mama saya. Sudahlah … berhenti sok peduli! Urus saja putra anda yang pintar dan sempurna itu.” Alfian berkata ketus, lalu segera melangkah pergi dari sana.   -   “Jadi Bu Rahma beneran dateng ke rumah lo dan ngaduin semuanya sama Bokap, lo?” Seorang lelaki yang memiliki paras wajah seperti bule duduk di sebelah Alfian. Lelaki yang hobi bermain basket itu bernama Riski Fadillah. Dia merupakan satu-satunya orang yang diakui oleh Alfian sebagai temannya. Latar belakang mereka kurang lebih sama. Riski juga berasal dari keluarga konglomerat yang super tajir. Ayahnya merupakan seorang pengusaha asal Turki. Selain itu ibunya juga tercatat sebagai salah satu pemilik maskapai penerbangan yang cukup ternama di tanah air. Alfian mengangguk sambil menatap nanar. “Cih, dia belum tahu siapa gue.” Riski tertawa pelan. “Iya. Dia belum tau aja udah berapa banyak guru yang udah berhasil lo singkirin dari sekolah.” “Tenang aja. Sebentar lagi juga giliran dia, kok. Lo liat aja ntar… tapi sebelumnya gue bakalan ngasih pelajaran dulu sama guru songong yang satu itu.” Riski mengangguk. “Okay … kita lihat aja nanti apakah lo berhasil atau nggak. Karena Bu Rahma ini sedikit beda, cuy … dari awal dia emang udah kayak nantangin, lo.” Alfian tertawa. “Lo lupa kalo kepala sekolah selalu mihak gue?” “Ah, iya … tapi, gue kadang juga heran deh, kenapa Pak Kepsek bisa segitunya sama lo? Terakhir kali dia juga nutupin kasus pembully-an yang lo lakuin itu dari orang tua lo, kan?” “Dia lagi ngincer posisi sebagai ketua yayasan. Sebentar lagi jabatan dia sebagai kepala sekolah kan, hampir habis,” jelas Alfian. “Jadi karena itu Kepsek memperlakukan lo dengan istimewa?” Alfian tersenyum. “Bukannya gue emang selalu istimewa?” “Ops … sorry, my mistake.” Riski langsung merunduk dan mengayunkan salah satu tangannya seperti seorang pelayan yang memberikan penghormatan kepada sang raja.    Alfian mengangguk pelan. “Pokoknya gue akan menyingkirkan semua yang menghalangi jalan gue. Gue akan menyingkirkan semua hama yang mengganggu.” “Setuju! Bagaimana pun juga lo ikut bertanggung jawab untuk menjaga nama baik SMA Sandjaya. Lo harus mastiin nggak ada kuman-kuman yang bergabung ke SMA kita. Baik itu dari kalangan guru ataupun kalangan siswa. Orang tua lo udah stop beasiswa untuk siswa yang nggak mampu itu, kan?” tanya Alfian. “Tentu saja.” Alfian tersenyum senang. “Gila! Gue bener-bener salut. Lo berhasil membasmi semua anak-anak yang nggak selevel sama kita dan menjadikan SMA Sandjaya tetap bermartabat.” Alfian menyeringai dengan sangat pongah. “Jelas … karena gue akan selalu mendapatkan apa yang gue inginkan. APAPUN ITU ….”   _   Bersambung …  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD