Tuan Muda dan Upik Abu 04 - Si Biang Kerok

1099 Words
Pagi ini Alfian bangun lebih cepat dari biasanya. Tunggu? Bangun lebih cepat? Itu jelas tidak mungkin. Alfian selalu bangun kesiangan dan selalu membuat para asisten rumah tangga kelimpungan karena ulahnya. Tapi pagi ini Alfian sudah terlihat terduduk di tepi ranjangnya. Lelaki berusia 17 tahun itu sesekali tersenyum melihat layar handphone. Mustahil dia bangun di pagi hari. Jawabannya hanya satu... Berarti Alfian memang belum tidur sama sekali. Sosok tuan muda itu pasti begadang lagi. "Aaah ... Ahhh ... Aaah ...." Terdengar suara lenguhan dari video yang sedang ia putar. Alfian mengigit bibirnya. Ada sesuatu yang terasa mengeras di antara selang-kangan. Benar. Bocah gesrek itu sedang menonton video por-no. Alfian terus melihat adegan yang tak senonoh itu dengab wajah yang mendadak terasa panas. Perlahan. Tangannya mulai mengelus sang senjata pusaka yang masih terbungkus di balik celana pendek yang ia pakai. Saat ini Alfian berte-lanjang da-da. Perut sixpact dan otot lengannya itu kini terlihat jelas. Badannya bersih sekali. Tidak ada warna belang di tubuhnya. Alfian mengenakan celana pendek warna hitam di atas lutut. Ia masih asyik menonton dengan rambut yang kusut. Lama. Sangat lama. Sampai kemudian Alfian merasa tidak tahan lagi. Ia memperbaiki posisinya untuk berbaring. Ditumpuk bantal sebanyak dua buah agar posisi punggungnya terasa nyaman. Tangan kiri memegangi handphone yang masih memutar video. Tangan kanannya masih sibuk mengelus-elus. Terlihat jelas. Panjang. Te-gang sekali. Sampai kemudian... Ia menurunkan celana itu perlahan. Ternyata Alfian tidak memakai cela-na dalam di baliknya. Buntalan daging itu tegak berdiri. Alfian pub mulai memainkannya. Jarinya mere-mas pelan. Naik dan turun. Awalnya pelan-pelan. Lalu kemudian semakin cepat. Sesekali tangannya juga meraba-raba tubuhnya sendiri. Alfian mulai larut dalam kenikmatan. Lenguhan dari bela-han bibirnya pun mulai terdengar. Tangannya masih bekerja keras. Gerakan itu semakin cepat saja. Terus. Ia terus memainkannya. Sampai kemudian wajahnya terlihat memerah. Raut wajah yang menahan nikmat itu membuat Alfian terlihat semakin tampan saja. "Aaaah ...." Lenguhannya terdengar jelas. Hingga akhirnya ... Cairan putih kental itu menyembur kuat. Sebagian cipratannya bahkan mengenai wajah Alfian sendiri hingga ia refleks memejamkan mata agar cairan itu tidak mengenai pupilnya. "Haaah ... " Alfian tersenyum puas. Ia merasa lega, tapi juga penat. Ia melepas penat sejenak. Seraya mematikan video yang masih berputar. Diambilnya tisu di atas meja nakas dan ia mulai membersihkan tubuhnya . "Alfian... Kamu sudah bang--?" Rudi sang asisten pribadi berhenti melanjutkan ucapannya saat melihat Alfian sudah bangun dan tersenyum padanya. "Ternyata kamu sudah bangun," pungkasnya. Alfian hanya tersenyum, lalu melemparkan tisu bekas itu kepada Rudi. Rudi melotot. Ia akhirnya menyadari sampah tisu yang kini bertebaran di lantai. Tatapannya kemudian tertuju pada bercak putih yang masih basah di atas seprai berwarna abu-abu itu. Rudi mengembuskan napas panjang. "Saya sudah katakan bahwa apa yang kamu lakukan itu nggak baik untuk kesehatan kamu." Alfian menatapnya. "Kalau begitu biarkan aku bermain perempuan." Deg. Rudi tercengang. Itu jelas lebih berbahaya. Alfian malah terkekeh. "Tuan akan marah kalau tahu kamu seperti ini." Rudi mencoba mengingatkan dengan hati-hati. "Kalau dia tahu ... Berarti anda yang melaporkannya!" Alfian menatap tajam seraya mengambil handuk dan kemudian masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamarnya itu. Lesu. Rudi tertunduk lemas. Bekerja sebagai asisten pribadi tuan muda Alfiano Sandjaya bagaikan memakan buah simalakama. Hidupnya selalu diliputi oleh kecemasan setiap harinya. Ia harus menjadi jembatan antara sang tuan besar dan tuan muda yang tak pernah akur. Ayah dan anak itu selalu cek cok setiap harinya dan tidak pernah ada kata damai diantara mereka. Alfian yang hendak masuk ke dalam kamar mandi kembali menoleh ke belakang. "Oh, iya... Jangan lupa ganti sprei-nya. Buang saja yang itu, ganti dengan yang baru." Rudi memaksakan bibirnya tersenyum, lalu mengangguk. "Baik Tuan Muda." . . . Alfian sudah selesai mandi dan berganti pakaian. Ia mengenakan seragam SMA Sandjaya yang unik dan terlihat ekspensif. Setelan seragam SMA elit itu memang terlihat mewah. Celananya berwarna hijau tosca dengan kemeja putih lengan panjang dan rompi yang kotak-kotak yang warnanya hampir senada dengan warna celana. Warna kotak-kotak rompinya perpaduan antara hijau tosca dan kuning telur. Seragam itu terlihat sedikit ketat di tubuh Alfian yang berotot. Akhir-akhir ini dia memang cukup terobsesi untuk membentuk tubuhnya. Tak tanggung-tanggung, dia meminta sang ayah untuk membangun gym pribadi di rumah yang saat ini sedang dalam tahap pengerjaannya. Alfian berjalan menuruni anak tangga. Terlihat sang papa sudah duduk di meja makan. "Selamat pagi." nada sapaan Alfian terdengar cuek. Sang papa yang sedang membaca koran itu melirik Alfian. Ia masih marah karena perkara ulah Alfian kemarin. "Kamu tidak perlu ke sekolah hari ini. Deg. Alfian melotot. "A-APA...!?" Sang papa menatap tajam. "Kamu tidak boleh ke mana-mana selama satu minggu ini." Alfian terpana, lalu kemudian terkekeh pelan. "Hahah... Ini benar-benar gila!" Sang papa bergeming. Ia beralih menatap Rudi yang baru datang dan langsung berbicara padanya. "Jangan biarkan dia keluar dari rumah ini. Dia harus merenungi kesalahannya." Rudi menatap gugup. Saat ini Alfian menatap tajam padanya. Sang asisten kembali beralih menatap pada sang tuan besar, lalu mengangguk patuh. "Baik, Tuan." Alfian menatap geram. "Giliran nggak mau sekolah dipaksa ke sekolah... Giliran aku mau sekolah malah dilarang seperti ini. Mau Papa itu apa, sih?" "Papa hanya mau kamu berhenti membuat malu nama keluarga!" Alfian termangu. "Jadi Papa malu memiliki anak seperti aku?" "Tentu saja. Kamu adalah aib yang sangat memalukan." Sunyi. Kali ini Alfian tidak bisa tertawa lagi. Kalimat itu langsung menusuk relung hatinya. Membuat Alfian terpana menatap sang ayah. Hingga kemudian Alfian mengangguk-angguk pelan. "Baiklah. Aku mengerti." Alfian beranjak berjalan ke dapur. Membuka kulkas, lalu mengambil sebotol air mineral dan meneguknya hingga habis. Alfian merasa kesal. Akhir-akhir ini sang papa selalu menghukumnya dengan metode yang sama. Mengurung Alfian di rumah hingga ia tidak bisa ke mana-mana. Penjagaan rumah itu sangat ketat dan Alfian memang tidak pernah berhasil menembusnya. Terkurung di rumah itu adalah hukuman paling mengerikan bagi Alfian. "SIAAAAAL ...!" Dengkusnya kesal. Tatapan Alfian beralih pada panci di atas kompor yang masih menyala. Ia memerhatikan keadaan sekitar. Sunyi. Tidak ada siapapun di sana. Ia mulai mendekat, lalu mengintip isi panci itu. Bubur. Panci itu berisi bubur yang mendidih. Alfian mengangguk pelan. Itu pasti adalah bubur buatan sang mama tiri untuk ayahnya. Alfian memerhatikan keadaan sekitarnya lagi. Setelah merasa aman, ia mengambil botol kaca berisi garam, lalu kemudian menumpahkan semua garam itu ke dalam panci dan mengaduknya. Ia tersenyum puas setelah melakukan aksi jahat itu. Alfian pun buru-buru pergi saat ia mendengar suara langkah kaki. Tak lama kemudian ia melihat sang mama tiri datang. Alfian mengintip dari balik tembok. Wanita itu kini mematikan kompor, lalu menuang bubur itu ke dalam mangkok. Guratan senyum di wajah wanita itu membuat Alfian berdecak pelan. "Lihat saja ... Aku akan membuat hidupnya seperti neraka di rumah ini!" . . . Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD