"Mama," ujar Raka.
"Apa yang dibicarakan perempuan ini, Raka?" tanya Diah-- mama Raka.
"Ah? Ka- kami tidak membicarakan hal penting. Mama kapan sampainya?" Raka berusaha untuk tidak gugup saat berbicara dengan mamanya.
Diah tersenyum sinis melihat tingkah Raka yang gagap dan menyembunyikan semua yang Diah dengar sejak tadi. Diah beralih menatap perempuan yang kini menunduk dalam seraya memainkan ujung bajunya. Mereka berdua sama sama gugup. Terlihat panik dan bingung harus bagaimana.
"Kamu bodoh, Raka!" sentak Diah.
"Ma, Raka bisa jelasin," ujar Raka pelan.
"Mau jelasin apa? Mau jelasin kebodohan kamu menghamili dia?" tanya Diah. Wanita paruh baya itu menelisik penampilan Ara dari atas sampai bawah. "Sejak kapan selera kamu berubah menjadi rendahan begini? Apa Fiona sudah tidak menarik lagi di mata kamu?" Diah tidak henti hentinya mengejek kebodohan apa yang dilakukan oleh Raka, putra tunggalnya.
Ara sendiri tidak tahu harus bagaimana. Ia ingin pergi, tapi ia tidak berani menyela wanita paruh baya yang Raka sebut mama itu. Apa yang harus Ara lakukan? Gadis itu tidak kuat lagi berada di antara mereka. Ara merasa terintimidasi. Ia seperti manusia buruk. Dihina, dinilai, dan direndahkan. SIapa yang mau mengandung anak Raka? Ara juga tidak mau. Di sini ia korban, tapi kenapa seolah pelaku yang merasa dirugikan?
"Raka akan gugurkan kandungan gadis ini, Ma," ujar Raka.
PLAK!!!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Raka. Tamparan itu berasal dari mamanya yang sudah marah semakin dibuat marah oleh pernyataan Raka barusan. Mengugurkan kandungan adalah sebuah kejahatan, dan Diah tidak pernah mengajarkan putranya untuk melakukan kejahatan itu. Sejujurnya Diah cukup malu dengan kalimat yang keluar dari mulut Raka itu.
"Gugurkan kamu bilang? Mama sama alm. papamu nggak pernah ajarin kamu buat jadi pembunuh ya, Raka!" sentak Diah.
"Terus apa yang harus Raka lakuin, Ma?"
"Tanggung jawab!"
"Dengan cara apa? Raka nggak mau harus nikah sama dia. Mama tahu Raka cintanya sama Fiona, kan? Mama juga suka sama Fiona. Emang Mama rela Raka nikah sama gadis menyedihkan ini?" tanya Raka. Ia berusaha menghasut mamanya untuk berada di pihaknya. Saat ini Raka bingung sekali. Tiba tiba semuanya menjadi sangat rumit.
"Kalau kamu sukanya sama Fiona, kenapa malah hamili perempuan lain? Harusnya kamu hamili aja Fiona, Raka! Sejak kapan kamu jadi sebodoh ini?"
"M- maaf," Ara memberanikan diri untuk menyela. Suara kecilnya berhasil membuat pasangan ibu dan anak itu kompak menoleh ke arahnya.
"Saya nggak mau nikah sama Pak Raka," ujar Ara pelan.
"Pak kamu bilang? Emang saya setua itu?" Raka justru salah fokus dengan cara Ara memanggilnya.
"Intinya saya nggak mau nikah sama kamu," cicit Ara.
Diah memijat pangkal hidungnya. Ia sangat pusing. "Mama nggak mau tahu, ya, Raka! Kamu harus menikah dengan gadis ini! Siapa nama kamu?" tanya Diah.
"A- Ara," balas Ara gugup.
"Ara, saya nggak mau tahu kamu mau atau tidak menikah dengan anak saya. Yang jelas kamu harus menikah dengan dia. Kamu sedang mengandung, dan sebelum kandungan itu membesar, kalian harus menikah secepatnya. Dan saya harap kamu hubungi orang tua kamu. Kita akan bicara tentang pernikahan kalian."
"Mama! Ini nggak adil buat Raka!" protes Raka.
"Sa... saya nggak bisa bilang orang tua saya kalau saya hamil di luar nikah. Mereka akan kecewa," ucap Ara.
"Lalu kenapa kamu bisa tidur dengan anak saya? Ini, kan, tujuan kamu hamil dengan anak saya? Kamu pasti goda dia?" tuduh Diah.
"Saya nggak pernah goda Pak Raka. Dia ...," Ara tersedak karena tenggorokannya yang tercekat. Gadis itu merasa sakit hati atas tuduhan yang terlontar untuknya. "Pak Raka yang paksa saya. Dia mabuk, dan saya nggak bisa pergi. Malam itu saya dipaksa," jelas Ara. Ia kembali menangis karena merasakan hatinya sangat sesak.
Diah hampir saja terjatuh kalau Raka tidak menangkap tubuhnya. Diah merasa shock berat dengan ungkapan Ara. Tandanya Raka memperkosa gadis itu. Dalam keadaan sadar atau tidak, yang jelas di sini putranya yang bersalah.
"Raka! Mama nggak mau tahu, kalian harus menikah. Kamu harus bertanggung jawab! Jangan bikin malu mama!" putus Diah final.
-000-
Di sinilah Ara berada sekarang. Di dalam mobil Raka. Mereka masih diam di tempat parkir. Raka tidak berhenti mengumpat dan membanting setir. Ara dibuat ketakutan tanpa henti. Sebelum pergi tadi, Diah menyuruh Raka untuk mengantar Ara, dan Raka tidak bisa menolaknya.
"Akh!" teriak Raka untuk ke sekian kalinya. Ia mengacak rambutnya frustasi.
"Saya turun aja, saya bisa pulang sendiri," ujar Ara pelan.
"Lalu menjadi pusat perhatian orang-orang di luar iya?!" sentak Raka.
Ara diam. Ia kembali menunduk dan memainkan jarinya. Ia takut sekali. Ia tidak mau menikah dengan Raka, ia takut karena Raka selalu saja marah marah. Bagaimana jika mereka menikah nanti? Ara tidak bisa membayangkannya.
"Kalau Pak Raka nggak mau menikah, ya nggak usah menikah, Pak."
"Maksud kamu, saya harus menanggung amarah mama saya, begitu? Dia bukan orang yang mudah dilawan," jelas Raka.
"Dari pada Pak Raka marah marah terus. Saya pergi nggak boleh."
"Salah kamu kenapa harus datang dan memperumit semuanya? Harusnya kamu minta uang kompensasi saja, Ara! Dan berulang kali saya bilang, jangan panggil saya dengan sebutan Pak! Kamu bukan karyawan saya. Kamu orang asing!"
"Kenapa kamu salahin saya terus?" tanya Ara. "Kamu yang salah masuk kamar, kamu yang mabuk, kamu yang paksa saya, tapi kenapa salahin saya terus?"
"Karena kamu tidak mau menggugurkan dia!" sentak Raka seraya menunjuk perut Ara.
Ara hendak membuka pintu mobil, namun terkunci. Rupanya Raka benar benar tidak ingin Ara keluar dari mobilnya.
Mereka terdiam cukup lama. Banyak yang Raka pikirkan. Ia juga mencuri pandang ke arah Ara yang menangis dalam diam. Gadis itu menunduk seraya memegangi perutnya. Raka memukul kepalanya sendiri, ia sadar ia yang salah di sini, itu kenapa ia susah menerima kenyaataannya.
"Kita akan tetap menikah," putus Raka.
"Saya nggak mau."
"Lalu mau kamu apa? Mau melahirkan dia tanpa seorang ayah? Mau dicap buruk karena hamil tanpa ayah? Iya?"
"Saya nggak mau menikah dengan laki laki yang terpaksa menikah dengan saya. Saya nggak mau merugikan siapa pun di sini. Saya, kan, sudah bilang, jangan pedulikan saya. Kamu bisa melupakan semuanya. Jadi jangan suruh saya gugurkan kandungan saya." Ara menghapus kasar air matanya, "Harusnya saya nggak ke sini, salah saya memberitahu kamu tentang kehamilan ini."
"Solusinya hanya dua, menikah atau gugurkan kandungannya. Kamu tidak mau menggugurkan kandungannya, itu tandanya kamu harus menikah dengan saya."
"Tapi kamu punya perempuan yang kamu suka," ucap Ara.
"Itu yang mau saya bicarakan." Raka duduk menyamping untuk menghadap Ara. "Kita menikah, tapi tidak perlu publik tahu. Terutama pacar saya. Karena dia sedang ada di Malaysia, kita bisa nikah diam diam untuk menuruti ucapan mama. Nggak ada yang boleh tahu kecuali orang tua saya dan kamu."
"Lagi, kamu harus berlagak kalau kamu bukan istri saya kalau ada teman teman saya terutama Fiona. Dia orang pertama yang harus kamu hindari. Sebagai gantinya, saya akan rahasiakan kehamilan kamu dari orang tua kamu. Jadi mereka nggak perlu sedih anak mereka hamil di luar nikah. Mereka nggak akan tahu." Jelas Raka panjang lebar.
"Jadi kamu mau menikah dengan saya?" tanya Ara.
"Setidaknya sampai anak itu lahir sebagai bentuk pertanggung jawaban. Tapi setelahnya, kita bisa bercerai. Hak asuh sepenuhnya ada di tangan kamu, saya tidak akan memperebutkan hak asuh untuk anak itu. Jadi setelah kita bercerai, saya bisa menikah dengan Fiona. Yang penting anak itu jelas statusnya di mata hukum. Saya juga tidak akan berhenti menafkahi kalian."
Ara tampak berpikir. Apa itu satu satunya solusi? Ara berpikir keras.
"Tidak perlu banyak berpikir. Sekarang ceritakan tentang kamu. Besok kita ke rumah orang tua kamu untuk membicarakan hal ini. Saya akan melamar kamu dan kita menikah secepatnya seperti apa yang diucapkan mama saya."
"Kamu harus bersikap baik, agar bapak ibuk saya setuju saya menikah dengan kamu," ujar Ara.
"Urusan itu serahkan kepada saya. Yang jelas kamu harus berjanji untuk merahasiakan pernikahan kita nanti. Tidak boleh ada yang tahu kita menikah. Paham?"
Ara mengangguk pelan.
"Bagus. Setidaknya itu solusi yang tepat. Saya hanya perlu menikahi kamu sebagai formalitas. Setelah itu kita bercerai."
Lagi, Ara mengangguk. Meski ia paham betul solusi itu sama sekali tidak menguntungkannya. Namun demi anaknya, ia harus melakukannya. Saat anaknya lahir nanti, ia harus punya orang tua lengkap. Setidaknya anaknya harus punya akta kelahiran yang jelas. Setelah itu, Ara akan pikirkan kedepannya.
- To be continued -