Tamparan Panas!

1076 Words
--- Vasko keluar dari kamar Selin dengan langkah cepat dan wajah yang tak bisa ditebak. Matanya menatap kosong ke depan, tapi ada badai yang berputar-putar diam dalam benaknya. Di lorong, Tedy yang baru saja datang menyeret dua tas besar di kedua tangannya tampak kebingungan. Nafasnya masih belum teratur, tubuhnya penuh peluh, tapi semangatnya tinggi karena ia tahu siapa yang menantikan semua barang ini. “Tuan, ini…” katanya, tapi kalimat itu terputus begitu saja, dibiarkan tergantung di udara seperti daun yang gagal jatuh ke tanah, karena Vasko berjalan melewatinya tanpa satu kata pun. Tak ada sapa, tak ada pandang mata. Hanya keheningan yang berat dan menggantung. Tedy berdiri terpaku. Dahinya berkerut. “Ada apa dengannya?” gumamnya pelan, bicara pada udara yang tak memberi jawaban. Padahal beberapa menit lalu, Vasko begitu antusias, nyaris seperti anak kecil yang tak sabar membuka hadiah Natalnya sendiri—membayangkan wajah Selin saat menerima semua kejutan kecil itu. Namun Tedy tak berlama-lama dalam kebingungan. Ia segera memanggil Gendis, pelayan perempuan yang sudah seperti bayangan setia di rumah itu, dan menyerahkan semua belanjaan kepada gadis itu. “Ini banyak banget, Mas Tedy,” ucap Gendis terengah, matanya membesar melihat jumlahnya. “Iya. Itu buat Nona Selin. Kamu kasih saja,” jawab Tedy singkat sebelum berlalu, mengejar Vasko yang kini entah sedang menyembunyikan kekacauan hatinya di sudut mana. Sementara itu, Gendis berjalan hati-hati ke kamar Selin. Tangannya sibuk menyeimbangkan belanjaan yang memenuhi pelukannya, tapi pikirannya bertanya-tanya, seperti sedang membawa harta karun dari negeri asing. Di balkon, Selin duduk diam, seperti patung porselen yang kehilangan warna. Rambutnya dibiarkan tergerai, dan pandangannya kosong menatap langit yang mulai berubah warna. Cahaya senja jatuh pelan di wajahnya, membuatnya tampak seperti lukisan yang menunggu judul. “Permisi, Nona,” sapa Gendis lembut. Selin menoleh perlahan. Ada kerutan halus di dahinya, seperti ombak kecil yang baru saja dibangunkan angin. “Kamu bawa apa?” tanyanya, suaranya ringan, namun ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan di ujung nada. “Ini… sepertinya hadiah dari Tuan untuk Anda, Nona,” jawab Gendis sambil menunjukkan paper bag besar dengan pita yang masih rapi. Selin berdiri dan berjalan mendekat. Matanya mengerjap, seolah tidak percaya bahwa hadiah sebanyak itu bisa menjadi miliknya. “Ini… banyak banget…” gumamnya, nyaris seperti anak kecil yang baru tahu rasanya dicintai. Gendis ikut tersenyum, kali ini dengan haru. “Ada pakaian hamil, vitamin, s**u, cemilan, skin care… dan juga, eh, pakaian dalam dari satin,” katanya sambil tersipu, matanya menelusuri isi tas seperti menemukan keindahan di setiap detail. Selin terdiam. Lama. Matanya masih menatap belanjaan itu, tapi pikirannya sudah melayang jauh—menuju tempat yang tak bisa dijangkau oleh siapapun. Ia hampir saja lupa. Hampir saja membiarkan dirinya tenggelam dalam angan manis yang dibungkus perhatian dan kenyamanan. Sejenak, ia merasa seperti nyonya besar di rumah itu, seperti wanita yang sedang diistimewakan karena dicintai. Namun detik berikutnya, kenyataan datang mengetuk pintu hatinya. Ia bukan siapa-siapa. Ia hanya perempuan yang dibeli, diselamatkan dari neraka untuk kemudian ditempatkan dalam sangkar emas. Betapa mudahnya hati manusia tertipu oleh kelembutan sesaat, padahal ia hanya menjadi wadah untuk sebuah kehidupan yang tak pernah ia minta. Senyum manisnya memudar. Digantikan senyuman miris yang lebih mirip luka yang disembunyikan di balik selimut. Tapi… ayolah, Selin… Jangan pikirkan apapun. Kau hidup dalam kenyamanan, dijaga, dimanjakan… Lupakan tentang status. Uang adalah segalanya. Kata-kata itu bergema dalam batinnya seperti mantra. Mungkin palsu, mungkin tidak menghibur, tapi cukup kuat untuk meredam gejolak sesaat. Ia menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan, lalu kembali duduk di kursi balkon—mengusap perutnya dengan lembut. Dan di balik segala kebingungan itu, diam-diam ia bertanya dalam hati: Apakah semua ini akan membuatnya bahagia… atau justru semakin tersesat? --- Tedy melangkah pelan ke dapur, di mana sang tuan rumah sedang berdiri sendiri, membelakangi dunia. Aroma kopi baru saja diseduh, menggantung hangat di udara seperti kenangan yang belum selesai. “Tuan, pesanannya sudah saya sampaikan,” ucap Tedy, sopan namun berhati-hati. Ia tahu benar, Vasko adalah lelaki yang bisa berubah suasana hati hanya karena embusan angin. “Hmmm…” hanya itu balasan yang keluar dari bibir Vasko. Ia menyesap kopinya perlahan, seolah butiran kafein itu mampu menenangkan badai dalam dadanya. Tedy mengernyit, mencoba mencairkan suasana yang terlalu tegang untuk pagi hari. “Bajunya terlihat bagus sekali. Aku yakin Nona Selin akan terlihat semakin cantik.” Seolah kata-kata itu adalah peluru yang tidak sengaja ditembakkan, Vasko langsung terbatuk. Kopi yang baru saja melintasi tenggorokannya nyaris berbalik arah. Ia menatap Tedy dengan sorot mata yang tajam, setajam belati yang berkilau di bawah cahaya bulan. Ada semacam kekacauan yang tercermin di sana — antara marah, malu, dan bingung akan dirinya sendiri. Tedy segera menunduk, tubuhnya kaku. “Maaf, Tuan. Saya hanya sedang memuji saja,” katanya tergagap, berharap kata-kata itu bisa menghapus jejak kegelisahan yang baru saja ia ciptakan. Vasko tidak menjawab. Ia hanya meletakkan cangkir kopinya ke atas meja bar dengan dentingan halus, namun cukup jelas untuk menandai bahwa percakapan telah selesai. Langkah kakinya kemudian membawa tubuh tinggi tegapnya meninggalkan dapur, menyusuri lorong rumah yang sunyi. Namun sebelum mencapai kamarnya, seseorang muncul di hadapannya seperti bayangan masa lalu yang tak diundang. Seorang pria tua dengan rambut perak dan sorot mata tajam seperti elang—kakeknya, sosok yang selama ini menjadi pondasi kekuasaan keluarga mereka. “Kakek?” tanya Vasko, suaranya rendah namun mengandung kejutan. Kakek tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap cucunya dalam diam, matanya menyelami wajah Vasko seakan mencari jejak kebenaran yang tersembunyi. Lalu, tanpa aba-aba, tangannya terangkat cepat—dan tamparan keras pun mendarat di pipi Vasko. Plak. Suara itu memecah keheningan seperti petir yang membelah langit biru. Vasko terhenyak, satu tangannya refleks menyentuh pipinya yang kini terasa panas dan berdenyut. Tedy yang berdiri beberapa langkah di belakangnya sontak meringis. Mulutnya terbuka, tapi tak satu kata pun bisa keluar. Ia menyaksikan pemandangan itu seperti orang yang menyaksikan reruntuhan megah, tak mampu menghentikan kehancurannya. “Ada apa, Kek?” tanya Vasko, berusaha tenang meski nadanya terguncang. Pipinya merah, tapi hatinya lebih terbakar—oleh rasa bingung, oleh amarah yang mencoba keluar tapi masih tertahan. Kakek menatapnya tajam. Napasnya berat, seperti menahan ledakan yang terlalu lama ditahan dalam d**a renta itu. “Jadi kamu yang menghamili Selin?” tanyanya, dengan suara rendah namun penuh getaran yang mengguncang. Bukan hanya tubuh Vasko yang terguncang, tapi juga seluruh dinding harga dirinya. Pertanyaan itu seperti sebuah pukulan kedua—lebih keras, lebih dalam, lebih menyakitkan daripada tamparan barusan. Dan kini, yang tertinggal hanyalah keheningan… Hening yang penuh ketegangan, seperti detik sebelum badai menggulung segalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD