Janji Manis di Persidangan

1031 Words
Beberapa hari kemudian, dengan masih belum sepenuhnya pulih, Olivia menghadiri persidangan sang ayah tiri yang telah berlaku kejam padanya. Masih tergambar jelas pengalaman pilu menyayat hati jika melihat ayah angkat yang ia kira benar-benar tulus menyayangi tapi malah memilki sifat kejam yang menjerumuskan di lubang penuh nelangsa. Posisi duduk sang puan kini diapit oleh Flora dan juga Leon agar supaya Olivia memiliki kekuatan untuk melihat Johan lagi, pria yang sudah ia anggap sebagai ayah tiri yang ramah, akan tetapi nyatanya berhati iblis. "Hey, kau masih mau melihatku menepati janji, bukan?" bisikan Leon tiba-tiba mengalun ke telinga Olivia saat sang puan sedang larut dalam sendu. Aroma napas mint dari bibir Leon sukses menenangkan hati yang sedang dilanda gamang. Saat Olivia menoleh, jantungnya otomatis berdegup kencang kala melihat pesona wajah tampan sang paman dari jarak yang sangat dekat. Rupa nan gagah dan berahang tegas itu memancarkan aura pesona pria matang yang berbeda dan sangat mengagumkan di mata Olivia. "Tapi ... paman bisa dihukum nanti. Aku tidak ingin merepotkan siapapun," balas Olivia yang juga berbisik. "Aku tidak peduli. Aku ingin membuktikan padamu bahwa tidak semua pria sama seperti dia, Liv. Aku juga tidak ingin trauma mempengaruhi mu di masa depan," tandas Leon menunjukkan tatapan kepedulian begitu dalam yang sukses membuat hati Olivia meleleh. Puan itu lantas terkesiap seiras Leon mulai melakukan aksi mengendap-endap dari jejeran kursi penonton baris kedua dan berpura-pura berjalan dengan tenang di sisi kiri dimana tersangka sedang duduk dekat pembatas kecil yang dijaga satu petugas keamanan sidang. Leon terlihat mulai melakukan percakapan pada si petugas keamanan sementara Olivia masih seksama memantau aksi nekat Leon dengan sesekali menggigit bibir bawahnya khawatir. Tak berapa lama saat si petugas lengah, Leon dengan cekatan melompati pagar pembatas seukuran pinggangnya. Dengan kecepatan kilat sang paman menyambar kemeja Johan yang merupakan adik iparnya sekaligus tersangka penjualan putri sambungnya. Leon pun mulai mendaratkan bogem mentah secara brutal ke arah wajah Johan dan berlanjut menyikut kuat perut gempal sang adik ipar. "DASAR BAJ**GAN! TERIMA INI!" pekik Leon seraya masih memukuli Johan dengan brutal. Suasana ruang sidang pecah diiringi riuh gemuruh seluruh mata di sana. Beruntung, para petugas keamanan yg kecolongan mulai mendatangi Leon dan sukses membekuk kedua lengan kekarnya. Meski begitu, Johan mendapatkan luka cukup berat dari beberapa pukulan yang Leon layangkan hingga wajahnya dipenuhi cairan merah segar. Di saat bersamaan, hati Olivia semakin berkecamuk seraya masih menatap Leon dengan mata yang gemetar. "Paman ... benar-benar melakukannya untukku? " Interaksi tak terduga terjadi pun terjadi di tengah kekacauan. Sebelum dibawa ke kantor pengadilan, Leon melayangkan tatapan dalam kepada Olivia seraya mengulas senyum manis yang disertai kedipan mata mempesona pertanda misi menepati janji telah sukses. Sungguh, aksi Leon semakin membuat jantung Olivia berdegup tak karuan bercampur rasa khawatir jika paman yang baru dikenalnya akan ditangkap. "Liv, ayo kita menyusul pamanmu yang ditangkap petugas." Suara Flora sukses menyadarkan lamunan Olivia. Keduanya lantas bergegas ke tempat Leon diamankan. *** Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Namun, tubuh se*y dan langsing Olivia masih saja mondar mandir khawatir sedari tadi. Hal ini dikarenakan belum ada tanda-tanda kabar sang paman dari kantor polisi. Meski begitu hatinya cukup lega sang ayah tiri mendapat bogem mentah dan vonis hukuman 5 tahun penjara. "Liv, kau bisa tidur duluan. Aku yang akan menunggu pamanmu." Flora berusaha menenangkan kegalauan sang putri sambung seraya meminta maaf sekali lagi atas perlakuan suaminya. Namun, tentu saja Olivia menolak dengan alasan ingin mengetahui kabar Leon. "Selamat malam semua." Tak berselang lama, pintu dibuka oleh sosok yang nyatanya ditunggu sedari tadi yakni Leon. Olivia lantas terperanjat dan menegakkan pandangan sejenak ke arah Leon. Begitu juga dengan Flora yang sempat terkejut. "Hey, maaf membuat kalian khawatir. Tapi bukankah sudah yang kubilang kalian tidak perlu. Khawatir karena aku—" GREB! Kalimat Leon terjeda saat tanpa diduga Olivia berhambur memeluk tubuh kekarnya. " Syukurlah kau dibebaskan. Aku sangat khawatir, Paman." Leon tersenyum simpul seraya mengelus rambut Olivia. Ia sangat senang bahwa Olivia yang awalnya menjaga jarak karena trauma kini perlahan menerima dirinya. Leon mengaku bahwa setelah bernegosiasi dengan bantuan hukum dari pengacara langganan perusahaannya, akhirnya pria berusia tiga puluh lima tahun itu dibebaskan. Beberapa saat kemudian. Usai drama panjang persidangan, Flora memutuskan untuk beristirahat sedangkan Olivia menghampiri Leon yang sedang men-scroll ponsel tengah malam. Gadis itu datang dengan mengenakan dress tidur berwarna putih tak berlengan sebatas di atas lutut. "Liv, kau belum tidur?" "Berikan tanganmu yang memukul Pak Johan tadi, Paman." Alih-alih menjawab pertanyaan Leon, Olivia malah meminta Leon mengulurkan tangan yang sang puan ingat betul mengalami memar imbas memukul. "Tapi—" "Cepat, Paman! " "Baiklah," pasrah Leon tak punya pilihan seraya mengulurkan tangan kanannya. Olivia lantas mengeluarkan salep pereda memar dan langsung mengoleskannya di pundak tangan Leon. "Kau tidak perlu melakukannya, Liv. Bagiku ini hanya luka kecil," ujar Leon memecah keheningan. "Bagiku ini besar dan berarti," balas Olivia yang sempat terhenti dan lalu kembali melakukan aksi mengoleskan salep. Tak lupa, di sentuhan akhir puan bernetra bulan itu meniupkan udara dengan lembut dari dari bibirnya ke pundak tangan yang diolesi salep. Leon sejenak membeku. Entah mengapa situasi seperti saat ini membuatnya canggung. Harus Leon akui kecantikan Olivia sangat natural dan berbeda saat ia menatapnya. Selain itu, bagian tubuh langsing nan mulus Olivia yang terekspos mampu mendatangkan gelayar hasrat pria manapun yang berada di dekatnya saat ini termasuk Leon. Saat larut dalam atmosfer intens, tanpa diprediksi Olivia melakukan gerakan yang cukup membuat Leon terkesiap. Secara perlahan sang puan membawa telapak tangan Leon ke area pipi, membelainya dengan lembut. Di saat bersamaan, hasrat dan ga*rah mendadak timbul karena Leon merupakan pria normal yang usianya mungkin rawan memasuki pubertas kedua. "Uhm, ini sudah malam Liv. Selamat tidur." Meskipun secara tak sadar menikmati, Leon terpaksa harus menarik mundur telapak tangan yang hampir dibawa Olivia menuju area bibir sang puan. Sosok Leon lantas bergegas pergi meninggalkan keponakan sambungnya yang masih mematung di tempat. Sepeninggalan Leon, Olivia menyesal dan merutuki aksinya kepada Leon barusan—mengakui bahwa ia telah berbuat ceroboh. Di sisi lain, Leon memasuki kamar dan segera mengunci pintu. Jantungnya lumayan berdegup kencang imbas aksi sang keponakan sambung. Pria yang masih bersandar pada pintu, sejenak memegang d**a untuk mengendalikan hasrat terlarang yang sempat terlintas. Ini gila! Bisa-bisanya kau berpikiran ceroboh. Ingat, Leon. Kau sudah beristri dan Olivia sudah seperti keponakan sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD