Seperti biasa, Hana berangkat bekerja ke restoran. Ia sudah siap dengan penampilannya, tak lupa ia membubuhkan sedikit make up supaya nanti penata rias yang dikhususkan untuk pengiring musik di restoran tempatnya bekerja, tidak perlu terlalu banyak menambahkan make up pada wajahnya. Tak lupa ia juga mengenakan baju kesayangannya, lebih tepatnya baju yang disukai Adnan kecil. Walaupun kemarin ketika pertemuan keluarga itu, Hana didiamkan oleh Adnan. Tapi bukan berarti dia menyerah akan cintanya pada pria itu.
Ia sudah sangat yakin sejak lama, bahwa Adnan lah yang pantas menjadi pemilik hatinya. Bukan orang lain. Walaupun Adnan mungkin lupa akan sosoknya di masa lalu. Dan juga melupakan janji Adnan yang sampai saat ini selalu Hana kenang sampai kapan pun. Sekaligus menjadi pengingat agar Hana tidak mudah jatuh cinta dengan pria lain.
Dan benar saja, hal itu berpengaruh di dalam hidup Hana. Hingga saat ini, ia tak pernah kedapatan memiliki seorang kekasih. Bahkan merasakan jatuh cinta terhadap pria lain selain Adnan, Hana tidak pernah. Mungkin hanya sebatas kagum, dan itu hanya berlangsung beberapa bulan. Setelah itu, Hana seolah lupa pernah mengagumi pria lain selain Adnan.
Bahkan Adnan selalu hadir di setiap mimpi - mimpi indah Hana, yang membuat dirinya semakin susah untuk melupakan sosok kekasih masa kecilnya itu.
Hana berjalan pelan sambil bersenandung menuju ruang ganti. Ia merasa siap untuk menampilkan kebolehannya bermain musik. Sekaligus ia ingin menumpahkan semua hal yang menjadi beban pikirannya akhir - akhir ini. Seperti contohnya tentang perjodohannya bersama Adnan, alasan mengapa Adnan tidak mengenalinya, serta sikap dingin Adnan yang seolah jijik terhadapnya. Hari ini, Hana ingin mencurahkan semuanya melalui permainan pianonya malam ini.
"Hana..." Seorang pelayan restoran yang amat dikenal Hana, memanggilnya. Ia terlihat tersenyum ketika melihat kedatangan Hana, lalu ia berjalan menghampirinya.
"Lia." Sahut Hana memanggil pelayan itu yang bernama Lia. Ia adalah teman baiknya di restoran ini dan dialah yang menjaga ketika diawal - awal Hana berkerja sebagai pengiring musik di restoran ini.
"Kamu ada waktu gak?" Entah mengapa, tiba - tiba saja Lia bertanya seperti ini. Tidak seperti biasanya, pasti ada sesuatu yang ingin dikatakan temannya itu kepada Hana.
Hana mengangkat sebelah alisnya ketika mendengar pertanyaan Lia tersebut. Kemudian ia mengangguk dan membiarkan Lia membawa dirinya memasuki ruang ganti. Sepertinya Lia tidak ingin obrolan mereka terdengar orang lain.
Mungkin bila ditanya siapa teman terdekat Hana atau sahabat Hana saat ini, ia akan dengan tegas menjawab bahwa Lia lah teman terdekatnya. Bahkan ketika Hana jatuh di dalam masalah, Lia lah yang akan dengan setia mendengarkan keluh kesahnya. Begitu pula sebaliknya, Lia sering bercerita tentang kehidupannya kepada Hana.
Sebenarnya, Hana dan Lia sudah kenal sejak Hana mulai menempuh jenjang perkuliahan. Disana hanya Lia lah yang menyapa nya dengan ramah. Mengingat Hana berasal dari kampung, membuat beberapa orang memandang rendah dirinya. Hanya Lia lah yang mau menjadi temannya selama ini.
Bahkan dengan sukarela Lia mencarikan Hana pekerjaan di restoran ini, yang juga sesuai dengan minat dan kemampuan Hana. Hana merasa sangat berterima kasih kepada Lia, atas semua bantuannya selama ini. Andai ia tidak bertemu Lia, mungkin saat ini Hana masih menganggur di rumah kontrakan dan hanya bisa menjadi beban orang tua.
"Mau cerita apa?" Ketika Lia dan Hana sudah duduk di salah satu kursi panjang yang ada di ruang ganti, Hana langsung bertanya mengenai inti pembicaraan yang ingin diceritakan Lia kepadanya.
"A-aku suka seseorang." Dengan sedikit malu - malu, Lia memulai obrolannya dengan mengucapkan tentang apa yang sedang dirasakannya saat ini.
Sedangkan Hana yang merasa hal itu biasa saja, hanya bisa menghela napas. Masalahnya Lia selalu mencurahkan keluh kesahnya tentang kisah percintaannya. Hari ini menyukai pria ini, kemudian beberapa hari kemudian Lia menyukai pria yang lain. Itu sudah menjadi hal biasa untuk di dengar Hana. Jadi menurutnya, kali ini Lia sedang merasakan rasa yang sama seperti yang terdahulu.
"Siapa?" Dengan berusaha meredam sikap ogah - ogahannya, Hana berusaha memasang senyum dan tatapan serius agar Lia tidak tersinggung jika ia mulai bosan dengan pembahasan ini.
Melihat Hana yang nampak tertarik dengan ceritanya, Lia mulai bersiap untuk bercerita lebih panjang lagi. Ia menarik napas berkali - kali, sebelum akhirnya mengatakan tentang siapa pria yang telah berhasil mencuri hati sahabat Hana itu.
"Dia salah satu pengunjung restoran ini." Lia mengutarakan identitas pria itu secara umum. Yah, walaupun Hana bisa menebak identitas itu. Tapi Hana tetap memasang senyumnya dan mencoba mendengarkan kelanjutan cerita Lia.
Begitulah target percintaan Lia, kalau bukan pengunjung restoran, pasti anak kampus mereka berdua. Pokoknya tidak jauh - jauh dari kedua tempat itu. Tapi akhirnya, semuanya berakhir bertepuk sebelah tangan. Lia hanya bisa menyukai dari jauh, tanpa ada keberanian untuk mengungkapkannya.
"Lalu?" Hana berusaha membuat nada suaranya terdengar sedikit antusias. Itulah cara Hana menghargai Lia yang tengah bercerita, walaupun ceritanya tetap sama saja seperti cerita yang dahulu.
"Dia tampan, tinggi, putih, dan kayaknya kaya deh. Dilihat dari penampilannya seperti seorang yang penting." Ucap Lia sambil menatap bagian atas lemari pakaian yang ada di depannya, ia berusaha menerawang lebih jauh tentang penampilan pria itu yang sangat memukau. Seolah pria itu diciptakan dengan pahatan yang sempurna bak dewa yunani.
"Terus?" Kali ini Hana sedikit bingung dengan kriteria yang dikatakan Lia. Biasanya sahabatnya itu menyukai pria yang dilihat dari mana pun manis, bukan pria tampan yang baru saja dibicarakannya. Kata Lia ketika ditanya mengapa lebih memilih pria manis daripada tampan, ia bilang kalau pria tampan itu jika terus dilihat akan cepat bosan, sedangkan pria manis tidak ada bosannya.
Itulah mengapa Hana sedikit heran akan ucapan Lia. Semua itu tergambar jelas di wajah Hana tengang keheranannya. Tapi sayangnya Lia tidak menangkap raut wajah Hana, ia malah masih asik melihat bagian atas lemari, seolah - olah pria idamannya sedang terbang di depannya dan tersenyum dengan manis kearah Lia.
"Dan kamu tahu, Han?" Mendadak Lia mengalihkan pandangannya kearah Hana dan memegang kedua bahu sahabatnya itu. Sontak hal itu membuat Hana sedikit tersentak, lalu mulai berusaha menormalkan ekspresinya.
"Apa?"
"Aku tahu nama dia!" Seru Lia dengan kegirangan. Sangat jarang baginya menyukai seorang lelaki yang berbeda dengan kriteria pria idamannya. Hanya dengan mengetahui namanya saja, sudah membuat Lia begitu kegirangan.
"Siapa?" Meskipun sedari tadi Hana bertanya secara singkat, tapi ekspresinya tidak menggambarkan sikap cuek ataupun dinginnya ketika mengatakan itu. Malah, dia mengembangkan senyumnya kearah Lia sambil tetap mendengarkan setiap cerita yang keluar dari mulut sahabatnya itu.
"Adhikara. Aku manggilnya Mas Adhi di dalam imajinasi ku." Dengan penuh percaya diri, Lia mengatakan nama pria itu dan mengatakan mempunyai nama panggilan tersendiri di dalam angan - angannya.
Mendengar nama pria yang disebutkan Lia, seketika Hana terdiam. Ia merasa tidak asing dengan nama itu, bahkan terdengar seperti baru akhir - akhir ini ia pernah dengar. Tapi kapan? Dan dimana?
"Han? Hei! Han? Halo?" Melihat Hana yang nampak melamun karena memikirkan nama yang baru saja diucapkannya, Lia melambaikan tangannya di depan wajah Hana berusaha menarik kembali kesadaran Hana agar kembali fokus padanya. Tapi percuma, Hana masih asik dengan pikirannya.
Ceklek...
Tiba - tiba pintu ruang ganti dibuka secara mendadak oleh manajer. Ia memberitahukan bahwa sebentar lagi waktunya Hana tampil. Dan saat itulah, Hana mulai tersadar akibat suara pintu yang dibuka keras. Ia mengangguk mengiyakan dan mengatakan sebentar lagi akan tiba di tempat piano berdiri.
"Kamu ngelamunin apa sih, Han? Atau jangan - jangan..." Lia mulai curiga dengan sahabatnya itu. Ia mengira bahwa Hana kemungkinan mengenal lelaki yang diucapkannya itu dan membuat Hana melamun beberapa menit yang lalu karena mendengar nama pria itu.
"Enggak kok. Aku hanya ngerasa gak asing sama nama itu." Hana berkata dengan jujur tentang apa yang dipikirkannya kepada Lia. Ia tak bisa menyembunyikan apapun pada sahabatnya itu, jika ia ketahuan berbohong maka Lia akan marah terhadap dirinya. Dan mungkin saja ia akan memilih untuk menjauhi Hana dan tidak ingin mengenalnya.
"Bener?" Lia memicingkan matanya, seolah ia tak percaya dengan apa yang dikatakan Hana. Namun, ketika ia melihat mata Hana yang begitu jernih seolah tidak menyimpan kebohongan apapun, membuat Lia memupuskan rasa curiganya.
"Iya." Ucap Hana dengan yakin. Tidak mungkin dia dengan mudah mengenal lelaki lain selain Adnan. Bahkan beberapa pria yang dulu Hana kagumi, hanya sekedar suka akan keahlian mereka. Bukan karena maksud lain, seperti ia kepada Adnan yang memang sedari dulu begitu Hana cintai.
"Yaudah. Kalau gitu kamu siap - siap gih, udah dipanggil suruh tampil tuh." Lia menepuk bahu Hana sebentar sambil mengatakan kalimat itu. Lalu ia beranjak dari duduknya meninggalkan Hana agar dia bisa berganti pakaian dengan gaun yang sudah disiapkan di dalam lemari.
Ketika keluar ruang ganti, ia berpapasan dengan penata rias yang selalu merias wajah Hana. Lia tersenyum kearah penata rias itu, sebelum akhirnya benar - benar menjauh dari ruang ganti.
Penata rias itu memasuki ruang ganti dan melihat Hana yang terlihat sibuk memilih beberapa gaun yang sudah disiapkan oleh pihak restoran untuk penampilannya. Akhirnya karena dikejar waktu, penata rias itu ikut memilihkan gaun yang cocok untuk malam ini. Ia juga menanyakan tentang genre yang akan dibawakan Hana malam ini. Karena itu semua akan mempengaruhi warna gaun yang akan dipakai, serta riasan yang cocok dengan lagu yang dibawakan.
Memanglah bekerja di restoran ini begitu perfeksionis. Pemilik restoran ingin semuanya terlihat serasi dan bagus, serta menggambarkan kemewahan yang menandakan bahwa restoran ini sering dijadikan tempat pertemuan bagi para pengusaha kaya raya. Tapi bukan berarti restoran tidak menerima masyarakat yang menengah kebawah. Mereka tetap menerimanya, memperlakukan mereka sama.
Namun, masalahnya terletak pada pengunjung itu sendiri. Apakah mereka kuat menikmati kemewahan dengan kesederhanaan mereka? Kebanyakan memang pengunjung seperti itu, merasa rendah diri dan sungkan untuk makan di restoran semewah ini. Sehingga tanpa sadar, pengunjung seperti itu terseleksi secara alami tanpa campur tangan restoran.
Yang terpenting, para pekerja di restoran ini tetap memperlakukan para pengunjung sama, tidak membeda - bedakan kasta ataupun siapa mereka. Itulah cara agar citra restoran tidak tercoreng atau jelek. Semua dilakukan hanya untuk kebaikan restoran ini.
To Be Continued...