4

1113 Words
Saat aku bangun, sakit kepala yang kuat menyerangku. Dunia sekitarku terasa berputar-putar membuatku nyaris tidak bisa duduk. Pandanganku sedikit kabur tetapi gelap malam di luar kamar masih bisa terlihat dari kaca jendelaku yang tak bergorden. Aku memijat pelan pelipisku, mencoba mengatasi rasa sakit yang terus berkedut-kedut di kepala bagian kiri. Telingaku bahkan berdengung sebelah membuat fungsi pendengaranku menjadi tidak optimal. Aku menghela napas panjang mencoba untuk bangun dan bergerak. Pening, aku segera menggapai kasur dan duduk di sana. Malam ini cukup dingin, kulitku dengan peka bisa merasakan itu. Hawanya juga sedikit berbeda. Namun, niatku untuk pergi ke rumah tetanggaku belum sirna. Cukup lama aku diam, memulihkan diri dari rasa sakit kepala yang tak kunjung mereda. Walau begitu, telapak kakiku sudah berhenti bergetar walau telapak kaki kiriku masih terasa berkedut. Aku bangkit, berjalan perlahan untuk keluar dari kamar. Sepi. Tidak ada siapa-siapa. Suara-suara kehidupan pun tidak terdengar sama sekali. Bulu kudukku meremang. Namun, aku tak ingin menjadi pengecut. Aku menahan napas sebentar, mencoba mengenyahkan rasa takut yang tiba-tiba muncul tanpa diduga. Lampu koridor kamar gelap. Mataku menyipit, mencoba memaksimalkan fungsi agar bisa melihat sesuatu atau seseorang dari balik pekat tanpa penerangan itu. Aku pergi ke kamar Bagas, sekadar ingin mengecek kondisinya. Knop pintu diputar tetapi tidak bisa dibuka. Bagas mengunci pintunya. Dia memang tidak suka diganggu saat tidur tetapi kebiasaan ini berbahaya jika terjadi sesuatu, bencana misalkan. Walau cukup aman, jika ada pencuri masuk. Jantungku seakan berhenti berdetak saat mendengar derit pintu yang dibuka. Suaranya berasal dari dapur, tepatnya dari pintu belakang. Aku menelan ludah, segala pikiran negatif bermunculan di otakku sekarang. Aku memberanikan diri, mencoba mencari tahu siapa di sana. Barangkali itu ayah atau mungkin ibu. Pintunya tertutup. Napas lega berembus otomatis dari mulutku. Sepertinya aku terlalu paranoid sehingga berpikir yang tidak-tidak. Aura rumah ini aneh dan aku belum cukup lama tinggal di sini. Jadi, wajar saja jika aku bersikap begini. Hari demi hari, mungkin ketakutan ini akan menghilang sendiri. Setidaknya, itu adalah harapanku saat ini. Aku pun memutuskan pergi ke ruang makan, menuangkan segelas air putih lalu meneguknya sampai habis. Tenggorakan terasa dingin dan nyaman. Rasa takut dan gelisah yang dirasakan sedikit berkurang. Aku mengamati daerah sekitar, begitu lenggang dan hening. Tidak ada tanda-tanda kehidupan selain aku. Jam dinding menjadi incaranku. Pukul dua belas lebih dua puluh dua menit adalah waktu yang ditunjuknya saat ini. Tengah malam, wajar jika semua sudah tidur. Aku bergerak, menuju ruang tamu. Aku ingin keluar, mengamati lingkungan yang belum pernah aku lihat dengan kedua mataku sendiri. Kebiasaan tidurku yang buruk membuatku tidak bisa beradaptasi dengan baik. Entah kenapa, sejak tiba di rumah ini, waktu tidurku menjadi lebih panjang dari biasanya. "Eh?" Dahiku mengernyit. Pintu rumahku tidak bisa dibuka. Sekali, dua kali, aku memutar paksa knop pintu rumahku tetapi tetap tidak bisa dibuka. Pada akhirnya, aku menyerah. Lelah, aku duduk di sofa sembari menunggu tubuh ini cukup kuat untuk bisa mendobrak pintu atau mencongkel kaca jendela. Bagaimanapun, aku harus pergi. Tak ada kata menunggu pagi. Aku harus memastikan tentang tetanggaku malam ini. Jantungku nyaris keluar saat mendengar sesuatu jatuh. Sumbernya dari dapur. Cukup lama aku diam, membiarkan ketakutan ini mereda tanpa harus dipaksa. Tak ada yang terjadi kemudian, mungkin, semua memang hanya imajinasiku semata. Lagipula, kebiasaan menonton film horor, membuatku menjadi paranoid. Sebaiknya, aku menghentikan kebiasaan itu mulai sekarang. Aku menelan ludah ketika mendapati bulu kudukku yang meremang. Cukup jelas, rambut-rambut di tanganku itu meninggi. Semilir angin berhembus entah darimana bercambur dengan bau anyir yang menyesakkan. Perlahan tapi pasti, aku melangkahkan kaki. Di telapak kakiku yang telanjang, bisa aku rasakan dentuman yang terus terasa. Semakin lama semakin kuat dan semakin dekat pula aku dengan dapur. "Bu?" Aku memanggil ragu saat mendapati seorang wanita berambut panjang dengan gaun putih menutupi kaki berdiri di dapur. Dia seolah sedang memotong sesuatu. Posisinya yang membelakangiku membuatku tidak bisa bertatap muka dengannya. "Bu? Perlu Mevi bantu?" Lidahku pedih, sedikit tergigit karena aku bicara dengan bibir yang gemetar. Bahkan, gigiku mengelatuk sama satu lain. "I..bu?" Aku panggil lagi tetapi wanita itu bergeming seolah tidak mendengarku. Aku mencoba berbalik, mengabaikan wanita itu, menganggapnya benar-benar ibuku. "Mevi." Langkahku terhenti. Wanita itu memanggil dengan suara dingin dan hampa seolah diucapkan oleh seseorang yang tidak lagi bernyawa. "A-aaapa, Bu?" Susah payah, aku menjawab panggilannya. "Mau ke mana?" "Ti-tidur. Ada apa, Bu?" Wanita itu tidak menjawab, hanya melanjutkan apa yang dikerjakannya. Aku segera berlari pergi menuju kamarku, kabur. Aku menjerit ketika di depan kamar sempat terkejut saat melihat Sena di sana. Adik kecilku itu mengenakan baju tidur dengan mata yang masih terlihat mengantuk. Dia bahkan mengucek-ucek mata kecilnya. "Sena? Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyaku. Sena tidak segera menjawab, sibuk mengumpulkan jiwanya yang belum sepenuhnya terkumpul. Aku menoleh ke belakang, tidak ada siapa pun. Wanita itu juga tidak ada. Ia tak mengikutiku, membuatku menghela napas lega. "Ayo ikut Kakak!" Aku menggandeng tangan Sena, mengajaknya masuk ke dalam kamarku. Setelahnya, aku mengunci pintunya. Aku mendudukkan Sena di kasur sementara aku mengumpulkan nyawa yang sempat lari-lari. Rumah ini aneh. Sangat aneh. Auranya sangat negatif dan membuatku tidak bisa hidup dengan tenang. Bagaimanapun, aku harus berdiskusi dengan ayah dan ibu besok. Kalau perlu, aku akan memaksa mereka untuk pindah dari sini. Mau tinggal di manapun, akan lebih baik daripada di sini. Sena menarik bajuku membuatku menoleh ke arahnya. "Ada apa, Kak?" tanyanya dengan memakai bahasa isyarat. Mata kecilnya menatapku tajam dan cemas seolah bisa merasakan kegelisahanku saat ini. Aku tersenyum kecil lalu menggeleng pelan. "Tidak ada apa-apa," jawabku berbohong. "Kenapa Sena bangun?" Sena sempat tertegun ragu dengan jawaban yang aku berikan, tetapi tidak mau berdebat. Dia mengatakan bahwa ingin pergi ke toilet tapi takut. Jadi, aku menawarkan diri untuk mengantarnya. Sena tidak menutup pintu kamar mandi, merasa was-was. Jadi, aku biarkan saja. Lagipula tidak ada siapa-siapa. Dia juga masih muda. Selesai pipis, Sena memintaku mengambilkan sikat gigi. Dia bilang mau menggosok giginya sebelum tidur lagi. Licin, sikat gigi Sena terjatuh membuatku harus berjongkok memungutnya. "Ini!" Aku memberikan sikat gigi itu pada Sena tetapi adik kecilku itu tidak segera menerimanya. Dia seolah sedang menatap ke belakang membuat perasaanku menjadi tidak enak. "Ada apa, Sena?" Aku tanya menggunakan bahasa isyarat. Sena sempat tertegun lalu menjawab. "Ada wanita dengan kepala terjungtai di belakang Kakak." Aku segera memaksa Sena mundur lalu menutup pintu kamar mandi secepat yang pernah aku lakukan selama ini. Pintunya aku kunci. Tubuhku menggigil. Keringat dingin sudah terproduksi dalam jumlah besar dalam seperkian detik. Aku duduk di toilet duduk sembari merangkul Sena. Aku menahan napas dengan air mata bercucuran. Aku tidak akan keluar.  Begitu tekadku sampai suara itu terdengar. "Mevi." Suara Ibu. Namun aku tidak akan tertipu. Aku tahu, itu bukan dia. Lampu kamar mandi kemudian padam. Gelap. Hawa dingin terasa dari balik pundakku. "Buka pintunya, Nak." Ya Tuhan, tolong aku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD