Berlari Tanpa Dirinya!

1001 Words
"Duduk di situ?" Nada suaranya, meski tenang, memiliki kekuatan yang tak bisa dibantah. Seperti angin dingin di tengah malam yang menyelinap ke dalam tulang, perintah itu menggema. Selin menelan ludah, lalu mematuhi tanpa sepatah kata pun. Dengan hati yang berdebar-debar, ia melangkah perlahan dan duduk di kursi yang Vasko tunjukkan, tepat di hadapannya. Namun, apa yang ia temui bukanlah rentetan pertanyaan atau teguran. Tidak ada suara. Tidak ada gerakan. Hanya sepasang mata tajam milik pria itu, menatapnya dengan keheningan yang lebih menyesakkan daripada ribuan kata. Wajah Vasko tenang, tetapi Selin bisa merasakan gelombang emosi yang tersembunyi di balik topeng dingin itu. Selin gugup. Jari-jarinya menggenggam erat tepi rok yang membalut pahanya. Ia berusaha menenangkan napasnya, tetapi tatapan itu seolah meresap jauh ke dalam jiwanya. Rasanya seperti Vasko sedang membaca setiap rahasia yang ia simpan rapi, membongkar satu per satu lapisan dirinya tanpa izin. "Apa saja yang kamu lakukan di luar mansion ketika aku pergi?" suara Vasko memecah keheningan. Suara itu rendah, tetapi membawa beban yang tidak main-main. Selin menegakkan punggungnya, meskipun gugupnya semakin menjadi-jadi. "Saya pergi ke panti asuhan," jawabnya dengan suara yang nyaris berbisik, takut salah kata. Vasko menyipitkan mata. Ia bersandar ke kursinya, tetapi sikap santainya tidak mengurangi ketegangan di ruangan itu. "Benarkah hanya itu?" tanyanya, dengan nada sinis yang menusuk. Pernyataan itu membuat Selin menegang. Ia tahu, Vasko tidak hanya sekadar bertanya. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya, sesuatu yang lebih besar dari sekadar laporan sederhana. Namun, Selin mengangkat wajahnya, mencoba tetap tenang. "Iya, Tuan," ujarnya, suaranya sedikit lebih tegas. Vasko terdiam. Dalam hatinya, nama Langit kembali terngiang. Kata-kata pria itu masih terpatri jelas—rasa familier yang ia rasakan terhadap Selin. Tapi Vasko terlalu keras kepala untuk langsung bertanya. Harga dirinya terlalu tinggi untuk terlihat penasaran, apalagi terhadap seorang Selin. "Baiklah," gumamnya akhirnya, setengah hati. Namun, pikirannya terus berputar. Mata dinginnya beralih dari wajah Selin ke arah jendela, tetapi perhatiannya tetap tertuju pada gadis itu. Ada teka-teki di sana, dan ia tahu suatu saat ia akan menemukan jawabannya—entah dengan cara apa. Tiba-tiba keheningan yang menyesakkan itu pecah oleh dering ponsel Vasko. Wajahnya yang dingin tidak berubah ketika ia menjawab panggilan itu, tetapi suaranya terdengar lebih berat, lebih dalam. "Halo," sapanya pendek. "Tuan! Kakek Anda sedang kritis." Kata-kata itu melesat seperti anak panah yang menembus ketenangan Vasko. Rahangnya mengeras. Tanpa banyak bicara, ia langsung menutup ponsel dan berdiri. Tangannya yang besar dan kuat meraih tangan Selin tanpa aba-aba, menariknya berdiri. Sentuhan itu cepat, tanpa kompromi, namun tidak menyakitkan. Selin, yang tidak tahu apa-apa, hanya bisa terdiam. Tubuhnya terpaku mengikuti langkah cepat Vasko. Jantungnya berdegup kencang, tetapi bukan hanya karena ketergesaan itu. Pegangan tangannya—hangat, kuat, dan tegas—membuat wajahnya memerah. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan rona itu, tetapi hatinya berdenyut aneh. Ia tidak mengerti apa yang baru saja didengar tuannya. Tetapi tatapan Vasko yang tajam dan penuh tekad membuatnya menelan segala pertanyaan yang ingin ia lontarkan. Bagaimana mungkin ia mengganggu sosok itu, yang kini terlihat seperti batu karang di tengah badai? "Ke rumah sakit!" perintah Vasko kepada Tedy dengan nada yang tidak bisa ditolak. Tedy, yang berdiri di dekat pintu mobil, menegakkan tubuh dan mengangguk. Sekilas matanya melirik Selin yang digandeng masuk ke kursi belakang bersama Vasko. Ada banyak yang ingin ia tanyakan, tetapi satu pandangan dari wajah Vasko sudah cukup untuk memupuskan niatnya. Di dalam mobil, keheningan kembali menyelimuti. Hanya suara mesin yang bergetar lembut menemani perjalanan itu. Vasko bersandar ke jok dengan rahang yang masih mengatup tegang, sementara jemarinya yang tadi menggenggam erat tangan Selin kini terkulai di sampingnya, tetapi hangatnya masih terasa di kulit Selin. Selin duduk diam, sesekali mencuri pandang ke arahnya. Aura pria itu, meski penuh ketegangan, memiliki daya tarik yang membuatnya tidak bisa berpaling. Wajah Vasko yang tegas, matanya yang menatap jauh ke depan—ia seperti ksatria di tengah medan perang, memikirkan langkah berikutnya. Tak seorang pun berbicara, tetapi emosi memenuhi ruang sempit itu, menggantung seperti kabut. Selin hanya bisa berharap, dalam diamnya, bahwa badai yang sedang dihadapi oleh Vasko ini tidak akan menghancurkannya. Selama di dalam mobil, Vasko tenggelam dalam pikirannya sendiri. Wajahnya yang biasanya dingin kini terlihat lebih gelap, seperti malam tanpa bintang. Ia duduk dengan punggung tegang, sesekali mengusap kepalanya sendiri dengan gerakan resah yang jarang terlihat darinya. Tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Keheningan itu begitu berat, seperti tirai tebal yang menutup semua celah untuk bicara. Dari kursi depan, Tedy melirik Vasko melalui kaca spion. Ia tahu ada sesuatu yang besar sedang terjadi, tetapi seperti biasanya, ia memilih diam. Suasana hati tuannya itu bukanlah sesuatu yang ingin ia ganggu, apalagi dengan pertanyaan yang mungkin akan dianggap bodoh. Sementara itu, Selin duduk di samping Vasko, merasa seperti bayangan yang tak terlihat. Ia tidak tahu apa yang sedang dirisaukan oleh pria itu, tetapi kekhawatirannya terlihat jelas. Ketegangan di wajahnya seperti cermin yang memantulkan kecemasan yang ia coba sembunyikan. Selin hanya bisa menggenggam ujung bajunya sendiri, berharap perjalanan ini segera berakhir. Akhirnya, mobil berhenti di depan rumah sakit. Sebelum siapa pun sempat berkata apa-apa, Vasko sudah membuka pintu dan keluar dengan langkah cepat. Selin hanya bisa menatap punggungnya yang semakin jauh, meninggalkannya tanpa sepatah kata. Ia tahu itu artinya ia tidak diharapkan untuk ikut. Lalu, untuk apa diajak pergi? Pertanyaan itu bergema di pikirannya. Ia menggigit bibir, mencoba menenangkan pikirannya sendiri. Mungkin kehadirannya hanyalah angin lalu bagi pria itu. "Kamu merasa kecewa?" tanya Tedy tiba-tiba, memecah keheningan yang tersisa. Selin tersentak. "Ah, tidak," jawabnya cepat, suaranya pelan, tetapi cukup untuk terdengar canggung. Tedy, yang masih duduk di kursi pengemudi, mengangkat sudut bibirnya. Senyum kecil itu lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Selin. "Tuan Vasko menemui kakeknya. Dan memang, tidak ada satu pun perempuan yang ia bawa ke sini sebelumnya," ucapnya dengan nada ringan, seolah ingin menenangkan. Selin terdiam, memikirkan kata-kata itu. Ia tidak tahu apakah itu seharusnya membuatnya merasa istimewa atau semakin bingung. Namun, apa pun alasannya, ia menyadari satu hal—Vasko adalah misteri yang terlalu dalam untuk ditebak. "Ketahuilah Selin, Tuan Vasko hanya peduli pada bisnis dan kakeknya!" Lanjut Tedy, membuat Selin terdiam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD