I Will Never Let You Go

2103 Words
Aldefan’s POV Kegiatanku di kampus cukup padat. Selain ada sidang skripsi dari mahasiswa bimbinganku, aku juga harus mengajar di dua kelas. Sebenarnya menjadi dosen di fakultas ekonomi bukanlah cita-citaku. Kalau boleh memilih aku lebih suka full berbisnis. Tapi orangtuaku ingin aku memiliki perkerjaan yang pasti, yang bisa menjamin masa tuaku nanti. Tadi aku sholat dhuhur di Masjid kampus. Jamaahnya lumayan banyak. Aku senang masih banyak mahasiswa yang memiliki kesadaran untuk sholat di Masjid. Rayya sempat mengirim pesan w******p, mengingatkanku untuk sholat dan makan. Aku bahkan masih mengingat isi pesannya. Al, jangan lupa sholat ya. Nanti bekalnya dimakan. Aku balas, Iya aku nggak akan lupa. Makasih ya. Kiss-nya mana? Sesaat kemudian aku menerima balasannya. Kiss-nya nanti aja kalau udah pulang. Aku lagi di rumah ayah ibu. Aku tersenyum membaca balasannya. Aku yakin saat di rumah nanti dia mungkin akan merasa gengsi untuk membahas kiss yang kami bicarakan di WA. Aku bisa merasakan dia selalu gugup ketika kudekatkan wajahku padanya. Dia tampak seperti gadis yang baru pertama kali jatuh cinta. Kiss-nya di sini aja Ray. Ayo donk biar aku semangat. Rayya membalas lagi dengan emoticon kiss puluhan jumlahnya. Aku senyum-senyum dan untuk sesaat aku lupa umurku sudah 28. Rasanya lucu membaca pesan WA kami yang tak mau kalah dengan sepasang remaja yang sedang kasmaran. Beda sekali saat aku masih bersama Derrel. Mungkin karena aku dan Derrel sama-sama laki-laki, jarang kami berkomunikasi via WA dengan kata-kata romantis seperti ini. Aku mampir ke kantin untuk memakan bekal makan siangku. Kuletakkan kotak bekal dan botol unyu itu di atas meja. Kulihat beberapa pasang mata melirik botol berkepala kucing ini. Ada yang tersenyum, ada yang berbisik-bisik. Ya, botol ini memang tampak mencolok. Tak ada yang salah jika botol ini ada dihadapan anak umur lima tahun. Tapi tentu pemandangan ini begitu kontradiktif ketika laki-laki dewasa tampak mematung, menjadi tontonan para mahasiswanya karena botol sensaional yang lebih pantas dibawa anak-anak. “Botolnya lucu Pak, beli di mana?” Ledek seorang mahasiswa laki-laki berkacamata. Temannya-temannya yang duduk bersamanya ikut tertawa. “Ini istri saya yang beli. Unyu ya? Katanya sama unyunya kayak saya.” Jawabku dengan senyum simpul. Mahasiswa-mahasiswa yang ada di kantin ini pun tertawa. “Romantis banget ya Pak istrinya. Sampai bawain bekal segala. Bapak beruntung dapet istri yang perhatian.” Ujar pemuda bernama Richard. Aku hafal namanya karena dia sering mengulang mata kuliah yang aku ajarkan. “Iya alhamdulillah.” Tukasku. Mungkin karena usiaku masih tergolong muda, banyak mahasiswa yang tak canggung ngobrol apa saja denganku. Bahkan kalau kami bertemu di luar, kami seperti teman saja. Mahasiswa-mahasiswa yang menjadi bimbinganku juga kerap sharing atau curhat tentang apa saja. Aku buka kotak bekal berwarna ungu tua itu. Sepertinya Rayya suka sekali dengan warna ungu. Ada nasi, salmon panggang, wortel, kentang dan brokoli kukus. Mataku tertumbuk pada sebuah benda kecil yang nyempil di pojok box. Kuambil benda itu, ternyata gulungan kertas kecil. Saat aku buka, ada goresan pena di dalamnya. Selamat makan, jangan lupa berdoa. Dimakan sampai habis ya Untuk sesaat aku tak mampu berkata-kata selain melengkungkan sudut bibirku ke atas. Mungkin saat ini para mahasiswa yang sedang makan di kantin ini geleng-geleng kepala melihat dosennya tersenyum sendiri. Rayya itu seperti kejutan tak berkesudahan. Ada saja hal baru yang ia lakukan yang membuatku merasa lebih mengenalnya. Karakternya tidak setomboy penampilannya. Dia ternyata tipikal yang romantis dan perhatian. Rasanya tak bisa aku deskripsikan dengan jelas, ada seorang perempuan yang sangat memperhatikanku dan selalu menyiapkan segala sesuatunya setiap pagi. Aku sempat takut tidak bisa memahaminya karena sebelumnya aku tak pernah berpacaran dengan perempuan, tidak juga jatuh cinta padanya. Saat ini aku berada di posisi sebagai laki-laki straight yang memiliki istri dan dicintai istrinya. Sebelumnya aku selalu penasaran, apa yang dirasakan laki-laki straight ketika dia bersama seorang perempuan. Bagaimana rasanya jatuh cinta pada perempuan? Apa sama dengan yang kami rasakan saat kami jatuh cinta pada seorang pria? It’s completely different. Ketika aku bersama Derrel, aku selalu dihantui rasa bersalah, cemas dan takut jika suatu saat keluarga atau rekanku tahu tentang hubungan kami. Aku tak bisa bercerita apa saja tentang kisah kami pada orang lain, kami memilih menutupinya. Sedang saat bersama Rayya aku merasa lebih aman, bahkan ketika ditatap mahasiswa-mahasiswaku dengan senyum menyelidik karena tadi aku senyum-senyum sendiri, aku merasa biasa saja. Coba seandainya aku senyum-senyum karena ingat Derrel, ketika orang lain memergokiku, aku bisa takut setengah mati. Cemas kalau-kalau mereka tahu aku tengah memikirkan seorang pria, seperti pencuri yang tertangkap basah. Mengenai ketertarikanku pada Rayya, ya aku akui, aku mulai tertarik. Bahkan mungkin di malam pertama kami yang diakhiri kecupanku di bibirnya, aku sudah tertarik. Meski harus aku definisikan ketertarikanku padanya berbeda dengan ketertarikanku pada Derrel. Membayangkan Derrel, fantasiku bisa berkelana kemana saja, membayangkan setiap jengkal tubuhnya dan mengakhirinya dengan percintaan yang panas. Sama seperti apa yang ada di pikiran laki-laki straight ketika berfantasi tentang perempuan. Itu yang membedakanku dengan mereka. Saat membayangkan Rayya, aku seperti melihat bidadari dengan hati yang begitu lembut dan aku ingin menjaganya agar tak terluka. Ketertarikanku bukan terfokus pada fisiknya. Aku lebih menyukai kenyamanan dan ketenangan saat bersamanya. Dan sepertinya sedikit demi sedikit aku mulai bisa membuat diri sendiri untuk tertarik juga secara fisik. Sempat terpikirkan untuk mengulang kembali moment di mana aku mengecup bibirnya. Kata Jason, salah satu teman sesama gay, bahwa apakah gay bisa mencintai wanita, jawabannya masih sangat bisa tergantung jenis role seks gay itu. Aku belum tahu apakah aku sudah ada di tahap mencintai Rayya atau belum, tapi peranku sebagai gay top, tentunya peluangku untuk mencintai wanita jauh lebih tinggi dibanding gay bot. Sebagai gay top, orientasi seksualku memang tidak terlalu berpengaruh pada perasaan dan karakterku, aku tetap laki-laki yang berpenampilan manly, macho, layaknya laki-laki straight. Aku hanya memiliki ketertarikan seksual yang lebih tinggi pada laki-laki. Dan karena sekian tahun aku selalu menutup diri untuk bergaul dengan perempuan, seakan ketertarikanku pada perempuan benar-benar pudar. Saat Rayya hadir dalam kehidupanku, pertama kalinya aku merasa begitu tertarik untuk tahu apapun tentangnya, tentang perempuan. Mungkin ini kesempatan untukku agar lebih memupuk ketertarikanku pada perempuan dan membunuh perlahan ketertarikanku pada laki-laki. Sibuk berkutat dengan pikiranku sendiri, aku sampai melupakan bekal makan siangku. Kumakan suap demi suap. Masakan Rayya selalu enak. Aku yakin dia bisa melaksanakan perkerjaannya dengan baik saat dia kembali masuk bekerja dan memulai pekerjaan barunya untuk terjun langsung di dapur restaurant tempatnya bekerja. Sempat terpikir untuk mendorongnya kuliah culinary art atau membuka bisnis kuliner. Aku rasa tabunganku cukup untuk itu. Aktivitasku terhenti kala kudapati sosok berkaos polo warna hitam mematung di hadapanku. Rambut spikenya tertata rapi, wangi parfumnya sudah sangat aku kenal, dan senyum di bibir tipisnya tak henti ia kerlingkan. “Hai Al, bisa kita bicara?” Aku cukup kaget dengan kedatangannya. Aku tak suka jika dia harus mencariku ke kampus. Berbicara dengannya di kantin tentu bukan hal yang baik untuk dipilih. Terlalu banyak orang di sini. Aku putuskan untuk berbicara dengannya di taman kampus. Kami duduk saling berhadapan. Aku tahu sedari tadi dia mencoba menelisik memandangiku, seolah mencari tahu setiap jawaban akan pertanyaan-pertanyaan konyol yang baru saja ia lontarkan. “Gimana rasanya menikah Al?” “Gimana malam pertama kalian?” “Gimana rasanya mencium perempuan?” “Gimana rasanya bergenggaman tangan dengan perempuan?” “Lebih puas mana berhubungan denganku atau dengannya?” Dan di pertanyaan terakhirnya aku tak bisa mengontrol emosiku. Aku hampir saja melayangkan pukulanku di wajahnya, tapi aku masih ingat sedang berada di mana kami sekarang. “Kamu udah berubah banyak banget Al. Mungkin beberapa bulan lagi kamu bakal nganggep aku orang asing. Kamu mengkhianati janjimu. Kamu bilang kamu akan tetap menemuiku meski kamu nikah, tapi apa nyatanya?” Air muka Derrel tidak secerah biasanya. Aku menduga, semalam dia minum terlalu banyak. Derrel benar-benar bekerja mengurus bisnisnya sendiri di agen travel dan dia juga punya beberapa gerai barang elektronik, karena itu dia punya waktu yang fleksibel untuk datang sesuka hati menemuiku. Dulu aku sangat merindukannya, bertemu dengannya buncahkan rasa bahagia tidak terperi. Tapi sekarang, keadaan sudah berbeda. Mungkin aku salah karena telah memberinya harapan yang aku sendiri tak sanggup untuk memenuhi. Aku hanya mampu tergugu seperti pohon mahoni yang saat ini menaungi kami, hanya bisa mematung tanpa suara. Rerumputan hijau dan semerbak wangi bunga yang mendominasi taman juga tak lagi menyejukkan. Aku ingin lari dari situasi ini tapi Derrel terus menyudutkanku. “Obrolan kita kemarin kurasa masih menggantung Al. Apa itu seperti perpisahan? Kamu nggak akan menemui aku lagi?” Derrel sedikit manaikkan intonasi suaranya. “Bisakah kamu pelankan suaramu Rel? Ini kampusku. Aku udah bilang berapa kali ke kamu, jangan temui aku di sini.” “Sudahlah Al, jangan membahas yang lain. Aku cuma pingin kamu jujur, apa waktu kamu bilang bahwa kamu nggak bisa menjalani hubungan kita seperti dulu, itu artinya kamu mutusin aku?” Jleb.. Pikiran ini sebenarnya sudah sangat membuatku bingung dari sejak awal menikah dengan Rayya. Waktu itu aku memang belum siap berpisah dengan Derrel. Tapi sejak aku lebih rajin dan disiplin menjalankan ibadah, lambat laun perasaan ingin mempertahankan hubunganku dengan Derrel pun melemah. Aku seperti menemukan semangat baru untuk menjalani kehidupan baru. Aku ingin memulai semua dari awal, sebagai laki-laki straight, sebagai seorang suami yang mencintai istrinya secara penuh tanpa ada bayangan sosok lain dalam hatinya. Jika dibilang masihkah ada cinta untuk laki-laki di hadapanku ini, ya rasa itu masih ada dan mungkin masih besar. Menatapnya dengan tatapan memohon, melihat wajah tampannya dan bibir ranumnya yang selalu menggoda, berkecamuk kerinduan yang sangat menyiksa untuk bisa kembali mengulang kebersamaan kami dulu. Tapi aku berusaha sekuat tenaga untuk mengenyahkan pikiran-pikiran itu. Aku ingin berubah. Aku ingin belajar mencintai Rayya. Aku harus melepasnya pergi. “Rel, kamu tahu kan? Kisah cinta sesama jenis yang berakhir indah itu hanya ada di novel dan film? Ya mungkin di kehidupan real ada, terutama di negara yang sudah melegalkan pernikahan sejenis atau mengakui keberadaan kaum ini...” “Tunggu Al,” Derrel memotong pembicaraanku. “Kamu bilang kaum ini? Apa itu artinya kamu sudah bukan bagian dari kaum ini lagi? Oh, hebat sekali Rayya, dia bisa mengubahmu secepat ini.” Ada nada menyeringai tergambar di senyum sinisnya setiap kali ia menyebut Rayya. “Aku sedang belajar menjadi straight Rel. Aku memutuskan untuk benar-benar kembali ke fitrahku sebagai laki-laki yang sudah seharusnya tertarik pada perempuan.” Derrel beranjak dari tempatnya. Kini ia berdiri dan berjalan selangkah dua langkah ke kanan. Berbalik lagi ke kiri. Tangannya berkali-kali menutup mulutnya. Dia terlihat sangat shock. Derrel berhenti mondar-mandir. Sekarang dia menatapku dengan mimik yang tak bisa k****a. “Sama sekali nggak pernah terbayangkan di pikiranku bahwa aku bakal bersaing dengan perempuan untuk mendapatkanmu Al. Dulu aku pikir tak apa jika salah satu dari kita menikah dengan perempuan. Karena aku pikir tidak ada satupun perempuan yang bisa bikin kita tertarik, nggak akan ada yang berhasil membuat kita jatuh cinta. Tapi terrnyata dugaanku meleset. Pesona Rayya memang luar biasa. Dan aku nggak akan nyerah Al. Aku nggak akan nyerah.” Aku belum pernah melihat Derrel seserius ini. Aku berdiri dan berhadapan dengannya. “Kamu harus nyerah Rel. Aku nggak mungkin balik lagi ama kamu. Aku memilih istriku.” Ada perasaan shock, terpukul, tak terima, kecewa dan amarah yang bisa aku baca dari sorot mata tajamnya. “I will never let you go Al... aku nggak akan pernah melepasmu. Kupastikan kamu akan kembali padaku dan meninggalkan Rayya. Aku nggak terima dengan semua ini. Aku nggak terima kehadiranku yang sekian tahun digantikan olehnya yang belum lama kamu kenal. Mungkin mudah bagimu menyakitiku seperti ini, seolah aku nggak pernah ada dalam perjalanan hidupmu, seolah kamu nggak pernah mencintaiku... Tapi ini sulit buat aku Al. Sangat sulit..” Kulihat ada bulir air mata yang menggenang di sudut matanya. Derrel tipe orang yang sangat melankolis. Dia segera memalingkan wajahnya dan berlalu dari hadapanku. Aku hampir saja rapuh dan ingin sekali menahannya lalu memeluknya, namun kukuatkan hatiku. Aku harus membiarkannya pergi. Bohong jika aku tidak lagi mencintainya. Bohong jika aku tidak terluka. Dia hanya tak tahu, mungkin aku jauh lebih sakit darinya. Jika saja dia memiliki orang terdekat selainku, aku bisa sedikit bernapas lega. Tapi dia tidak punya siapa-siapa. Ayah ibunya sudah meninggal. Satu-satunya kakaknya tinggal di Amerika. Dia pasti sangat terluka. Bagian terberat melepas orang yang kita cintai adalah bukan tentang ketakutan untuk tidak bisa bangkit dan melangkah kembali, untuk tidak bisa membebaskan diri dari belenggu masa lalu, bagian yang terberat itu justru ketakutan untuk melihatnya rapuh. Ketakutan bahwa dia tak akan bisa lagi mengepakkan sayap dan terbang meninggalkan segala getirnya masa lalu.. Ketakutan bahwa tak ada seseorang yang sanggup menyembuhkan lukanya karena dia masih berharap kita yang akan menyembuhkannya. Ketakutan bahwa dia tak akan lagi tersenyum dan bahagia seperti saat masih bersama kita. Kutatap nanar menerawang ke ujung langit. Ya Allah kenapa mencintai seseorang bisa menyiksaku sehebat ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD