Chapt 8. Unfair Competition. Almost Beyond The Limits

1880 Words
“Aku?? Aku mau wanita itu mati,” jawabnya dengan nada bicara pelan, tanpa berbasa-basi. Glek! Deg!            Dr. dr. Dishi Ang Bei, pria berusia 54 tahun. Dia seorang pemimpin dari Laboratorium Klinik Abacheviro.            Selain memiliki kuasa penuh atas Laboratorium ini, dia adalah orang utama yang membiayai semua penelitian mereka dari awal sampai akhir. Sekaligus, dia juga yang membayar mereka dengan bayaran mahal demi mewujudkan keinginannya untuk menciptakan virus sekaligus vaksin yang sempurna.            Berapapun yang ia habiskan selama beberapa tahun terakhir, pada akhirnya sudah berbalik modal dengan keberhasilan mereka. Termasuk seluruh dunia yang membutuhkan vaksin yang mereka ciptakan hingga akhirnya uang semakin berlimpah kepada mereka sejak satu tahun terakhir.            Semua orang tertegun mendengar ucapannya barusan. Bagaimana mungkin pria itu berkata seperti itu sementara posisi mereka sama-sama seorang Ilmuwan. “Itu tidak mungkin, dr. Dishi!” Pria berusia 32 tahun itu langsung menyahut cepat.            Pria itu, dr. Fang Yin. Dia seorang Dokter Ahli Hewan sekaligus seorang Ilmuwan di Laboratorium Nasional Abacheviro ini. Sudah hampir 3 tahun dia bekerja disini. Tentu saja penelitian yang ia lakukan tidak sebanyak mereka yang sudah belasan tahun mengabdi dari pada dirinya.            Sahutan dr. Fang Yin membuat dr. Dishi menatap tajam ke arahnya. Sementara yang lain, yang melihat itu, salah satu dari mereka berani membuka suara. “Bukankah apa yang mereka cari sama seperti vaksin yang kita buat selama ini? Kenapa kau setamak itu, dr. Dishi! Aku tidak menyetujui dan menolak usulanmu itu!” ketus pria berusia 75 tahun disana menatap tajam dr. Dishi.            Dia adalah Prof. dr. Zhang Binjie. Pria itu akrab disapa Prof. Zhang Binjie, seorang Ilmuwan sekaligus Ahli Virologi di Laboratorium ini.            Prof. Zhang Binjie sudah lama sekali bekerja di Laboratorium ini. Jangan tanya bagaimana karirnya di bidang penelitian, itu tidak akan terhitung lagi.            Tidak hanya itu, bahkan virus yang tengah melanda dunia sekarang ini adalah berkat tangan uji cobanya. Tapi dia tidak seorang diri, sebab penelitiannya juga dibantu oleh beberapa rekan kerjanya yang lain.            Dr. Dishi menyeringai. Dia menatap semua rekan kerjanya satu persatu. “Bukankah sebaiknya kita fokus memperbaiki dan menguatkan virus baru? Kenapa kau sampai berpikir ke arah sana, dr. Dishi? Lebih baik bagi kita berdoa untuk keberhasilan kita. Siapa tahu kalau virus selanjutnya bisa menyerang laboratorium mereka,” ujar pria berusia 49 tahun. Pria itu bernama dr. Charles Tong Mu. Pria yang akrab disapa dr. Charles itu adalah seorang Ilmuwan sekaligus ahli Forensik. Dia tidak hanya bekerja di laboratorium ini, tetapi juga bekerja di bidang Forensik Kepolisian. Pekerjaannya di Laboratorium ini adalah yang utama, lalu sisanya hanya untuk melihat keadaan luar. Memantau dan memastikan jika tidak ada yang mencurigai rencana laboratorium atas asal muasal virus Monodna IV-98 yang selama ini mereka ciptakan dan telah menggemparkan dunia.            Sementara 2 orang yang lain, mereka hanya diam saja dan tidak berniat untuk membuka suara. Bukan karena mereka takut, tapi karena mereka sadar bahwa pembahasan ini akan sama seperti pembahasan sebelumnya dan tetap tidak menemukan ujung.            Malas untuk berlama-lama disana, dr. Fang Yin mengambil semua berkasnya dari meja itu, kemudian dia beranjak dari duduknya. “Silahkan jika kalian mau membahas ini. Aku permisi,” ujarnya berjalan keluar dari sana.            Prof. Zhang Binjie menatap dr. Fang Yin yang sepertinya sudah muak dengan topik pembahasan mereka. Dia hanya bisa diam melihatnya keluar dari ruangan ini.            Setelah mereka melihat kepergian dr. Fang Yin dari ruangan pribadi mereka itu, seorang wanita berusia 28 tahun mulai membuka suara. “Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang kau inginkan, dr. Dishi.” Deg!            Mereka semua melihat ke arah wanita bernama Yang Yimin. Dia akrab disapa Yimin. Profesinya di Laboratorium ini juga sebagai seorang Ilmuwan. Lebih tepatnya, dia adalah tangan kanan Prof. dr. Zhang Binjie. “Sejak 5 tahun lalu kita tidak pernah menghentikan penelitian ini dan mencari virus serta vaksin yang tepat. Tapi kenapa sekarang tujuan kita beralih dan semakin menyimpang,” sambung Yang Yimin lagi.            Prof. dr. Zhang Binjie dan dr. Charles Tong Mu terdiam mendengar ucapan Yang Yimin. “Bukankah itu sangat tidak adil?? Aku seorang Ilmuwan dan kalian juga. Kalau ingin bertanding, seharusnya kita bertanding dengan akal sehat. Bukan dengan cara yang bisa mengotori ilmu kita. Aku tidak setuju jika kau melakukan itu secara diam-diam, dr. Dishi.” Yang Yimin menatapnya tajam. Emosinya sudah memuncak, tapi dia masih bisa menetralkan nada bicaranya agar terdengar biasa saja.            Dr. dr. Dishi Ang Bei melepas pandangannya dari Yang Yimin. Dia berbalik badan, menghindari semua tatapan mereka ke arahnya. Tubuhnya mulai gelisah, dia mengusap kasar wajahnya.            Seorang pria berusia 29 tahun, dia juga ikut membuka suara. “Aku juga setuju dengan Yimin. Professor Zhang, coba kau pahami apa maksud kami. Mungkin … hanya kau yang bisa menjelaskan ini kepada dr. Dishi. Jangan sia-siakan apa yang kita lakukan selama ini hingga bercampur dengan tetes darah manusia yang tidak bersalah,” ujar Chyou Guan. Pria yang akrab disapa Guan, dan dia juga seorang Ilmuwan di Laboratorium ini. Penjelasan Chyou Guan memancing dr. Charles Tong Mu kembali membuka suara. “Aku tidak menyalahkan keinginan dr. Dishi. Tapi tidak seharusnya kalian membahas mengenai setetes darah kalau apa yang diakibatkan oleh virus buatan kita sudah membunuh ratusan juta nyawa yang tidak bersalah,” ujar dr. Charles dengan nada sepelan mungkin.            Kalimat itu membuat mereka tidak berkutik. Terutama Prof. dr. Zhang Binjie. Dia menurunkan pandangannya semakin ke bawah.            Rasanya ini tidak adil. Semua ini adalah perjalanan dari penelitiannya sendiri. Bahkan sebagian keluarganya, termasuk cucu tercintanya ikut terserang virus yang ia buat sendiri hingga mereka tidak tertolong dan akhirnya meninggal dunia.            Benar dugaannya, apa yang mereka lakukan tidak akan pernah membuahkan kepuasan sedikitpun. Apalagi pria bernama Dr. dr. Dishi Ang Bei itu tidak puas hanya karena mendengar berita mengenai Badan Kesehatan Dunia yang sangat sulit untuk menghentikan penelitian Ilmuwan asal Amerika itu.            Chyou Guan menghela napas kasar. Dia sangat membenci pembahasan ini. Sebab baginya, semua harus dituntaskan dengan cara bersaing sehat. Bukan dengam cara kotor seperti ini. “Aku menyerahkan semua keputusan di tanganmu, Professor Zhang. Aku tahu … apa yang kau putuskan, itu yang terbaik untuk tim kita.” Chyou beranjak dari duduknya, hendak berlalu dari sana. Namun, dia mengingat sesuatu yang membuat langkah kakinya terhenti. Dia kembali menatap mereka bergantian. “Sudah 5 tahun aku bekerja disini sejak aku masih menempuh proses pendidikan di Perguruan Tinggi. Apapun yang aku lakukan itu adalah sebagian dari ilmu dan pekerjaanku sebagai seorang Ilmuwan.” Glek!            Dr. dr. Dishi Ang Bei berbalik badan dan menatap Chyou Guan yang masih melanjutkan kalimatnya. “Tapi jika menyangkut hal ini … membunuh secara langsung, aku pikir itu sudah menyimpang dan tidak bersaing secara sehat lagi. Maaf … aku tidak ingin ikut campur kalau soal itu,” sambungnya kemudian mengangguk kecil untuk menghormati Prof. dr. Zhang Binjie. Dia kembali melanjutkan langkah kakinya keluar dari ruangan itu.            Yang Yimin ikut beranjak dari sana. Dia mengambil beberapa berkasnya. Lalu tanpa bicara sepatah katapun, dia keluar dari ruangan itu. “Yimin? Dengarkan dulu penjelasan kami. Kenapa kalian keluar begitu saja. Dr. Dishi tidak mungkin—” ucapan dr. Charles terhenti ketika Prof. Zhang Binjie menyuruhnya untuk diam saja.            Meski dr. Charles sudah menghentikan langkah kakinya, tapi Yang Yimin tidak mau menoleh lagi ke belakang dan tetap keluar dari sana. Karena telinganya sudah panas bila pembahasan mengenai hal itu terjadi lagi.            Bukan dia tidak menunjukkan sikap loyalitas terhadap timnya sendiri, tetapi Yang Yimin merasa bahwa apa yang menjadi pembahasan mereka memang sudah diluar batas. Lebih baik jika mereka bersaing sehat dari pada harus menumpahkan darah secara terang-terangan meskipun melalui jalur serangan diam-diam.            Prof. dr. Zhang Binjie menatap lekat Dr. dr. Dishi Ang Bei yang mulai menyusut duduk di kursi. “Kau lihat? Mereka bertiga tidak menyukai keras kepalamu itu, dr. Dishi. Seharusnya kau bisa mengendalikan emosinya ketika sedang bersama mereka,” ujar Prof. dr. Zhang Binjie.            dr. Charles Tong Mu mengangguk sepakat. “Professor Zhang benar, dr. Dishi. Kami sudah mengingatkanmu berulang kali untuk menahan emosi bila bersama mereka. Tapi kenapa kau selalu melewati batasan. Sekarang, kau lihat? Mereka akan semakin waspada untuk ke depannya. Jangan sampai mereka berpikir jika kita benar-benar akan melakukan itu, sedangkan mereka saja tidak menyukainya sejak awal.” Dia menatap mereka berdua bergantian.            Hening, Dr. dr. Dishi Ang Bei hanya diam saja. Dia mengusap wajah dengan kedua tangan telanjangnya. Entah apa yang harus ia lakukan, tapi dia pikir bahwa apa yang dikatakan mereka memang benar.            Selama ini dia sangat sulit mengontrol emosi. Apalagi kalau mendengar mengenai wanita asal Amerika yang saat ini tengah melakukan penelitian untuk virus Monodna IV-98 yang sudah mereka buat selama bertahun-tahun lamanya, rasanya dia ingin sekali mencekik leher wanita itu.            Prof. dr. Zhang Binjie meninggalkan meja diskusi mereka lalu berjalan menuju arah sana. “Pikirkan dengan baik apa yang ingin kau lakukan, dr. Dishi. Kalau keputusanmu sudah bulat, kau bisa melakukannya tanpa sepengetahuan kami. Biarkan kami bekerja sesuai dengan porsi kami. Agar kami bisa fokus pada satu tujuan saja,” ujar Prof. dr. Zhang Binjie.            Dia tertegun. Entah kenapa, semua niatnya patah begitu saja ketika menelaah kembali semua ucapan mereka. “Professor Zhang benar. Dan aku juga tidak ingin merusak citra serta karirku begitu saja hanya karena darah kotor yang mungkin saja akan berdampak buruk untuk tahun-tahun berikutnya,” ujar dr. Charles Tong Mu. Dia beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju toilet yang ada di ujung sana. Dr. dr. Dishi Ang Bei, dia hanya diam saja dan tidak bisa membuka suara lagi. Semua timnya telah bubar, termasuk Prof. dr. Zhang Binjie yang enggan untuk membahasnya lagi. “Haahhhh …” Helaian napas berat itu lagi-lagi mengisyaratkan bahwa dia sangat frustasi sekali. … Toilet.,            Sementara dr. Fang Yin, dia terus membasuh wajahnya dengan air kran yang masih mengalir deras di wastafel. Matanya menatap ke arah cermin, dadanya sudah bergemuruh.            Dia masih mengingat wajah itu. Air mata yang ia lihat melalui layar televisi. Degup jantungnya berdetak kencang ketika tahu bahwa air mata itu tumpah karena dia telah kehilangan hampir seluruh anggota keluarganya, terutama kedua orang tuanya.            Kedua tangannya membasuh kasar wajahnya. Tubuhnya tegak kembali, dia menjangkau tissue yang ada di sekitarnya.            Perasaan bersalah itu lagi-lagi muncul di benaknya. Dia tahu bahwa pekerjaannya adalah tanggung jawabnya.            Namun, di sisi lain dr. Fang Yin merasa jika pekerjaannya telah bersalah. Bukankah ini termasuk pembunuhan berencana? Tapi kenapa otak mereka seakan mengatakan kalau apa yang mereka lakukan selama ini adalah persaingan sehat. Apakah mereka telah dipengaruhi oleh hal buruk sehingga mereka tidak bisa membedakan dan tidak mengenal lagi apa itu baik dan buruk? ‘Zea? Zea Mays Coates?’ bathinnya memanggil nama yang sejak lama selalu ia ingat.            Satu nama itu sangat dibenci oleh Pemimpin Laboratorium mereka. Yah, Dr. dr. Dishi Ang Bei sangat membenci satu nama itu. Hal itu membuatnya sangat marah sekali.            Kenapa dr. Dishi harus marah sementara mereka sudah berfokus pada satu tujuan saja. Bukankah persaingan sehat bila dilakukan dengan cara aman? Lalu kenapa sampai ada topik pembicaraan mengenai pembunuhan secara langsung?            Dia sangat curiga dengan sikap biasa dr. Charles sekaligus respon Prof. Zhang yang sepertinya tidak terlalu menanggapi itu. ‘Pasti ada sesuatu,’ bathinnya sambil menghela napas berat.            Hati kecilnya kembali merasa bersalah untuk dunia ini. Lalu wajah itu kembali membuatnya sadar bahwa kehancuran kebahagiaannya juga atas campur tangannya.            Enggan untuk berlama-lama disana, dr. Fang Yin keluar dari toilet itu dan memilih untuk menenangkan diri di perpustakaan. Atau mungkin, melihat wajah cantiknya saja sudah cukup menenangkan hatinya yang saat ini sedang dilanda perasaan kecewa. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD