Surat Warisan

1005 Words
"Enak ya, jadi simpanan Tuan Vasko!" Suara Karlota meluncur tajam, menghantam Selin seperti belati yang menusuk tanpa ampun. Selin, yang sedang duduk di dapur menikmati makan malamnya, hanya menghela napas pelan. Ia tahu cepat atau lambat, Karlota pasti akan mengeluarkan kata-kata seperti ini. Perempuan itu melangkah masuk dengan gerakan angkuh, tatapannya penuh ketidaksukaan yang seakan hendak membakar Selin hidup-hidup. "Kamu jangan terlalu bangga, Selin. Tuan itu hanya menganggapmu sebagai selingan saja," ujar Karlota dengan nada merendahkan. Selin meletakkan sendoknya dengan tenang, lalu mengangkat wajah. Ia menatap Karlota—perempuan yang usianya hampir seumuran dengan ibu pantinya dulu. Tapi tak ada kehangatan seorang ibu dalam sorot mata itu. Hanya kebencian dan rasa iri yang begitu menyengat. "Saya memang tidak sedang merasa diistimewakan," ujar Selin, suaranya stabil, matanya tak gentar. "Saya di sini bekerja untuk menjaga Kakek." Namun, jawaban tegas itu justru membuat Karlota tertawa kecil, tawa sinis yang terdengar lebih seperti ejekan daripada hiburan. ''Saya akui, kamu memang punya wajah cantik. Tapi kamu menyalahgunakan wajah itu untuk menjadi seorang l***e," desisnya tajam. Darah Selin berdesir. Tangannya mengepal di atas meja. "Apa maksud kamu?" tanyanya, suaranya lebih rendah, nyaris bergetar karena amarah. Karlota melipat tangan di d**a, matanya berkilat puas melihat perubahan ekspresi Selin. "Mengaku saja, Selin. Kamu sering melayani kebutuhan biologis Tuan Vasko, kan? Kamu tidak ada bedanya dengan perempuan murahan di luar sana yang menjual dirinya demi uang." Selin berdiri. Tatapannya membara. Mulutnya terbuka, siap melontarkan kata-kata pembelaan. Namun, semua yang ingin ia katakan mendadak menguap. Karena kata-kata Karlota… benar. Kenangan itu menyergapnya—sentuhan tangan Vasko, tatapan kelam laki-laki itu yang membakar kulitnya, bagaimana ia pasrah saat suaminya menjualnya kepada pria itu. Ia tak pernah ingin mengingatnya, tapi kenyataan itu melekat kuat dalam hidupnya. Karlota menyeringai, membaca keterdiaman Selin sebagai sebuah pengakuan. ''Benarkan?" katanya, suaranya penuh kemenangan. Selin tidak menjawab. Ia tidak ingin menjelaskan atau membenarkan. Ia hanya ingin pergi. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan dapur, meninggalkan Karlota, meninggalkan tuduhan yang terasa lebih menyakitkan karena sebagian di antaranya adalah kebenaran yang tidak bisa ia hindari. Tapi yang paling menyakitkan—ia tidak tahu sampai kapan ia bisa terus lari dari itu semua. Selin berlari ke toilet, tangannya mencengkeram wastafel sementara tubuhnya bergetar. Gelombang mual kembali menyerangnya, memaksa seluruh isi perutnya luruh ke dalam kloset. Nafasnya tersengal, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia menatap bayangannya di cermin. Wajahnya pucat, matanya terlihat lelah. "Apakah aku sakit?" gumamnya, suaranya bergetar. Pikirannya mencoba mencari jawaban. Seingatnya, ia tidak pernah memiliki riwayat maag, dan selama ini tubuhnya selalu sehat. Jadi kenapa akhir-akhir ini ia sering merasa mual dan lemas? Dengan tangan gemetar, ia meraup air dan membasuh wajahnya, berharap kesegaran bisa mengusir rasa aneh yang berkecamuk dalam tubuhnya. Ia menarik napas dalam, lalu melangkah keluar dari toilet. Saat itulah matanya menangkap sosok Vasko yang baru saja keluar dari ruang kerja bersama Tedy. Laki-laki itu mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku, menampilkan otot lengannya yang kuat. Garis wajahnya tegas, tatapan matanya tajam, dan gerakannya selalu penuh wibawa. Selin segera mengalihkan pandangannya, berusaha tidak memerhatikan lebih lama. Ia bergegas hendak pergi, tapi suara berat itu menghentikannya. "Selin." Langkahnya terhenti. Ia seharusnya segera menghampiri bosnya, tapi tiba-tiba dunia di sekelilingnya terasa bergoyang. Kepalanya berat, pandangannya sedikit kabur, dan sebelum ia menyadarinya, tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan. Namun sebelum ia jatuh, sepasang lengan kokoh sudah lebih dulu menangkapnya. "Kamu baik-baik saja?" Suara Vasko begitu dekat, nyaris berbisik di telinganya. d**a bidangnya hanya sejengkal dari wajahnya, dan kedua lengannya melingkari tubuhnya, menciptakan perlindungan yang tidak ia minta, tapi entah kenapa terasa begitu hangat. Selin buru-buru menegakkan tubuhnya, melepaskan diri dari genggaman Vasko. Ia menatapnya sekilas, lalu menundukkan kepala. "Terima kasih, Tuan," ucapnya singkat, sebelum dengan cepat melangkah pergi, seperti burung kecil yang ketakutan akan jebakan. Vasko menghela napas dalam, matanya masih mengikuti punggung Selin yang semakin menjauh. Di sebelahnya, Tedy menyeringai kecil. "Apa Anda mulai memperhatikannya?" tanyanya dengan nada menggoda. Vasko menoleh tajam. "Apa?! Siapa yang memperhatikan siapa?" suara rendahnya sedikit meninggi, refleks menutupi sesuatu yang bahkan dirinya sendiri belum tentu sadari. Tedy tertawa pelan. "Oh, tidak apa-apa, Tuan. Saya hanya melihat sesuatu yang menarik." Vasko mendengus pelan, menggelengkan kepalanya. Namun jauh di dalam hatinya, pertanyaan Tedy masih menggantung di pikirannya. Selin menutup pintu kamarnya dengan terburu-buru, seolah ingin menghalangi dunia luar masuk ke dalam ruang kecilnya. Tangannya masih menekan dadanya yang terasa sesak, jantungnya berdetak begitu cepat hingga nyaris menyakitkan. Ia menyandarkan tubuhnya ke pintu, matanya terpejam rapat, mencoba menenangkan diri dari badai yang baru saja menghantam hatinya. ''Tidak, Selin… kamu jangan pernah melewati batas," gumamnya lirih, berusaha mengingatkan dirinya sendiri. Namun, mengapa semakin ia mencoba menahan, semakin kuat perasaan aneh itu menghantamnya? *** Di tempat lain, Vasko melangkah masuk ke kamar kakeknya. Ruangan itu dipenuhi aroma kayu tua dan buku-buku yang tertata rapi di rak. Kakeknya duduk di meja, menulis sesuatu di atas selembar kertas dengan penuh keseriusan. "Apa yang sedang Kakek tulis?" tanya Vasko, menghampiri dengan rasa penasaran. Sang kakek mengangkat wajahnya dan tersenyum, senyum yang penuh ketenangan dan kebijaksanaan. ''Kakek sudah tenang sekarang," ucapnya pelan. Dahi Vasko berkerut. "Apa maksud Kakek?" tanyanya. Sang kakek meletakkan penanya, menatap Vasko dengan sorot mata yang mengandung sesuatu yang sulit diartikan. "Kakek sudah menemukan seseorang yang menjadi harapan hidup Kakek." Vasko semakin bingung. "Apa itu, Kek?" Tanpa menjawab langsung, sang kakek mendorong kertas yang baru saja ia tulis ke hadapan Vasko. "Bacalah ini." Vasko mengulurkan tangan, meraih kertas itu, lalu mulai membacanya. Kata-kata di atasnya terukir rapi, namun semakin ia membaca, semakin matanya membesar karena keterkejutan. Surat itu adalah dokumen resmi pernyataan warisan. Semua aset, seluruh kekayaan yang dimiliki kakeknya—telah ia hibahkan kepada SELIN. Jari-jari Vasko mencengkeram kertas itu lebih erat, matanya beralih ke arah sang kakek yang masih tersenyum penuh ketenangan. "Kenapa... Selin?" suaranya rendah, hampir seperti bisikan yang dipenuhi ketidakpercayaan. Sang kakek hanya tersenyum lebih dalam. ''Karena dia pantas, Vasko. Karena dia telah memberikan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar harta." Vasko terdiam. Namun, pikirannya penuh dengan pertanyaan—dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa keberadaan Selin di dalam hidupnya bukan lagi sesuatu yang bisa ia abaikan begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD