Aku sudah memutuskan untuk berkenalan dengan tetangga sebelah rumahku. Tidak peduli bagaimana penampilannya, aku tetap akan ke sana dan memperkenalkan diri secara resmi. Selain ini sebagai bentuk pembuktian bahwa apa yang aku lihat semalam hanya ilusi, aku juga tidak ingin tenggelam dalam paranoid yang otakku ciptakan sendiri.
"Bu," panggilku saat kami telah selesai sarapan.
Pagi ini menu sarapan kami masih sama. Roti bakar dengan segelas s**u. Ibuku bangun kesiangan, tidak sempat pergi berbelanja.
"Ya, Mev?" sahut Ibu tanpa menoleh ke arahku, sibuk mencuci piring dan gelas kotor.
"Tetangga sebelah, apa Ibu sudah berkenalan dengan mereka?" tanyaku hati-hati. Tidak mau Ibu berpikir macam-macam dengan maksudku menanyakan perihal ini.
"Ibu belum sempat. Coba tanya ayahmu," jawab Ibu.
Aku menoleh ke arah Ayah dan lelaki itu hanya memberikan gelengan kepala, seolah mengatakan alasan dan jawaban yang sama seperti yang ibu berikan padaku. Jujur, aku sedikit kecewa mendengar jawaban dari mereka barusan.
"Ayah harus bekerja hari ini, Mev," katanya lantas melampirkan jas ke lengan dan memegang koper kulit cokelat miliknya.
Ayah mendekati Ibu, memberinya kecupan singkat di dahi, mengecup singkat pipi Sena dan hanya melambaikan tangan padaku dan Bagas.
"Jangan buat masalah, Mevita. Kita baru saja pindah, kamu dengar?" ujar ayah mengingatkan.
Aku mencebikkan bibirku sebagai tanda protes atas tuduhan itu. Aku bukan ingin membuat masalah. Sebaliknya, aku ingin menyelesaikannya. Aku curiga kalau tetanggaku sebenarnya bukan manusia. Untuk menguji hepotesis itu, aku harus membuktikannya sendiri.
"Aku merasakan firasat buruk. Sebaiknya kamu batalkan saja." Bagas menegur. Dia lebih muda, tetapi bertingkah sok mengatur, membuatku mendengus kasar. "Ini perintah. Bukan peringatan!" lanjutnya.
"Aku kakakmu," sergahku.
"Hanya karena kamu lahir lebih dulu, bukan berarti bisa berbuat sesuka hatimu. Ingat, kamu itu perempuan!" kilahnya.
"Apa hubungannya berkenalan dengan tetangga dengan gender huh?" tanyaku sedikit tersinggung.
"Perempuan bertindak dengan perasaan, bukan logika. Jadi, jika kamu berkenalan dengan motif itu, aku sarankan jangan. Kamu hanya akan mempermalukan dirimu dan keluarga," omel Bagas.
"Dasar sok tua!" ledekku.
"Aku bukan sok tua, tapi dewasa. Sedangkan kamu sudah tua tapi tidak dewasa," balasnya yang membuatku ingin melayangkan tinju ke arahnya.
"Sudah, jangan bertengkar. Mevita, pergilah mandi," suruh Ibu memintaku pergi untuk mengakhiri perdebatanku dan Bagas yang sering terjadi.
Bagas tampak puas. Adik lelakiku yang durhaka itu menjulurkan lidah, mengejekku sekaligus sebagai tanda kemenangannya. Dia memang selalu menjadi pemenang karena sebagai anak pertama, aku dipaksa mengalah padanya.
Dasar menyebalkan.
Aku menuruti Ibu. Mandi mungkin saja bisa mendinginkan kepalaku. Lagipula, itu juga bisa sedikit menyegarkan tubuhku yang mulai terasa kaku. Mungkin ini adalah dampak dari kurang olahraga atau bergerak.
Selesai mandi, aku berdiri di dekat jendela, menatap jendela tetanggaku yang masih tertutup gorden dengan sempurna. Tak ada tanda-tanda pergerakan. Lampu kamar itu sudah padam. Itu artinya, ada seseorang yang mematikannya. Rumah itu berpenghuni.
Aku menghela napas panjang sembari menatap ke sana dalam waktu yang terbilang lama. Aku memang sudah bertekad tetapi melakukannya tentu tidak semudah yang dikatakan. Jantungku berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya, tangan dan kakiku terasa dingin serta otakku seperti penuh. Aku linglung, bahkan meski ini bukan tanda-tanda jatuh cinta. Entah apakah ini pengaruh dari hormon Adrenalin atau kelebihan insulin.
Aku nyaris menjerit ketika sebuah tangan menyentuh lenganku. Sena, adik kecilku menatapku bingung. Aku menelan ludah sebelum sedikit berjongkok untuk bertanya apa yang diinginkannya dariku.
Sena mulai menggerakkan tangannya, mengatakan padaku tentang apa yang sedang aku lakukan dalam bahasa isyarat. Aku kemudian memberikan jawaban bahwa aku tidak melakukan apapun, hanya sekadar penasaran tentang tetangga kami. Aku cukup terkejut ketika Sena mengatakan padaku bahwa dia pernah melihat seorang lelaki tinggi di rumah itu.
"Kamu yakin, Sena?" tanyaku.
Sena mengangguk mengiyakan.
"Muda atau seumuran Ayah?" tanyaku lagi.
Sena memberikan isyarat bahwa lelaki itu sepertinya seumuran denganku. Sebuah ide gila kemudian tercetus dari otakku yang beku.
"Sena, tunggu di sini!"
Aku segera berlari, hendak menuju ke rumah itu tetapi tertahan ketika mengetahui bahwa pintu rumahku dikunci.
"Ibu!"
Aku berlari menuju kamar ibuku, hendak meminta kunci rumah. Namun hanya bisa menghela napas panjang saat mendapati wanita itu sudah tertidur di kamarnya. Celemek Ibu masih terpakai seolah wanita itu langsung tertidur saat tubuhnya menyentuh bantal.
Aku memutuskan untuk mencari jalan lain, tetapi pintu belakang terkunci, demikian pula dengan jendela-jendela yang lain. Debu dan sarang laba-laba yang telah menghitam membuat jendela tidak bisa dibuka.
Aku kembali ke kamar dan mendapati Sena telah meringkuk di lantai. Tertidur. Ini memang sudah waktunya untuk kami tidur. Bukan suatu kebiasaan tetapi kebutuhan. Aku menggendong Sena dan membawanya ke kamar Ibu. Setelah menyelimuti adik kecilku itu, aku keluar.
"Kamu nggak tidur?"
Aku berteriak keras ketika mendengar pertanyaan yang tiba-tiba.
"Ada apa denganmu? Kenapa takut begitu? Aku bukan Setan," gerutu Bagas kesal.
Adik lelakiku itu sepertinya baru selesai mandi. Rambutnya yang sedikit panjang terlihat basah dan berantakan. Namun entah bagaimana dia terlihat cukup keren. Dia hanya memakai celana pendek dengan d**a telanjang. Tubuhnya cukup bagus, ditambah dengan sisa-sisa air yang masih menempel, dia nyaris mirip tokoh Webtoon.
"Hentikan! Jangan m***m. Aku adikmu!" Bagas memberikan tatapan tidak suka membuatku segera kembali waras.
"Kamu memang menyebalkan," ungkapku sebal, tidak terima dengan tuduhan tak berdasar darinya.
"Ya, untuk kakak yang serba biasa sepertimu, aku harus melakukannya. Akan sangat merepotkan jika kamu jatuh cinta padaku hingga terkena brother complex," sungutnya.
"Kamu terlalu banyak baca Manga, Gas," desisku.
"Seenggaknya itu lebih bagus daripada nggak suka membaca apapun," balasnya setengah menyindirku.
"Bikin ngantuk," kataku beralasan.
"Tanpa membaca pun, kita akan tetap mengantuk dan tertidur dalam sekejap. Itu hanya alasanmu saja. Dasar konyol." Bagas tetaplah Bagas. Dia akan selalu menjadi adik paling menyebalkan yang suka melawan kakaknya sendiri.
"Pergi ke kamarmu!" usirku.
"Iya, kamu juga," balasnya.
Aku berdecak kesal. Rasanya ingin berlari menghampiri Bagas lalu menjambaknya sekuat tenaga. Adikku yang menyebalkan itu harus diberi pelajaran sekali-kali.
Bagas pergi lebih dulu, meninggalkan aku yang masih berdiri sembari berpura-pura meninjunya dari belakang. Setelahnya aku mulai ke kamarku. Ngantuk. Aku bahkan sudah menguap sampai meneteskan air mata.
Aku baru akan membuka pintu kamar ketika merasa ada seseorang lewat di belakangku dengan cepat. Aku menoleh belakang, tidak ada apa-apa. Saat akan memutar knop pintu, sensasi yang sama terasa lagi. Aku memutuskan menoleh ke kiri dan kanan, sekadar memastikan bahwa yang aku rasakan hanya sekadar imajinasi belaka.
Aku masuk ke kamar lalu membaringkan tubuh di kasur yang nyaman. Baru akan memakai selimut ketika pintu kamarku diketuk.
"Bagas, itu kamu?" tanyaku.
Tidak ada jawaban.
"Pergilah tidur. Aku juga akan tidur," ucapku lagi.
Masih tidak ada sahutan. Namun pintu kamarku kembali diketuk. Kali ini terdengar lebih keras.
"Jangan iseng, dong. Pergi sana!" usirku.
Tidak ada jawaban hanya pintu yang diketuk terus-menerus tanpa jeda. Aku menghela napas panjang, kesal.
Aku turun dari kasurku, bertekad untuk memberikan pelajaran pada Bagas.
"Apa yang…"
Suaraku terlelan sunyi. Tidak ada apa-apa. Lorong kamar terlihat sepi membuatku menelan ludah karena mendadak merinding. Aku mencoba menutup pintu kembali tetapi tertahan ketika tidak sengaja menatap ke bawah lantai. Sesuatu menggelinding. Bola?
Mataku terus menatap sesuatu itu kemudian dia berhenti tepat di bawah kakiku. Aku menunggu. Mataku terbeliak saat menyadari bahwa sesuatu yang bergerak itu bukan bola.
Aku kaget hingga meloncat mundur, tanpa sengaja terjungkal ke belakang seolah ada yang mendorongku, kemudian semua mendadak gelap. Yang sepintas terlihat adalah bola mata yang menatap ke arahku dengan kornea yang penuh dengan urat-urat. Sorot matanya tajam seolah siap menyantapku dengan nikmat.