01 - Hamil

2208 Words
Ara duduk di sofa ruangan besar milik Raka. Sedari tadi ia menunduk seraya memainkan jari-jarinya di atas pangkuan. Ia panik dan takut, bingung, semuanya menjadi satu. Rangkaian kalimat yang sudah ia susun untuk dibicarakan bersama Raka tiba-tiba menghilang dari ingatannya. Ara mendadak tidak tahu harus bicara apa. Bahkan untuk memulai bersuara saja susah. Keringat dingin membasahi pelipis Ara, tangannya juga terlihat mengkilat karena basah akan keringat. Ara tidak tahu kenapa ia mendadak menjadi pengecut. Mungkin sejak ia tahu kalau Raka bukan orang sembarangan. Dan Ara berani mengandung anak pria itu. Lebih tepatnya tidak sengaja mengandung anak pria itu. Tidak bisa dipungkiri kalau Ara juga merasa takut dan trauma setelah kejadian malam itu. Untuk menatap mata Raka saja ia tidak berani. Sedari tadi Ara merasa terintimidasi padahal Raka tidak melakukan apa pun selain duduk di seberang sofa dengan tenang. Raka hanya memperhatikan gerak gerik Ara. "Hoi," panggil Raka. Ara tetap saja diam. Ia semakin dalam menunduk menyembunyikan wajahnya. "Kamu tahu saya mencari kamu ke mana-mana? Saya sudah suruh anak buah saya untuk cari kamu, tapi kamu menghilang tanpa jejak. Sekarang kamu datang dan tidak mau berbicara satu patah kata pun? Kamu tahu kalau yang kamu lakukan saat ini membuang waktu saya, kan?" tanya Raka. "S... s- saya ingin bicara dengan kamu," ucap Ara susah payah. Sesuatu yang besar seolah mengikat tenggorokannya agar tidak bersuara. "Dan sedari tadi saya menunggu kamu berbicara," balas Raka angkuh. Ara memberanikan diri menatap dua mata Raka, hanya sedetik mereka saling pandang sebelum Ara kembali menundukkan kepalanya. Rasa takutnya kepada Raka tidak luntur begitu saja. Tatapan mata Raka tidak berubah. Tatapannya sama seperti terakhir kali dan itu membuat Ara takut. Raka menatap jam tangannya malas, sebenarnya ia tidak mau membuang waktunya pada hal tidak penting seperti sekarang. Pekerjaannya banyak, dan jadwal selanjutnya adalah meeting. Raka tidak tahu sampai kapan ia dan Ara hanya diam saja. Ara hanya gadis asing di mata Raka. Meski Raka sadar ia sudah pernah tidur dengan gadis itu. "Saya tahu kamu mau minta kompensasi atas kejadian malam itu, kan? to the point, kamu mau berapa? tiga puluh menit lagi saya akan ada meeting. Saya tidak bisa lama lama duduk tanpa bicara, dan di atas meja saya banyak berkas yang harus saya periksa dan tanda tangani." Raka menunjuk meja kerjanya. Ia ingin gadis asing di depannya ini paham kalau ia sangat sibuk. "Saya kemari bukan untuk minta kompensasi, kenapa kamu menuduh saya seperti itu?" tanya Ara tidak habis pikir. "Kalau bukan untuk uang, lalu untuk apa?" tanya Raka dengan pandangan meremehkan. Ia mengambil segelas kopi yang terhidang, pelan ia menyesap kopi yang disiapkan sekretarisnya untuk mereka. "Orang seperti kamu bukannya seperti itu? Memanfaatkan keadaan untuk keuntungan pribadi. Sialnya kamu beruntung berurusan dengan saya. Tapi jangan harap saya bodoh mau kamu peras. Jadi berapa yang kamu mau? Setelah itu kamu harus tanda tangan surat perjanjian untuk tidak memeras saya. Dan urusan kita selesai." Ara merasa sakit hati dengan ucapan pria di depannya itu. Apa orang kaya semua seperti itu? Tidak punya hati, tidak punya otak, dan hobi merendahkan orang yang jauh di bawah mereka. Jika seperti itu, apa gunanya kaya? "Memangnya saya orang seperti apa?" tanya Ara dengan mata berkaca-kaca menahan tangis. "Orang miskin yang menghalalkan segala cara untuk memeras orang di atas mereka. Begitu, kan?" "Saya bukan orang seperti itu," bela Ara pada dirinya sendiri. Suaranya gemetar menahan tangis. Raka tersenyum sinis. Pria itu menatap Ara dengan penuh ketertarikan. Jika dilihat lagi, Ara adalah gadis cantik. Wajahnya cantik alami tanpa perlu riasan. Dan mata berkaca itu menambah kecantikannya. Dia masih terlihat sangat muda di mata Raka. "Berapa umur kamu?" tanya Raka tiba-tiba penasaran. "Kenapa sekarang kamu tanya itu?" tanya Ara balik. Ia benar benar tidak bisa membaca jalan pikiran Raka. "Kamu terlihat seperti anak kecil yang kehilangan orang tuanya. Merengek dan sekarang menahan tangis. Terlalu basa-basi." "Saya bukan anak kecil! Saya sudah 21 tahun." Ara menjawab dengan nada tinggi tidak terima. Pria di hadapannya itu suka sekali membuat suasana hati Ara buruk. Raka membuang napas kesal. Detik demi detik berlalu dengan cepat. Mereka hanya bertengkar tanpa mau bicara inti permasalahan. Ara yang bingung dari mana memulai, sedang Raka yang selalu memancing pertengkaran. Hingga akhirnya kurang sepuluh menit untuk Raka menghadiri rapat. Raka putuskan berdiri dari duduknya. "M- mau ke mana?" tanya Ara. "Mau meeting. Kamu kira saya punya banyak waktu meladeni kamu, hah? Lebih baik kamu pergi saja dari sini kalau hanya mengajak saya bertengkar!" sentak Raka. Suara keras Raka yang meninggi membuat nyali Ara menciut. Ia kembali menunduk seraya memegangi perutnya yang masih rata. Ara tidak tahu harus bagaimana. Jika ia tidak bicara, ia bingung harus bagaimana mengatasi kehamilannya. "Tidak dengar? Pergi dari ruangan saya kalau masih tidak mau bicara. Nanti saya kirimkan uang. Tenang saja, jumlahnya tidak akan sedikit." "Tapi saya ke sini bukan karena uang. Berapa kali saya bilang?" ujar Ara akhirnya menangis. Pertahanannya runtuh karena berkali-kali ia direndahkan. "Ya lalu apa?! Kalau kamu tidak bilang, saya tidak akan mengerti!" sentak Raka marah, "Saya bingung mau berbicara dari mana. Saya bingung," isak Ara. "Kalau begitu bilang pada intinya!" Ara mencengkeram erat baju yang dikenakannya. Sebelum berbicara, Ara memejamkan matanya rapat. "Saya hamil," lirihnya. Jantung Raka berdetak di atas normal. Ucapan yang keluar dari mulut Ara seperti lelucon baginya. Pria itu melihat tangan Ara gemetar saat mengatakannya. "Kamu bohong, kan?" tuduh Raka. Ara membuka ritsleting tas yang dibawanya, ia mengambil sebuah benda dari dalam sana. Sebuah alat tes kehamilan yang menunjukkan dua garis merah. Dengan tangan gemetar Ara meletakkan alat tes kehamilan itu di atas meja. "Saya tidak bohong," ucap Ara. Dengan gerakan kasar, Raka mengais alat tes kehamilan itu. Ia ingin memastikan dengan jelas bahwa penglihatannya tentang dua garis yang ia lihat dari kejauhan itu salah. Dan kesialan menimpa Raka. Tubuhnya menegang saat memastikan alat itu dari jarak dekat, berkali-kali ia lihat, berkali-kali pula ia sadar bahwa perempuan yang tengah menangis di sofa ruang kerjanya sedang hamil. Raka membanting alat tes kehamilan itu kasar. Ia mengarah pada Ara. Tanpa basa basi, Raka menarik kerah baju Ara kasar sampai membuat tubuh Ara terhuyung. "Jelaskan! Siapa ayah dari janin yang kamu kandung? Kamu tidur dengan laki-laki lain selain saya, kan? Jalang sialan!" Mata basah Ara bertatapan dengan mata tajam penuh tuntutan dari Raka. Pria itu terlihat marah besar. Lagi tuduhan yang dilontarkan Raka terhadap Ara membuatnya tidak habis pikir. Raka memang tidak punya hati. Jangankan berhubungan dengan laki-laki lain, bertemu dan berkontak fisik saja tidak Ara lakukan karena ia takut. Sejak kejadian itu ia trauma, bahkan ia selalu gemetar takut berada di dekat laki-laki. Bagaimana mungkin ia berhubungan dengan laki-laki lain seperti tuduhan Raka? Untuk bercerita bahwa dia diperkosa saja ia tidak punya nyali. Ia merasa hina dan kotor. "Kenapa kamu jahat?" tanya Ara tidak berhenti menangis. "Jawab aja, Jalang! Siapa ayahnya? Tidak mungkin dia anakku. Kita saja melakukan hanya sekali. Kamu pasti memanfaatkan itu agar saya bertanggung jawab? Agar kamu bisa menjadi istri saya dan menikmati harta saya. Iya, kan?" Raka semakin erat mencengkeram kerah baju Ara. "Siapa yang mau jadi istri kamu? Saya juga nggak mau menikah sama laki-laki jahat seperti kamu," ucap Ara. Raka menghempaskan tubuh Ara sampai kembali terjatuh di sofa. Ara beringsut mundur ketakutan. "Saya ke sini karena bingung harus melakukan apa. Ada kehidupan di perut saya, dan saya tidak tahu membicarakannya dengan siapa." "Itu bukan anak saya." Raka masih berusaha untuk menampik. Ia tidak mau menerima kenyataan yang ada. "Kalau bukan anak kamu, lalu anak siapa? Kamu tahu saya belum pernah melakukan hal itu dengan siapa pun. Kamu orang pertama dan terakhir. Bahkan semenjak hari itu, saya jadi takut berkontak fisik dengan laki-laki. Semua gara-gara kamu! Dan kamu dengan jahatnya menuduh saya tidur dengan laki-laki lain? Saya bukan perempuan seperti itu," ucap Ara semakin deras menangis. "Gugurkan saja," putus Raka tanpa berpikir dua kali. "Uh?" Ara tampak terkejut dengan ucapan Raka. "Kamu tidak dengar? Gugurkan saja." Ara menggeleng, ia memeluk perutnya semakin erat. Ara semakin ketakutan. Sepertinya datang menemui ayah dari anaknya bukan hal baik. Bahkan dia tidak berpikir dua kali untuk menyingkirkan darah dagingnya sendiri. "Saya nggak mau bunuh anak saya," cicit Ara. Saat Raka hendak bersuara, telepon di mejanya berdering. Raka menjambak rambutnya dan berteriak. Ia menghampiri telepon dan mengangkatnya. Rupanya telepon itu dari sekretarisnya yang sudah ada di ruang rapat. "Saya akan ke sana sekarang," ucap Raka. Raka menunjuk Ara penuh ancaman. "Kamu diam di sana, kita bicarakan lagi setelah saya rapat." Ara menggeleng, ia berdiri cepat hendak pergi dari sana. Ia takut setelah Raka kembali dari rapat, ia akan langsung menyuruh Ara menggugurkan kandungannya. Namun gerakannya tidak kalah cepat dengan Raka. Pria itu mencengkram erat pergelangan tangan Ara dan menyeretnya untuk kembali duduk. "Saya tidak suka dibantah!" sentak Raka. "Saya mau pulang." "Urusan kita belum selesai. Kamu boleh pulang setelah urusan kita selesai!" tegas Raka. Raka keluar dari ruangannya, tidak lupa ia menguncinya agar Ara tidak kabur. Ia harus menghadiri rapat penting, baru setelahnya ia akan pikirkan lagi untuk kedepannya. -000- Di dalam ruang meeting, harusnya Raka fokus seperti biasanya. Tapi sialnya ia tidak bisa fokus pada materi yang disampaikan moderator. Pikiran Raka terfokus pada gadis yang ia sembunyikan di ruang kerjanya. Seperti sambaran petir di siang hari, Raka tidak menyangka kalau gadis itu hamil. Bagaimana mungkin dia hamil? Itu seperti pernyataan yang mustahil. Mereka hanya tidur sekali. Semakin Raka pikirkan, semakin membuatnya tidak tenang. Apa yang harus ia lakukan selanjutnya? Raka berpikir keras. Pria itu mengetuk meja rapat berkali-kali menggunakan jarinya. Kebiasaan Raka saat ia panik dan berpikir keras. Alisnya terpaut, pandangannya kosong, dan ruangan terasa panas padahal AC bekerja dengan baik di ruangan itu. Jika ia mempertahankan bayi yang ada di dalam kandungan gadis itu sangat tidak mungkin. Bagaimana dengan Fiona kekasihnya? Mereka merencanakan pertunangan dan lain sebagainya. Raka sudah memutuskan untuk menikahi kekasihnya itu karena ia sangat mencintainya. Hubungannya dan Fiona terjalin bertahun-tahun tidak mungkin ia relakan hanya untuk bertanggung jawab atas kesalahan satu malamnya dengan gadis menyedihkan itu. Belum lagi apa kata media jika ia menikahi gadis yang tidak sepadan dengannya? Itu bisa merusak reputasi yang ia jaga mati-matian agar tidak tercoreng. Menghamili gadis menyedihkan di luar nikah juga merupakan berita memalukan. Raka tidak bisa membayangkannya. Atau ia sembunyikan saja gadis itu selamanya? Di luar negeri atau di mana pun untuk menjauh dari kehidupannya. Ia akan memenuhi kebutuhan mereka berdua. Dengan begitu ia tidak perlu membunuh darah dagingnya dan tidak perlu bertanggung jawab untuk menikahi gadis itu. Ia juga bisa hidup bahagia dengan Fiona. Baru saja menemukan solusi yang pas, namun lagi lagi solusi itu juga tidak bagus. Bisa saja gadis itu licik dan muncul di tengah kebahagiaannya dan Fiona nantinya. Hal itu akan memperumit semuanya. Satu-satunya cara memang ia harus menggugurkan kandungannya. Setelah itu tidak akan ada masalah. Ia bisa memberi kompensasi, ia juga bisa melakukan segala cara untuk menutup mulut wanita itu. Raka semakin yakin dengan keputusannya. Tanpa pikir panjang ia berdiri dan pergi meninggalkan ruang rapat. "Pak Raka, Pak Raka meeting belum selesai," ujar sekretaris Raka mengejar pria itu. "Saya ada urusan mendadak. Kamu bilang saya akan mengadakan meeting ulang nanti." "Tapi, Pak ...." "Nggak ada tapi. Lakukan apa yang saya perintahkan!" ujar Raka tegas. "B- baik, Pak Raka." Raka kembali melanjutkan langkahnya. Pria itu menuju ruangannya dengan langkah terburu. Sesampainya di depan pintu, Raka membuka kunci dan masuk. Ia melihat gadis itu sedang duduk seraya menangis. "Air mata kamu tidak berguna," ujar Raka. Ara menoleh, ia kembali ketakutan saat sadar dengan kehadiran Raka di ruangan itu. "Gugurkan kandungan itu. Saya sudah berpikir tentang solusi yang baik untuk kita berdua. Dan menggugurkan kandungan itu adalah solusi terbaik," putus Raka. "T- tapi, gimana mungkin membunuh solusi yang baik?" tanya Ara. "Terus mau kamu apa? Kamu mau saya bertanggung jawab menikahi jalang sepertimu? Itu mustahil!" "Saya tidak minta dinikahi kamu. Saya ke sini karena saya bingung harus bagaimana." "Kamu ke mari karena bingung, dan saya sudah kasih kamu solusi menggugurkan kandungan dan kamu tidak mau. Jadi mau kamu apa, hah!" Raka terlihat frustasi. Ia berteriak seperti orang kesetanan. Hal itu membuat Ara semakin takut. "Rupanya kamu juga bingung, kalau begitu biarkan saya pergi. Saya akan mengurus masalah ini sendiri." Raka tertawa mengejek, "Mengurus kamu bilang? Mau mengurus dengan cara apa? Gadis seperti kamu mana bisa mengurus masalah sebesar ini?" "Saya akan menemukan jawabannya nanti. Yang jelas bukan membunuh anak saya sendiri. Dia tidak bersalah." "Naif! Kamu hanya perlu gugurkan dan kembali di kehidupan kamu seperti semula. Apa susahnya?" "Dan menyesal seumur hidup karena sudah membunuh darah daging saya sendiri? Saya tidak mau hidup seperti itu," ujar Ara pelan. Ia mengusap lembut perutnya. "Kalau kamu tidak punya solusinya, kamu tidak perlu memikirkan hal lain lagi. Anggap saja kita tidak pernah bertemu. Saya akan anggap anak ini pemberian dari Tuhan untuk saya. Kamu suruh saya gugurkan kandungannya, kan? Anggap saja saya sudah menggugurkannya. Jadi urusan kita selesai sampai di sini," jelas Ara. "Lucu sekali. Lalu setelah anak itu lahir kamu akan memeras saya, kan? Kamu akan menghancurkan rumah tangga saya nantinya. Saya tidak sebodoh itu." "Berkali-kali saya bilang, saya tidak peduli dengan uang kamu. Kalau kamu tidak percaya, saya bisa menandatangani perjanjian atau semacamnya." "Itu ide bagus," balas Raka. Pintu dibanting dari luar. Seseorang membukanya secara kasar. Berdiri seorang wanita paruh baya yang merupakan ibu Raka. Diah Andreas. Dia berdiri seraya menatap tajam Raka dan seorang gadis yang masih menangis. "Mama," ujar Raka. - To be continued -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD