The Real Stories Behind the Past

3235 Words
Author’s POV Giandra dan Vania saling menatap dengan gejolak perasaan yang bergemuruh. Luka yang sudah sedikit terobati itu seakan bernanah kembali. Ia tak menyangka bertemu dengan serpihan masa lalunya di sini. Apa yang Vania kerjakan di sini? Pikir Giandra dalam hati. Ia heran melihat Vania berseragam waitress. Setahu dia Vania menikah dengan seorang pengusaha dan hidup mapan. Kenapa ia masih juga bekerja dan menjadi seorang waitress? Dengan background pendidikan yang ia miliki, ia bisa mendapat pekerjaan lain yang lebih layak. Meski Giandra dulu pernah begitu sakit hati dan rasa sakit itu masih terasa hingga kini, namun dia tak sampai hati jika harus berpura-pura tak mengenal, apalagi dulu kisah mereka sempat terukir bertahun-tahun. Giandra memaksakan bibirnya tersenyum. “Vania, apa kabar?” Vania tersenyum. Giandra bisa melihat, senyum itu pun seperti setengah dipaksakan. “Alhamdulillah baik, kamu apa kabar Gi?” “Alhamdulillah baik juga.” Giandra melirik Steve yang tampak melongo. “Kalian saling kenal?” Tanya Steve menatap Giandra dan Vania bergantian. Gantian Giandra yang bengong, “lho kalian juga saling kenal?” “Sebenarnya kami bukan saling mengenal, tapi temenmu mungkin udah paham siapa aku karena dia sering mampir ke coffee shop ini. Dikit banyak dia mungkin sudah hafal wajah-wajah para waiter dan waitressnya.” Vania mengulas senyum. Kali ini bukan senyum terpaksa. “Kalau untuk waiternya sih aku nggak begitu hafal, tapi kalau waitressnya hafal banget, apalagi yang cantik-cantik.” Steve melirik Vania membuat Vania merasa tak nyaman. “Dia udah menikah Steve.” Giandra segera menyela perkataannya sahabatnya dan ia mendadak malu akan tingkah Steve yang masih juga jelalatan memerhatikan perempuan. “Ups maaf.” Seorang Steve pun bisa malu juga. “Maaf Van, temenku ini memang suka keceplosan. Namanya Steven, tapi aku biasa memanggilnya Steve. Silakan kasih tahu temen-temenmu yang lain untuk berhati-hati menghadapi playboy cap kakap satu ini.” Vania tertawa kecil sementara Steve mencibir ke arah Giandra. “Jangan buka kartu di sini Gi.” Tegas Steve. “Oya kalian pesan apa?” “Aku biasa, kamu pasti udah tahu.” Steve mengedipkan sebelah matanya. Giandra menggeleng pelan melihat tingkah Steve yang kadang jelalatan pada siapa saja, tak peduli status single atau sudah menikah. “Aku pesan espresso.” Jawab Giandra. Vania mencatat pesanan dua sahabat itu lalu berbalik menuju dapur. Dering smartphone Steve memecah kesunyian. Steve mengangkat telpon. “Halo..iya ma... apa?? Gimana keadaanya? Okey Steven segera datang.” Steve terlihat panik. “Ada apa Steve?” Giandra ikut panik. “Kakakku kecelakaan. Aku ke rumah sakit dulu ya. Kopi yang aku pesan kasih aja pada Vania.” Steve berdiri dari tempatnya. “Apa aku ikut ke rumah sakit?” Giandra juga beranjak dari kursi. “Nggak usah. Kakakku selamat, hanya luka di kaki. Ini aku ke rumah sakit buat jemput dia.” “Salam untuk kakakmu Steve, semoga cepat sembuh.” Steve mengangguk dan tergopoh-gopoh keluar dari coffee shop. Tak lama kemudian Vania mengantarkan nampan berisi dua cangkir. Satu cup espresso untuk Giandra dan satu cup americano pesanan Steve. “Lho temenmu kemana Gi?” Vania melirik kursi kosong di hadapan Giandra. “Dia ke rumah sakit. Kakaknya kecelakaan. Tapi alhamdulillah selamat. Oya kata Steve, pesanan ini untukmu saja. Lebih baik kamu minum dulu.” Giandra melihat wajah Vania yang terlihat lelah. Dia masih cantik seperti dulu, hanya saja badannya terlihat lebih kurus dan wajahnya pun tampak lebih tirus. Vania menoleh ke seorang pria yang Giandra taksir berusia sekitar 35an tahun. “Dia ownernya?” Tanya Giandra melirik Vania. Vania mengangguk. Giandra mendekat ke arah pria itu. “Maaf pak.” Ucap Giandra sopan. “Ada yang bisa saya bantu?” Pria tersebut membalas ramah. “Begini pak. Waitress yang berhijab itu teman lama saya. Apa boleh saya bicara dengannya sambil minum kopi, sebentar saja.” Pria tersebut tersenyum lebar, “oh nggak apa-apa silakan. Vania karyawati yang disiplin, tak apa memberinya waktu istirahat. Dia juga sudah kelihatan lelah.” “Terimakasih pak.” Dalam hati Giandra memuji sikap atasan Vania yang begitu pengertian pada karyawatinya. Mereka duduk saling berhadapan dengan dua cangkir kopi panas yang beraroma khas. Dari hati Giandra yang terdalam, sebenarnya rasa sakit dan luka perih itu masih ada. Namun melihat kondisi Vania yang tampak pucat dan kurus, telah menerbitkan rasa trenyuh, seakan Giandra bisa membaca ada penderitaan di sorot matanya. Ia lupakan sejenak trauma masa lalunya. Sepertinya kehadiran Keyra telah membantunya untuk bisa menetralisir lara hatinya dan menghadapi kenangan masa lalu ini dengan pikiran yang lebih tenang. Giandra berusaha untuk berdamai dengan segala hal yang pernah membuatnya begitu rapuh. “Bagaimana kabar anak dan suamimu Van?” “Alhamdulillah anakku baik. Dia sudah sekolah TK. Suamiku... dia sudah meninggal tiga bulan yang lalu.” Kesedihan itu bisa Giandra rasakan. Sudut mata Vania tampak berkaca. “Innalillahi wa inna illaihi roji’un. Maaf Van aku nggak tahu. Tak ada satupun teman SMA yang memberitahuku.” Kabar duka ini seakan mengikis semua rasa benco dan sakit hati yang pernah Giandra pendam bertahun-tahun. Dia ikut bersedih atas meninggalnya suami Vania. “Tidak apa-apa Gi. Aku juga sudah siap menghadapi kemungkinan ini. Aku tahu semua orang pasti akan berpulang padaNya. Dan suamiku sudah sakit leukemia sejak lajang. Aku tahu aku menikahi seorang penderita leukemia dan aku harus menguatkan diri sejak awal.” Vania berusaha tegar meski hatinya bergerimis. “Semoga almarhum mendapat tempat terbaik di sisi Allah, aamiin. Oya Van, setiap kali reuni SMA, aku tak pernah melihatmu hadir. Kamu juga tak aktif di grup SMA. Mungkin karena ini banyak yang nggak tahu kabar meninggalnya suamimu.” Vania tersenyum, “aku memang sengaja menarik diri dari pergaulan. Aku penah jadi bahan gosip kan? Kamu tentu nggak akan lupa, betapa teman-teman tega memfitnahku hamil di luar nikah. Padahal yang sebenarnya, waktu itu aku menikah siri terlebih dahulu dengan mas Willy. Mas Willy ini muallaf. Waktu itu keluarganya belum mau merestui pernikahan kami dan belum mau menerima mas Willy yang muallaf, belum bisa menerimaku juga. Jadi untuk menjaga perasaan orangtuanya kami menikah siri. Enam bulan kemudian baru kami resmikan untuk mendapat pengakuan di mata negara dan mengadakan resepsi juga. Alhamdulillah keluarga mas Willy akhirnya merestui pernikahan kami dan mereka mau menerima kami. Saat itu aku udah hamil tiga bulan. Entah siapa yang tega menyebar berita bohong itu.” Giandra tercekat mendengar satu fakta yang begitu mengejutkan. Bagaimana mungkin dia bisa begitu bodoh memercayai kabar burung itu. Bertahun-tahun image Vania begitu buruk di matanya dan Giandra menyadari Vania tetap Vania yang sama, tidak berubah dan bisa menjaga dirinya. “Aku minta maaf, dulu aku pernah meninggalkanmu dan memilih menikah dengan mas Willy. Waktu itu aku galau luar biasa. Aku sholat istikharah dan jawaban dari istikharahku adalah mas Willy. Ini sudah suratan takdir. Meski kami hanya berjodoh sebentar di dunia, tapi aku bersyukur pernah mendampinginya yang begitu gigih belajar Islam di tengah perjuangannya melawan sakitnya. Dia mengajariku banyak hal.” Tetes-tetes bulir hujan menurun dari kedua mata Vania. Lagi-lagi Giandra tercekat. Rasanya dia tak punya alasan lagi untuk memendam sakit hati. Dia kubur semua kepahitan yang pernah mencekamnya di masa lalu. Vania sama sekali tak bersalah. Dia menghargai keputusan Vania yang lebih memilih Willy meski saat itu Giandra begitu terluka. “Tidak apa-apa. Kamu nggak perlu minta maaf Van. Keputusanmu saat itu sudah benar. Willy lebih membutuhkanmu untuk membimbingnya mempelajari Islam dan dia membutuhkanmu untuk mendampinginya saat berjuang melawan leukemia. You are strong woman.” “Aku tak sekuat itu Gi. Untuk bercerita ini saja aku sampai menangis.” Vania menyeka air matanya. “Air mata bukan simbol dari kelemahan Van. Terkadang menangis adalah kekuatan terakhir dan terhebat yang kita miliki.” Giandra mengulas senyum untuk menguatkan. “Ma..mama....” Suara anak kecil mengusik gendang telinga Giandra. Laki-laki berusia 28 tahun itu melirik seorang anak seorang anak perempuan berkucir dua berjalan ke arah Vania. “Hai sayang kenapa turun? Mama bentar lagi selesai.” Vania mendudukan anak itu di pangkuannya. “Abis Desha bosen di atas terus ma.” “Oya Desha kenalin, itu om Giandra, temen mama.” Desha menoleh Giandra dan mengulas senyum, “hai om.” Desha menghampirinya dan mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Giandra. Giandra menyambut uluran tangan mungil itu dengan senyum ramah. Giandra menampakkan wajah sumringahnya meski ada kesedihan yang menyesakkan d**a melihat anak sepolos itu sudah ditinggal pergi oleh ayahnya untuk selamanya. “Desha manis sekali. Udah sekolah TK ya?” Desha mengangguk, “iya om.” “Ini alasanku bekerja di sini Gi. Atasanku begitu baik. Dia membolehkan aku mengajak Desha. Biasanya Desha bermain di lantai atas bersama anak atasanku. Aku pernah diterima bekerja di perusahaan asuransi, tapi aku tak mengambilnya karena jam kerjaku sampai malam. Aku nggak bisa meninggalkan Desha.” Kini Giandra memahami kenapa Vania memilih pekerjaan ini meski dia berkesempatan mendapat pekerjaan lain yang lebih mensejahterakan. “Orangtuamu gimana kabarnya Van?” “Alhamdulillah mereka sehat. Mereka tinggal di Palembang, ikut kakakku.” “Oya Gian, aku hampir lupa, aku belum mengucap selamat atas pernikahanmu. Aku lihat liputannya di televisi.” Vania melanjutkan ucapannya dan senyum tersungging di bibirnya. “Makasih Van. Oya kayaknya udah malem, aku pulang dulu ya. Istriku sudah menungguku.” “Tunggu Gian.” Vania mendudukkan Desha di kursi lalu dia melangkah menuju belakang. Giandra tak tahu apa yang akan dilakukan Vania. Sambil menunggu Vania kembali, Giandra mengajak Desha berbincang. Anak berumur lima tahun itu begitu menggemaskan dan ceriwis, Giandra sampai kewalahan menganggapi pertanyaan-pertanyaan yang terus meluncur dari bibir mungil gadis kecil itu. Vania kembali dengan menenteng sebuah buku yang masih tersegel plastik bening. “Gi, anggap ini hadiah untuk pernikahanmu. Kalau kamu tak suka membaca sesuatu yang melow dan romantis, kamu bisa berikan ini pada istrimu. Kebetulan tadi aku membawa satu, niatnya mau aku kasih ke temenku tapi dia nggak masuk. Kebetulan kamu datang, jadi aku ingin memberikan buku ini sebagai hadiah.” Vania menyerahkan buku itu. Giandra menerima buku bersampul warna pink pastel itu. Dibacanya deretan huruf yang tercetak di covernya. Lelaki Teristimewa.. a true story by Vania Armetta.. “Kamu nulis buku Van?” Giandra membelalakan matanya. Vania tersenyum, “ini hanya keberuntunganku saja. Temanku yang memilki penerbit menawarkan diri untuk membantuku menerbitkan bukuku secara indie. Aku sama sekali tak ditarik sepeser pun. Tak disangka bukuku banyak yang beli. Jadi menulis itu adalah side job untukku. Dan aku juga menulis artikel di beberapa website.” “Bagus itu Van. Terus kembangkan potensimu. Aku tahu dari dulu tulisanmu memang bagus. Oya aku pulang dulu Van. Makasih untuk buku ini. Keyra pasti suka dengan buku ini. Insya Allah aku akan membacanya juga.” Giandra melirik Desha yang tengah memainkan mobil-mobilan kecil. Anak perempuan ini rupanya menyukai mainan yang lebih banyak digemari anak laki-laki. “Desha, om pulang dulu ya.” Giandra mengelus pipi gadis berkucir dua itu. “Iya om, hati-hati, besok ke sini lagi ya.” Desha tersenyum lebar. Giandra membalas senyumnya. Dia keluar dari coffee shop diiringi lambaian tangan dari Desha. ****** Langkah Giandra semakin berderap menuju kamarnya. Ia takut membuat Keyra bosan menunggunya. Setiba di depan pintu, Giandra mengucap salam. Keyra menjawab salam dan membuka pintunya. Tanpa Keyra siap, Giandra langsung memeluk tubuh istrinya yang tengah mengenakan gaun tidur yang cukup mini dan seksi. Keyra banyak mendapat kado gaun tidur dan lingerie seksi dari teman-temannya. Giandra langsung memagut bibir istrinya penuh gairah. “Maaf aku udah lama membuatmu menunggu. Aku kangen banget ama aku.” Giandra masih memeluk pinggang istrinya. Keyra tersenyum. Rasanya seperti mimpi mendapat perlakuan yang sedemikian manis dari Giandra. Keyra merasa benar-benar diinginkan. “Kangen ama aku atau ama yang lain?” Keyra bertanya sambil memainkan dasi yang mengantung di bawah kerah kemeja suaminya. “Yang lain gimana?” Tanya Giandra menaikkan alisnya. “Misal kangen ama....my lips and...” Sebelum Keyra melanjutkan kata-katanya, Giandra mengecup kembali bibir Keyra dengan begitu lembut. “Aku kangen semuanya.. Aku suka kalau kamu lagi agresif gini Key, bikin aku gemas. Tapi aku mesti mandi dulu.” Giandra mencubit pipi istrinya pelan. “Mau aku siapin air hangat? Abis mandi makan malam ya.” “Nggak usah disiapin air hangat. Aku mandi air dingin aja, gerah. Makan malamnya ntar aja ya. Aku pingin makan yang lain.” Giandra mengedipkan sebelah matanya. “Makan apa?” Keyra memicingkan matanya. “Makan kamu.” Giandra mendengus leher istrinya dan membuat Keyra mengerang pelan. “Ayo sana mandi... Lebih cepat lebih baik.” Ujar Keyra sembari mengulas senyum manisnya. “Kamu udah nggak sabar ya?” Giandra menggelitik pinggang Keyra membuatnya sedikit mundur. “Kamu juga kan? Tapi kamu udah Isya belum?” Giandra mengangguk, udah sayang, di Masjid kantor.” Ada desiran yang menggetarkan dan seakan menjalar di semua pembuluh darahnya. Giandra memanggilnya “sayang”. Buncahan kebahagiaan itu serasa melompat-lompat di hatinya. Giandra yang sudah mengenakan piyama naik ke ranjang mendekati istrinya yang sudah menantinya sedari tadi. Aroma sabun yang begitu wangi begitu menggelitik indera penciuman Keyra. Mereka berdoa dahulu sebelum berhubungan. Giandra mengawalinya dengan mencium bibir Keyra, mencumbunya dengan penuh damba. Ciuman itu semakin dalam dan Giandra mulai memainkan tautan lidah mereka. Atmosfer yang semakin panas membuat keduanya tenggelam dalam ciuman yang begitu menuntut keduanya untuk terus memberi pagutan-pagutan tanpa henti. Pelan tapi pasti Giandra mulai melucuti satu persatu kain yang menempel di tubuh istrinya, menyentuh settiap jengkal tubuh Keyra dan memberi kecupan-kecupan ringan di sana. Bagian yang paling Keyra suka adalah saat Giandra mendengus lehernya seakan menyesap pelan aroma tubuhnya dan tangan nakalnya mulai aktif meremas dadanya. Giandra berbisik lirih di telinga Keyra, “siap belum? Insya Allah nggak akan sesakit kemarin. Yang sekarang pasti lebih enak dan aku akan membuatmu nggak berdaya.” Keyra semakin b*******h mendengar bisikan Giandra yang terdengar seperti rayuan manis yang begitu menggoda. Mereka meneruskan foreplay yang sedemikian panas sebelum masuk ke permainan inti. ______________censored____________________ ******** Keyra melirik suaminya yang tertidur pulas setelah penyatuan mereka berakhir. Sebelum tidur, Giandra sempat mengecup kening Keyra dan berterimakasih untuk malam yang menakjubkan ini. Keyra bisa memahami kenapa Giandra selalu mengantuk usai bercinta. Dari sumber yang ia baca ketika bercinta, zat kimia pada tubuh pria berubah, terutama setelah mengalami o*****e. Pada saat bercinta, ada pelepasan prolaktin dari otak. Prolaktin merupakan hormon yang diproduksi oleh sel-sel kelenjar hipofisis. Pelepasan ini menstimulus pria menjadi sangat lelah secara fisik. Selain itu otak pria juga melepaskan hormon oksitosin dan vasopressin yang dikaitkan dengan tidur dan seks. Kedua hormon ini terlibat dalam regulasi tubuh dari siklus tidur. Ini yang membuat pria mengantuk setelah bercinta karena tenaga mereka akan habis setelah bercinta. Selama berhubungan seks, tenaga menghabiskan glikogen sebagai penghasil energi di mana massa otot pria lebih besar dibanding perempuan, ini yang membuat pria lebih cepat merasa lelah. Keyra beranjak dari ranjang dan melangkah mendekati sofa. Tas kerja Giandra tergeletak begitu saja di sana. Tatapan matanya tertumbuk pada sebuah buku di sebelah tas kerja itu. Keyra tak begitu memperhatikan Giandra yang menenteng sebuah buku saat datang tadi. Diambilnya buku itu. Alangkah terkejutnya saat Keyra membaca nama Vania Armetta di covernya. Apa ini Vania mantan kekasih Giandra? Pekiknya dalam hati. Sekelebat rasa cemburu menyusup ke celah hatinya. Pikiran Keyra meracau tak jelas. Dia berpikir apa Giandra sengaja membeli buku Vania? Apa Giandra memang belum bisa move on dari Vania? Keyra membuka segel plastik itu dan membuka halaman pertama. Teruntuk almarhum suamiku, Willy Pratama, lelaki teristimewaku. Baru membuka halaman pertamanya saja sudah membuat Keyra tercekat. Dia membuka kembali halaman-halaman itu. Dan gerak jarinya terhenti pada halaman berjudul “Surat untuk Lelaki Teristimewaku” Dear mas Willy, Sudah satu bulan berlalu sejak kamu tak ada lagi di tengah kami.. Desha masih sering menanyakanmu. Hanya kali ini dia seperti sudah memahami.. Bahwa hari ini dan seterusnya akan menjadi hari yang berbeda untuknya... Dia tahu, kamu tidak akan pernah kembali... Jika terkadang orang memilih untuk tak menjelaskan definisi kematian pada anak yang mereka anggap polos dan tak tahu apa-apa... Jika sebagian dari mereka memilih kata “pergi” untuk menggantikan kata “meninggal”, Maka aku memilih untuk mengatakan sejujurnya mengenai apa yang terjadi padamu.. Aku bilang padanya bahwa kamu sudah tiada, sudah berpulang ke Rahmatullah untuk selamanya. Kamu tak akan kembali selamanya. Dan aku memintanya untuk selalu mendoakanmu, karena doa anak yang sholeh sholehah akan sampai pada orangtuanya... Desha mengangguk dan tatapannya terlihat kosong. Ia menatap nanar pada nisan yang terpaku di atas gundukan yang masih merah itu.. Mungkin ia bertanya, kenapa kamu begitu cepat pergi... Tapi aku selalu meyakinkannya bahwa Allah begitu menyayangimu hingga kamu tak lagi merasakan sakit, muntah-muntah karena kemoterapi, dan rambutmu tak perlu dicukur botak lagi... Hingga detik ini kadang aku masih belum percaya... Imamku yang selalu semangat mendalami agama Islam semenjak terpercik hidayah untuk berjalan di jalan Allah, kini telah tiada... Kamu tidak sedang pergi jauh... Kamu tidak sedang berada di luar kota, luar pulau atau luar negeri.. Kamu tak akan datang ketika aku merindukanmu... Mendadak aku seperti kehilangan segalanya.. Dan aku berusaha untuk menjadi kuat... Aku tak tahu lagi bagaimana cara berteriak.. Berbisik pada setiap lembah yang kutemui hingga tangisku bergema... Di setiap detak jantungku aku berusaha untuk mencari cara tuk bertahan.. Mencari cara tuk membiarkan semua berlalu... Dan mencari tahu bagaimana cara menjalani hidup ini tanpamu.. Aku merindukanmu...sangat... Kurindu sentuhan lembut jarimu kala membangunkanku tuk bermunajat padaNya di sepertiga malam.. Kurindu kecupan lembut di keningku dan kau bilang, aku adalah bidadari dunia akhiratmu... Kurindu mendengarmu melantunkan ayat-ayat suci. Kurindu caramu menemani putri kita belajar, kamu begitu sabar dan telaten.. Kurindu tawamu, senyummu, sorot matamu yang begitu meneduhkan... Kurindu semua tentangmu.. Ada perasaan tercabik kala kulihat ruang tengah begitu senyap.. Tak ada lagi sosokmu yang terbiasa duduk di sana dan membaca buku religi.. Ada hati yang hancur berserakan kala kulihat jaketmu yang tergantung di balik pintu..Bahkan aku masih suka menghirup aroma tubuhmu yang tertinggal di sana... Ada kepingan luka yang begitu menghujam kala kulihat tanaman yang kau tanam tumbuh begitu subur. Akankah mereka juga menanyakanmu.. Ketika sosok yang aktif menyiram tanaman itu sudah tak pernah terlihat lagi.. Kadang aku seperti melihatmu tengah tersenyum.. Dan setiap kumandang adzan bergema, aku terbayang sosokmu yang sudah rapi mengenakan baju koko sedang bersiap menuju Masjid... Kamu tahu, bagian tersulit dari kehilangan adalah saat kita menyadari, sebesar apapun kerinduan yang menyesakkan d**a, tak akan pernah menemukan obat penawarnya karena satu-satunya orang yang bisa mengobatinya telah pergi untuk selamanya... Dan ketika kita ingin bersandar di bahunya, kita hanya mampu bersandar di sofa yang biasa ia tempati sambil membayangkan betapa hangat sikapnya... Dan kau tahu, bagian paling menyakitkan dari kehilangan adalah saat kita hanya bisa menikmati senja sendirian dengan secangkir teh yang sudah dingin.. Saat kita berjalan menatap pasangan lain bergandeng tangan, dan aku hanya bisa membayangkan sosokmu masih ada si sekitarku meski dunia kita telah berbeda... Dan kamu mungkin juga tahu... bagian paling menyedihkan dari kehilangan adalah saat aku merasa kehilangan sebagian diriku dan seolah aku hidup di dalam jiwa yang sudah mati.. Tapi kamu tak perlu risau... aku akan bertahan demi putri kita... Aku akan berusaha untuk menjadi kuat demi cahaya hati kita... Aku percaya Allah lebih tahu yang terbaik.. Dan doa akan selalu menjadi penguat.. Terimakasih untuk segalanya... Terimakasih telah mencintaiku sehebat ini... Terimakasih untuk selalu membuatku merasa hidup, meski kadang ku tak tahu lagi apa makna hidup saat kamu tak ada.. Aku mencintaimu dan akan selalu mencintaimu... Keyra menitikkan air mata membaca tulisan Vania. Rasanya sulit percaya akan cerita adik iparnya yang mengatakan bahwa Vania dulu meninggalkan Giandra karena hamil dengan laki-laki lain dan menikah dengannya. Vania dan almarhum suaminya terkesan begitu religius. Rasa cemburu yang sebelumnya begitu membara kini perlahan mereda. Keesokan paginya Keyra akan menanyakan tentang buku ini pada Giandra. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD