Tuan Muda dan Upik Abu - 01 - Aku Selalu Memilih Untuk Bahagia

1650 Words
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Cuaca di luar sana juga semakin memburuk. Desau angin yang berhembus terdengar jelas. Suara-suara pepohonan yang ditiup badai terdengar sedikit mengerikan. Namun bukan hal itu yang di cemaskan oleh Aya. “Atapnya nggak akan diterbangkan angin lagi, kan?” gadis dengan rambut panjang terurai itu menatap cemas ke langit-langit rumah. Aya tersentak saat angin kembali bertiup kencang. Satu-satunya yang dikhawatirkan gadis itu adalah atap rumahnya kembali terbang seperti yang pernah terjadi sebelumnya.  Saat itu dia juga sendirian di rumah, hujan pun turun sangat deras. Malam itu benar-benar sebuah tragedi. Aya begitu kesusahan membereskan semua kekacauan itu, dia harus menyelamatkan semua perabotan rumah dari terpaan hujan. Aya juga harus mengepel lantai yang basah. Semua semakin lengkap saat listrik tiba-tiba mati. Ah, dia bahkan tidak mau membayangkannya lagi.  Aya benar-benar tidak ingin kejadian serupa kembali terulang. “Kenapa Bapak belum juga pulang?” bisiknya lirih. Gadis itu menatap sendu pada jendela kaca yang sudah terlihat buram karena percikan rinai yang diterbangkan angin. Saat ini Aya sedang duduk di ruang tamu. Dia duduk bersila di atas sofa yang sudah robek di mana-mana. Wajar saja, usia sofa itu bahkan sama dengan umurnya, yaitu 17 tahun. Pandangan gadis dengan lesung pipi di sebelah kanan itu beralih pada makanan yang sudah tersaji di atas meja. Aya memasak nasi goreng lado hijau kesukaan sang bapak, lengkap dengan dua buah telur ceplok yang sedikit gosong karena Aya sibuk membalas chat whatsapp temannya saat memasak telur itu. Aya merebahkan kepalanya di atas lengannya sendiri. Sesekali dia juga menguap lebar menahan kantuk yang datang menyerang. Perlahan kedua kelopak mata gadis yang mempunyai bulu mata lentik itu menutup dan membuka pelan. Semakin lama semakin pelan …. Pelan. Hingga kemudian menutup dan tidak terbuka lagi. Aya terlelap sembari menunggu sang ayah. Hujan badai di luar sana terdengar semakin menjadi-jadi. Waktu pun terus berlalu. Sampai kemudian Aya terbangun saat mendengar suara deru dari mesin vespa tua yang sangat dikenalnya. “Bapaaak …!!!” Aya buru-buru berlari untuk membukakan pintu. Benar saja, sosok lelaki dengan kumis yang sedikit memutih itu langsung tersenyum hangat sambil mengangkat sebuah kantong plastik yang sudah basah. “Bapak bawa martabak keju kesukaan kamu,” ucapnya. Aya tersenyum pelan, lalu kemudian segera menarik sang bapak masuk ke rumah. “Harusnya Bapak nggak usah pulang kalo hujan-hujan seperti ini.” “Tenang. Bapak punya mantel hujan, kok.” “Tetep aja!” Aya sibuk meracau dan segera mengambilkan handuk beserta pakaian ganti untuk sosok yang paling dicintainya itu. Setelah mengeringkan badan dan berganti pakaian, sang bapak duduk di depan Aya yang sedang mengambilkan nasi goreng buatannya ke dalam sebuah piring. “Wah, nggak sia-sia Bapak pulang menembus badai, ternyata kamu masak nasi goreng kesukaan Bapak, toh.” Aya tersenyum tipis. “Tapi karena sudah dingin, pasti rasanya jadi kurang enak.” Sang bapak cepat-cepat menyuap nasi goreng itu dan cepat-cepat pula menggelenggkan kepala. “Enak, kok! Muantaaaap tenan malahan.” “Bapak bisa aja.” Aya tersenyum malu dan juga mengambil nasi goreng untuknya sendiri. Pasangan bapak dan anak itu pun menikmati makan malam mereka bersama badai yang tak juga mereda. Cuaca malam ini terasa dingin. Namun kehangatan terlihat jelas dari binar mata dan senyuman yang tergurat di wajah keduanya. “Loh … ini kenapa telurnya gosong?” tanya sang bapak. Aya tersedak dan meminum air terlebih dahulu sebelum menjawab. “Maaf, Pak Boss … tadi ada kesalahan teknis. Sehingga terjadilah insiden telur yang hangus itu.” “Memangnya kenapa bisa angus? Kamu tinggal pergi, tah?” “Nggak. Aku cuma balesin chatt temen sebentar, eh tau-tau udah gosong aja,” jawab Aya. Sang bapak yang mempunyai perawakan wajah sedikit gembul itu langsung menyipitkan mata. “Temen apa temeeen …?” Aya langsung menjadi salah tingkah. “T-temen, lah … siapa lagi.” “Kali aja pacar,” sahut sang bapak santai. Aya langsung menyilangkan kedua tangannya. “No … aku nggak mau pacar-pacaran dulu. Pokoknya aku mau fokus belajar, jadi lulusan terbaik dan juga mendapatkan beasiswa di bangku Universitas. Pokoknya aku akan melakukan yang terbaik.” “Jadi kamu mau pacarannya saat di bangku kuliah aja?” Aya lagi-lagi menggeleng. “Nggak!” Sang bapak menatap bingung. “Lho, terus gimana?” “Setelah duduk di bangku universitas, aku mau lulus dengan cepat, mendapatkan pekerjaan dan kemudian membahagiakan Bapak. Jadi Bapak tidak perlu bekerja lagi,” jawab Aya. Hening. Sang bapak langsung menundukkan wajahnya mendengar penuturan putri semata wayangnya itu. Pandangan mata lelaki itu berubah buram karena genangan air mata. “Lah, Bapak kenapa nangis?” Hening. Sang bapak tersenyum, menyeka air matanya, lalu menatap Aya dengan sorot mata nan lembut. “Maafin, Bapak, ya ….” “Kenapa Bapak ngomong gitu lagi, sih,” sungut Aya. Sang bapak tersenyum pelan. “Kalau kamu selalu mikirin Bapak, kapan kamu menikmati kehidupan kamu sendiri? Kamu juga harus menikmatinya, Aya … Masa-masa SMA itu ndak akan datang dua kali.” Aya terdiam. “Moso iya anak Bapak yang cantik jelita ini belum pernah pacaran? Anaknya Pak Bowo aja sering gonta-ganti pacar. Tiap malam minggu beda tebengannya,” sahut sang bapak. Aya sontak tergelak. “Maksud Bapak  Soffi? Itu bukan pacarnya, Pak … tapi Soffi emang ikut kursus piano setiap malam minggu dan dia naik gojek. Jadi itu bukan pacarnya, melainkan tukang ojek.” Sang bapak juga tertawa pelan hingga kedua bahu gemuknya ikut bergetar. “Pokoknya, Bapak cuma mau bilang ….” ucapan sang bapak terhenti. “Bilang apa?” tanya Aya. Sang bapak menatap lembut, lalu menepuk-nepuk punggung telapak tangan Aya pelan. “Bapak cuma mau bilang … kalau kamu juga boleh bersenang-senang.” “Pak … selama ini Aya seneng, kok. Aya bahagia! Sangat bahagia malah … jadi Bapak nggak usah khawatir tentang hal itu. Aya bukannya nggak mau bersenang-senang. Tapi sekarang ini Aya sedang menunda kesenangan itu untuk sebuah kesenangan yang lebih besar lagi.” Aya mengedipkan sebelah matanya. “Memanglah pintar sekali anak gadis Bapak ini … Bapak benar-benar behagia memiliki kamu.” “Aya juga bahagia mempunyai Bapak.” Aya dan sang bapak terus asyik mengobrol sambil sesekali bercanda gurau. Hingga kemudian Aya menatap sang bapak lekat-lekat. “Bapak lupa, ya … ini hari apa?” Hening. Sang bapak yang masih sibuk menyuap nasi gorengnya berpikir sejenak, lalu kemudian langsung menepuk keningnya. “Astaga … Bapak benar-benar lupa. Ini hari ulang tahun kamu, Aya!” Aya tersenyum. “Iya. Hari ini Aya ulang tahun yang ke 17 tahun dan itu berarti hari ini adalah peringatan kematian Ibuk yang ke 17 tahun juga.” Hening. Raut wajah sang bapak berubah sendu. Keadaan berubah sunyi untuk beberapa menit. “Pak ….” panggil Aya pelan. Sang bapak menatap putrinya itu dengan mata yang sudah basah. Aya langsung menggenggam tangan sang bapak, lalu meremasnya pelan. “Bapak jangan nangis! Kan, Bapak sendiri yang bilang … kalau Ibuk sudah bahagia di sisi Tuhan. Kita nggak boleh menangisinya lagi. Kala Rindu datang, satu-satunya yang bisa kita kirimkan adalah Doa. Iya, kan?” Sang bapak mengangguk, lalu menyeka air matanya. “Iya Sayang. Kalau begitu ayo kita kirimkan doa buat Ibuk.” Aya mengangguk dan langsung menangkupkan tangannya. Pasangan ayah dan anak itu terlihat berdoa dengan sungguh-sungguh dan mengakhirinya dalam waktu yang hampir beriringan. Sang bapak tersenyum pelan. “Bapak benar-benar tidak ingat. Kalau ndak pasti tadi Bapak belikan kado buat kamu.” “Emm … Aya udah dapet kadonya, kok.” Sang bapak menatap bingung. “K-kado apa?” Aya menatap usil. “Coba deh, Bapak tersenyum lebar.” Walau merasa bingung, tapi sang bapak langsung menurut. Dia tersenyum lebar hingga kedua matanya terlihat mengecil. “Nah, itu adalah kado terbaik bagi Aya. Melihat Bapak tersenyum seperti itu adalah kado yang paliiiing istimewaaaa.” Sang bapak pun tertawa keras. Aya juga tak henti menggoda dan terus bercanda. Malam boleh saja semakin larut. Langit boleh saja murka dan terus mengamuk. Namun kehangatan di rumah kecil itu tak bisa tergoyahkan oleh badai sekalipun. Aya dan sang bapak terus saja asyik bercanda. Dengan segenap cinta yang memenuhi setiap sudut hati mereka. _ Gadis cantik dengan kepribadian yang lembut itu bernama Cahaya Fathiyah. Hari ini genap sudah usianya 17 tahun. Gadis yang biasa dipanggil Aya itu sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan perayaan ulang tahunnya. Karena di hari itu ada sebuah kebahagiaan dan kesedihan yang saling berpilin dan tidak akan pernah bisa dipisahkan. Hari itu dia dilahirkan ke dunia. Namun saat itu juga dia harus kehilangan sang ibu yang meninggal dunia tepat beberapa menit setelah kelahirannya. Jika tidak melihat potret wajah sang ibu, tentu Aya tidak akan pernah mengenal sosoknya. Aya belum sempat memanggilnya, bermain bersamanya, atau sekedar melihat senyumnya, mendengar bagaimana suaranya, bahkan … Dia juga tidak sempat merasakan air susu dari sang ibu yang terlalu cepat berpulang pada pangkuan sang Maha Kuasa. Akan tetapi hal itu tidak membuat Aya merasa hidup dalam nestapa. Selama ini sang bapak selalu mencurahkan kasih sayang yang berlimpah, sehingga Aya tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang dalam hidupnya. Terbukti Aya tumbuh menjadi seorang gadis cantik, baik dan juga bijaksana. Memang, terkadang kesedihan itu juga datang menyapa. Bagaimana pun juga akan selalu ada masa di mana Aya merindukan sosok ibunya. Akan ada masa di mana Aya merasa cemburu melihat teman-temannya yang masih memiliki sosok malaikat nyata dalam kehidupan mereka itu. Akan selalu ada ada waktu di mana dia berandai-andai; “Ah … seandainya Ibuk masih ada ….” Akan tetapi …. Aya tidak pernah membiarkan dirinya larut dalam kesedihan. Karena dia mengerti bahwa setiap jengkal kehidupan yang dia peroleh saat ini adalah suatu berkat yang tidak pantas untuk dikufuri. Kala kesedihan itu datang, maka Aya akan cepat-cepat mengalihkan perhatiannya dengan melakukan hal-hal yang lebih berguna. Seperti membaca buku. Melukis. Bernyanyi. Atau pun sekedar berjalan-jalan menikmati semesta. Bagi Aya, Hidup adalah sesuatu yang harus dia nikmati setiap detiknya. Baginya kesedihan dan kebahagiaan adalah pilihan. Dan Aya … Selalu memilih untuk berbahagia.   _   Bersambung … 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD