Falling in Love

2424 Words
Rayya’s POV Hari ini masa cuti Alde sudah habis. Aku bangun lebih pagi dari biasanya. Aku senang, dia bangun sebelum adzan berkumandang dan menunaikan sholat subuh di Masjid yang hanya berjarak sekitar empat rumah dari tempat tinggal kami. Jika rata-rata suami minta dibuatkan kopi di pagi hari, tidak dengan Alde. Dia tidak memintaku membuatkan sesuatu sih, tapi aku tahu kebiasaan paginya yang suka minum jus buah tanpa gula. Aku buatkan dia segelas jus apel tanpa gula. Dia tipikal orang yang lumayan bagus dalam menjaga pola makannya termasuk jenis makanan yang ia santap, tidak suka berlebihan mengkonsumsi makanan kemasan, tidak begitu suka gorengan, olive oil dan corn oil selalu tersedia di dapurnya. Katanya jika butuh minyak untuk menumis pakai minyak yang rendah lemak, dan pastinya dia menghindari makanan berlemak jenuh tinggi. Dia juga suka olahraga, maklum dia kan mantan atlet basket di kampusnya dulu. Dia masih sering memainkan basket di taman belakang, dan sesekali bermain bersama teman-temannya. Di rumah ada beberapa alat olahraga yang biasa aku lihat ada di tempat-tempat gym. Tak heran, dia memiliki tubuh yang bagus, tinggi, d**a bidang dan berat badan ideal. Satu hal yang terpikirkan, kenapa cowok gay itu daya pikatnya di atas rata-rata kebanyakan cowok straight? Kutata nasi, salmon panggang, brokoli, kentang, wortel yang dikukus dalam kotak bekalnya. Tak lupa kusisipkan ketas kecil di dalamnya. Alde suka sayuran yang dikukus. Sepertinya gaya makanku yang serampangan harus menyesuaikan dengan pola makannya yang sehat. Tak lupa kuambil botol khusus infused water yang designnya begitu unyu, tutupnya berbentuk kepala kucing berwarna ungu, warna kesukaanku. Aku membelinya kemarin. Kuisi botol itu dengan beberapa potongan strawberry dan dua lembar potongan lemon, baru setelah itu aku tuang dengan air putih. Menu sarapan sudah aku siapkan. Aku baru tahu kemarin kalau Alde sebenarnya lebih suka sarapan dengan smoothies atau oatmeal. Meski begitu saat kemarin-kemarin aku masak menu berat untuk sarapan, dia tetap memakannya. Aku menyiapkan oatmeal di mangkoknya, kutuang dengan yoghurt, aku tambahkan potongan pisang, granola dan potongan strawberry juga. Derap langkah Alde terdengar merdu. Dia mengenakan kemeja warna biru muda. Entahlah, sepertinya warna apa saja cocok untuknya, seakan semua baju yang ia kenakan memang didesign khusus untuknya. Alde duduk di kursi. Dia menatap semangkok oatmeal dan segelas jus apel tanpa gula yang aku hidangkan untuknya. “Kamu membuatkan aku oatmeal?” Liriknya padaku. Aku duduk di depannya, “ya karena tiap pagi kamu suka sarapan oatmeal kan?” Alde mengangguk, “iya, makasih ya, tapi apapun yang kamu masak, aku pasti memakannya.” Dia tersenyum dan mulai menyuapkan seendok oatmeal ke mulutnya. “Kamu nggak sarapan Ray?” “Aku belum lapar. Nanti aja.” Kuamati laki-laki yang sekarang menjadi suamiku ini. Entah apapun motif kami melakukan pernikahan ini, aku sudah terlanjur basah jatuh di dalamnya. Dia juga berusaha untuk menghargai ikatan ini, meski awalnya dia tak mau terikat secara emosional. Namun melihat caranya memperlakukanku, aku rasa dia pun sudah bermain perasaan di sini. Meski mungkin dia belum jatuh cinta padaku. Dia sosok yang tenang. Saat aku marah-marah kemarin pun dia masih bisa bersikap tenang menghadapiku. Satu-satunya hal yang membuatnya sedikit lepas kontrol adalah saat dia cemburu buta pada Derrel. Aku tidak tahu banyak tentang apa yang ada di pikiran laki-laki karena aku tak pernah menjalin cinta dengan pria, tapi aku belajar untuk memahami laki-laki ini. Tiba-tiba terbersit ide untuk mengunjungi mertuaku saat Alde pergi mengajar. Aku sebenarnya ingin main ke tempat ibu juga, tapi ibu tengah mengunjunjungi kakak perempuannya satu-satunya di Purwokerto, kota kelahiran ibuku. Mungkin dengan berbincang dengan ayah dan ibu, aku bisa tahu lebih banyak tentang Alde. “Ray, kalau nanti kamu bosen di rumah, kamu bisa main kemana aja yang kamu suka. Aku mungkin pulang agak sore. Hari ini dua mahasiswa bimbinganku mau sidang skripsi jadi aku mungkin terlambat pulang.” Alde menyeruput jusnya. “Iya Al, mungkin aku akan main ke tempat ibu dan ayah.” Dia mengulas senyum, “bagus itu Ray. Kamu bisa masak di sana. Ayah dan ibu pasti akan menyukai masakanmu.” “Mungkin nanti aku akan membuat puding. Rasanya nggak enak kalau berkunjung tanpa membawa apa-apa.” “kamu nggak perlu repot-repot Ray. Ayah dan ibu tipe orangtua yang santai, easy going dan asik diajak ngobrol.” Aku mengulum senyum, “ya aku tahu itu. Awal kamu mengajakku ke rumah setelah kamu melamarku, aku sebenarnya takut akan reaksi penolakan dari orangtuamu. Latar belakang keluarga, pendidikan dan pekerjaan kita berbeda jauh. Bahkan aku nggak pede dengan potongan rambutku yang saat itu terlalu pendek. Tapi ternyata mereka sangat ramah. Apa karena sebelumnya kamu nggak pernah ngenalin seorang cewek pun ke keluargamu ya? Jadi mereka excited banget.” Kutatap dia dengan pandangan menyelidik. Alde menyeringai, “ya kamu memang satu-satunya perempuan yang aku kenalin ke keluarga. Mantan-mantan aku kan cowok semua, tentu nggak akan aku kenalin ke mereka.” “Kamu nggak pernah ada keinginan untuk coming out ke keluargamu Al?” Air mukanya beralih serius sekarang, “mungkin sempat ada. Tapi sekarang aku nggak ada keinginan sedikitpun untuk coming out. Toh aku udah nikah kan? Kamu pasti bisa ngrasain beratnya untuk coming out pada orangtua, terlebih kita tinggal di Indonesia. Homophobic ada di mana-mana dan LGBT nggak akan bisa diterima.” Aku membenarkan kata-katanya, “kamu benar Al. Discreet selalu jadi pilihan untuk kita. Tapi aku bisa katakan bahwa aku sudah sepenuhnya meninggalkan label yang selama ini aku sematkan pada diriku sendiri. Aku bukan lesbian, aku bukan SSA, aku sedang belajar dan menikmati proses menjadi perempuan yang nggak menyalahi kodratnya. Afirmasi positif itu penting kan? Aku berlepas dari semua label negatif.” Dia menggigit bibir bawahnya lalu menatapku tajam, “kamu udah benar-benar melepas perasaanmu pada Andriana Ray?” “Sepertinya iya Al.” “Kalau kamu bilang “sepertinya” berarti kamu belum yakin,” Al meneguk jus apel yang aku buatkan untuknya. “Maksud aku, aku masih sayang dia, tapi sayang yang aku rasain bukan sayang kepada seorang kekasih. Bukan sayang ingin memiliki. Lebih sayang sebagai seorang teman. Hari ini aku lihat instagramnya. Dulu aku suka nyesek sendiri lihat foto-fotonya yang tersenyum bareng suaminya. Aku cemburu. Sekarang perasaan itu udah nggak ada lagi. Bahkan aku bisa senyum lihat dia bahagia dan lebih baik.” Kuulas sebuah senyum. Senyum yang benar-benar tulus mewakili apa yang aku rasakan, bahwa aku sudah benar-benar melepas semua perasaanku pada Andriana, aku sudah ikhlas merelakannya pergi dari kehidupanku. Alde membalas senyumku, lalu menunduk. “Aku belum bisa melepas perasaanku pada Derrel.” Ada setitik rasa yang tidak bisa dijelaskan ketika mendengar kata-katanya. Seperti rasa sakit, benci, kesal, tidak rela, atau mungkin aku sedang cemburu? “Aku tahu kamu masih sangat mencintainya. Aku bisa lihat dari caramu yang cemburu padanya waktu lihat dia jalan bareng Martin. Kamu juga masih sangat peduli ama dia.” “Ray...” Alde memandangku dengan raut muka yang seakan meminta maaf dan merasa bersalah. “Kamu nggak perlu merasa bersalah atau gimana. Aku tahu kok, kamu emang nggak ingin menghapus perasaan kamu ke dia kan? Karena itu kamu nikahin aku agar kamu tetap bisa berhubungan dengannya. Kamu nggak akan mengira kalau pada akhirnya aku.....” Kubiarkan dialogku menggantung dan aku memang tak ingin menyelesaikannya. Alde menaikkan alis matanya seakan memintaku untuk melanjutkan perkataanku. “Terus apa? Kenapa kamu nggak nerusin?” Aku jadi gugup begini. Mungkin saat ini wajahku sudah memerah seperti kepiting rebus. Aku sendiri bingung, apa aku sudah benar-benar jatuh cinta pada Alde atau belum. Tapi setelah kupikir-pikir, mungkin benar adanya, i think I’m falling in love with him. Hanya saja mengungkapkan perasaanku secara gamblang padanya saat ini, mungkin bisa jadi bukan hal bagus untuk diperbincangkan. Aku masih punya harga diri dan prestise. Meski aku pernah bilang aku akan belajar mencintainya, tapi bukan berarti aku harus agresif menunjukkan ketertarikanku. “Ray kenapa diam? Aku sepertinya bisa menebak kelanjutan kata-katamu.” Aku terbelalak. Apa dia bisa membaca apa yang ada di pikiranku? “Kamu bilang aku nggak akan nyangka kalau kamu pada akhirnya..... suka ama laki-laki, benar kan? Dan laki-laki itu....aku.” Tatapannya seakan menancap tepat di kedua bola mataku, seperti tatapan sang penyidik yang sedang menginterogasi. Payahnya aku kehabisan kata-kata untuk menyangkal. Aku mungkin kurang ahli dalam menutupi perasaan. Jelas saat dia pulang dari apartemen Derrel, aku bertingkah seperti orang yang kehilangan arah. Secara terang-terangan aku tunjukkan rasa tidak sukaku yang akhirnya dia bisa menangkap kecemburuanku. Pernah ada yang bilang bahwa gay itu lebih peka memahami perasaan perempuan, benarkah? “Tapi bisa aja perasaan aku berubah Al.” Akhirnya aku bisa menjawab serangannya. Alde mengernyitkan dahi, “maksud kamu? Balik lagi menyukai perempuan?” Aku tertawa kecil, “bukan itu, bisa aja aku menyukai laki-laki lain. Kalau kamu terus mencintai Derrel, aku bisa apa? Aku nggak mungkin kan menunggumu sampai tua? Kalau ada laki-laki lain yang mendekat dan mencintaiku, kenapa aku harus menolaknya?” Aku lihat air mukanya berubah. Dia memandangku datar. Bukan hanya kamu saja yang bisa membuatku cemburu, aku juga bisa melakukan hal yang sama. Aku yakin ada sedikit ketertarikanmu padaku, hanya saja kamu belum menyadarinya. Kuhentikan membuat monolog dalam hati tatkala mengamati Alde menyangga keningnya dengan tangannya. Apa perkataanku barusan membuatnya sakit kepala? “Laki-laki lain yang mana Ray? Emang kamu punya temen laki-laki yang deket ama kamu?” “Oh banyak donk Al. Cewek tomboy itu rata-rata punya lebih banyak teman laki-laki. Di tempat kerjaku juga ada chef muda yang gantengnya mirip Verrel Bramasta. Kabar baiknya, dia masih single. Atau temen main basketku, dia idola banget lah, banyak cewek suka ama dia. Emang sih umurnya dua tahun di bawahku, tapi ya nggak apa-apa, sekarang kan jamannya perempuan jalan ama cowok yang lebih muda..” Sebelum aku melanjutkannya, Alde buru-buru menyela, “kalau mau main basket bisa bareng aku Ray. Lagipula kamu udah jadi istriku, ngapain lirik-lirik laki-laki lain.” Entahlah aku merasa sedikit senang mendengar nada bicaranya. “Emang aku istrimu? Bukannya kamu bilang pernikahan ini hanya untuk status saja? Semacam kamuflase agar identitasmu sebagai gay nggak terbongkar. Jadi apa aku harus bersikap layaknya istri? Toh kamu masih bisa nemui Derrel. Nggak adil donk kalau aku nggak bisa ketemu temen-temenku.” Alde mengusap wajahnya dengan telapak tangannya lalu menghempaskan napasnya, seakan kata-kataku barusan menghimpit dadanya hingga sesak napas. “Ya memang awalnya aku nggak ingin ada hati yang bermain di pernikahan ini. Tapi secara otomatis aku mulai menjaga jarakku dengan Derrel Ray. Aku mungkin masih menemuinya, itu juga karena keadaannya sedang tak baik. Tapi aku bisa mengendalikan diriku untuk nggak ngapa-ngapain sama dia. Kamu bilang kamu mau menunggu kan? Menunggu sampai aku bisa benar-benar menghapus perasaanku ama Derrel?” Aku menangkap ada maksud lain dari ucapannya. Apa itu artinya dia tengah membuka diri untuk memandang pernikahan ini bukan sekedar pergantian status? Dia mulai membuka diri untuk serius menjadi suamiku? “Seperti yang aku bilang tadi, aku nggak mau menunggumu sampai tua. Jadi sebelum aku tua, kamu harus sudah bisa melupakan Derrel. Dan soal cowok-cowok temanku itu.... Tentu aja aku nggak akan lirik-lirik mereka. Sejak awal, aku udah menyadari posisiku sebagai istri orang. Aku hanya ingin tahu reaksimu aja. Aku rasa kamu mulai cemburu Al.” Aku bisa melihat rona merah sedikit terlukis di kedua pipinya. “Kalau memang kamu udah mulai suka ama aku, jangan dipendem Al. Jangan ditutupi. Bukankah ini pertanda baik? Ada berapa banyak gay yang berusaha mati-matian jadi straight tapi berakhir dengan kegagalan? Sekarang kesempatan untuk berubah datang.” Alde menatapku dengan bola mata yang terus mengawasiku. Sepertinya dia mengedip beberapa kali lebih cepat. Aku jadi gugup sendiri menangkap tatapan tajam darinya. “Being straight is one thing all gays wish to be true.. Dan aku masih memimpikannya. Jika kesempatan itu datang, tentu akan aku akan menggunakannya semaksimal yang aku mampu. Hanya saja nggak sesimple itu Ray. Aku bahkan masih bingung dengan perasaanku sendiri. Aku memang tertarik denganmu, tapi ketertarikanku belum sampai pada ketertarikan seksual, dan kamu tahu kan, itu sangat penting dalam pernikahan? Bahkan baru tiga hari kita menikah, ibuku sudah membahas soal kehamilan. Dia pingin kita cepet punya momongan.” Aku seperti tersedak. Aku bahkan tak memikirkan hal ini. Sudah sewajarnya orang yang menikah akan ditanya soal momongan pada akhirnya. Kenapa hal ini tak terpikirkan olehku. “Tapi aku suka sikapmu yang percaya diri Ray. Aku suka caramu menerawang bahwa aku sudah mulai suka ama kamu. Kamu memang unik. Mungkin itu yang bikin aku gemas ama kamu Ray.” Dia tersenyum. Kali ini ada senyum yang sedikit menggoda. “Gemas? Memangnya aku bayi?” Dis tertawa, “udah siang Ray, aku berangkat dulu ya.” Alde beranjak dari tempatnya. Buru-buru kuambil kotak bekal dan infused water yang sudah aku siapkan. Alde mematung sepersekian detik memandangi kotak bekal dan botol di hadapannya. “Sebenarnya kamu nggak perlu repot-repot Ray. Biasanya aku makan di kantin atau kalau lagi sidang gini, biasanya mahasiswa bawa snack atau makanan untuk para dosen pembimbing.” “Kamu nggak suka ya? Tapi makanan rumah sudah pasti lebih sehat kan?” Alde menyila rambut belakangnya, “aku suka kok, siapa sih yang nggak suka disiapin bekal oleh istri. Hanya saja botol kucingnya sedikit menggangguku.” Aku menengok botol ungu yang unyu-unyu itu. “Tapi botolnya unyu-unyu kan Al? Ayolah dibawa. Jangan kecewakan aku.” Kunaikkan alis mataku beberapa kali sambil tersenyum. “Ini lebih mirip botol anak TK Ray... tapi udahlah aku bawa saja.” Aku tersenyum penuh kemenangan dan kumasukkan botol serta kotak bekal itu ke dalam tas kantong. Aku mengantar Alde sampai ke mobilnya. Alde membuka pintu mobil lalu meletakkan kantung bekalnya di dashboard. Dia keluar lagi dan berdiri di depanku. “Aku berangkat dulu ya. Baik-baik ya di rumah...” Ucapnya dengan seulas senyum lembutnya dan dia masih berdiri. “Apa lagi Al?” “Eh.. apa... itu...” Dia tampak kikuk. “Ada yang ketinggalan?” Tanyaku. “Eh, dulu waktu ayahku masih dinas, sebelum berangkat, ibu akan mencium tangan ayah, lalu ayah mencium pipi dan kening ibu.” “Kamu ingin kita mempraktekannya juga?” Alde tampak tersipu, “ya, sepertinya itu ide yang bagus.” Kuraih tangan kanan Alde, lalu aku cium. Kemudian Alde mendekatkan wajahnya padaku. melihat wajahnya sedekat ini selalu berhasil membuatku berdebar tak menentu. Alde mendaratkan kecupan di keningku. Begitu dalam hingga aku terpejam. Rasanya begitu hangat dan suasana hatiku terasa begitu damai, tenang seakan ada semilir angin yang menelusup menyejukkan kalbu. Alde juga mengecup pipi kiriku. Kami saling bertatapan dan tersenyum. Alde berbalik menuju mobilnya. Dia melambaikan tangannya padaku, “Assalamu’alaikum” “Wa’alaikumussalam,” jawabku masih dengan senyum yang terus mengulum. Mobil Alde melaju meninggalkan halaman. Aku masih tersenyum. Aku tak menyangka aku bisa sedemikian terpana dengan hal-hal romantis seperti ini. Hari ini, aku begitu bahagia..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD