Chapter 14

988 Words
Tok! Aku menoleh ke arah balkon, itu... Itu seseorang, bukan? Aku menelan liurku sulit. Bayangan hitam terlihat di balkon, aku ingin memastikan itu seseorang atau bukan, tapi ... Aku terlalu takut untuk membuktikannya. Bayangan itu mulai bergerak. Sialnya aku lupa menghidupkan lampu kamarku dan langsung berbaring saja di kasur. Bayangan itu semakin samar tapi masih dapat terlihat. Badanku kaku seketika, aku takut hal seperti ini. Sial! Krekk! Pintu balkon terbuka perlahan, bayangan itu perlahan masuk. Aku ingin berteriak tapi sulit rasanya, seperti pita suaraku telah diambil paksa dan aku hanya bisa menunggu nyawaku direngut oleh bayangan itu Bayangan hitam itu memasuki kamarku! Ia masuk ke dalam kamarku! Oh sial, keringatku tidak berhenti keluar. Apa yang harus kulakukan, apa aku akan mati kedua kalinya? dalam sehari?! "BOO!" "Argh!!!" Bruk! Sialan! Aku terjatuh dari kasur dan punggungku sakit sekali karena mencium lantai kamarku dengan keras. "Hahahah," tawa itu seperti familiar. Aku mendongkakkan kepalaku dan menatap seseorang yang kini sedang tertawa seperti orang gila. JORDAN SIALAN! "Apa yang kau lakukan, Jordan?! Kau menakutiku, huh!" teriakku padanya yang masih tertawa. Jordan memegang perutnya seakan tidak bisa menahan tawanya. "Kau harus melihat ekpresimu tadi, Mika. Sungguh menggemaskan," ejeknya. Aku dengan cepat melemparkan bantal yang berada di atas kasur padanya, aku tidak membiarkannya mengelak atau membalas sekalipun. Saat sudah lelah, aku berhenti. Aku berbaring di atas kasur, lelah memukulinya. Sedangkan Jordan membuka pintu balkon lebar-lebar lalu ikut mengambil tempat di sampingku. Kami berbaring bersama, di satu kasur yang sama. Cahaya yang masuk karena pintu balkon terbuka lebar membuatku sedikit bisa melihat wajah Jordan. Dengan jarak wajah 10 cm dari wajahnya membuatku bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku. Ia tersenyum. Aku tidak pernah sesuka ini dengan sebuah senyuman, senyuman Jordan menjadi hal favoritku kini. "Pada saat bertemu, kau terlihat pria yang dingin, Jordan. Tapi, ternyata kau mudah tersenyum," terangku. Wajahku tidak lagi menghadapnya. "Aku tidak pernah sesering ini tersenyum, entah kenapa saat bertemu denganmu yang kuinginkan hanyalah tersenyum." "Eh?!" "Aku tidak tau kenapa hal ini terjadi tapi kurasa kita adalah takdir." Aku semakin tidak mengerti ucapan Jordan yang menurutku begitu ambigu. Aku menghadapkan wajahku padanya dan hidung kami hampir bersentuhan dan tatapannya mengunci mataku. Ini membuat jantungku berdegub kencang. Jujur, aku tidak pernah sedikit ini dengan pria manapun kecuali Jared dan Logan. Yang kurasakan saat ini ialah keintiman, tatapannya sangat dalam dan membuatku terlena olehnya. "Kau milikku, Mika. Itu sudah ditakdirkan," bisiknya lembut. Aku terdiam. Kata-katanya membuatku merasa ini adalah mimpi. "Bagaimana kau tahu jika itu benar?" tanyaku. Jordan tersenyum. Bisakah pria satu ini berhenti tersenyum? Ia dapat melelehkanku saat ini juga! "Kau akan tahu nanti," balasnya. Tok! Tok! "Mika, kau di dalam?" itu suara Jared. Aku menatap Jordan. "Kalau begitu aku harus pergi, mimpi indah Mika," ujar Jordan dan seketika ia menghilang dari balkon. Aku bangkit dari berbaringku dan berjalan lesu menuju pintu lalu membukanya. Jared menatapku tidak suka lalu langsung masuk ke kamarku tanpa kata-kata. Ia menghidupkan lampu kamar. Aku menyender di dinding sembari bersidekap dan menatapnya kesal. "Ada apa Jared?" tanyaku. "Aku mendengar suara pria, aku yakin itu," jawabnya dengan nada keras kepala yang selalu ia gunakan. Huft! Hampir saja ketahuan. Untung saja Jordan adalah vampir sehingga ia bisa menghilang secepatnya. "Kau gila, Jared. Mana kungkin seorang pria ada di kamarku." kilahku dan kembali berbaring di kasur. "Jangan membodohiku, Mika!" tegasnya. Aku hanya mengedikkan bahu lalu berkata, "Silahkan kau cari, jika kau temukan pria yang kau maksud, silahkan bangunkan aku," balasku dan bersikap tidak peduli. Dan saat itu juga Jared mencari ke seluruh kamar, aku menontonnya mencari-cari 'pria' yang sudah pergi dari kamarku. "Sudah ketemu?" sindirku dan ia hanya memberikanku tatapan masih tidak percayanya. "Dimana kau menyimpannya, Mika?" Aku menatapnya datar. "Apa maksudmu?" Ia mendekatiku dan masih mengulang pertanyaan yang sama. "Dimana?" tanyanya dan ia langsung loncat ke kasur dan menggelitikku. Kelemahanku adalah gelitikan Jared, karena jari-jarinya sangat lincah menggelitik perutku membuatku tidak berhenti tertawa. "Berhenti, Jared!" pintaku. "Jared, kumohon hentikan! Hahaha" Akhirnya Jared menghentikkan gelitikannya. Aku masih menetralkan tawaku yang tersisa. Jared bersandar di dinding dan aku mengikutinya. "Bagaimana sekolahmu? Menyenangkan?" tanya Jared, dan aku tahu ia menanyakan itu karena ia sangat peduli denganku. "Tentu saja Jared! Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, bahkan aku sudah mendapat teman," ujarku antusias yang dibalas Jared usapan di rambutku. "Aku bahagia jika kau bahagia, kau tahu itu bukan?" Aku mengangguk tersenyum. Aku paling tahu itu, Jared selalu menginginkan yang terbaik untukku. Aku memegang tangan Jared dan mengenggamnya. "Aku telah bahagia Jared, kini saatnya kau bahagia. Temukan pasanganmu, aku ingin melihatmu bahagia. Kau tidak usah memikirkan mom, aku dan, logan, kami baik-baik saja. Kau telah melakukan yang terbaik untuk kami dan kau pantas mendapatkan yang terbaik saat ini, carilah seseorang yangakan menemanimu dalam suka dan duka bahkan sampai rambut kalian menjadi abu-abu." "Terima kasih, Mika. Aku menyayangi kalian semua melebihi diriku sendiri, aku tidak bisa bernapas jika kalian menghilang atau kenapa-napa. Aku takut akan hal itu." kini Jared menunduk, aku tahu ia menahan air matanya jatuh atau sekedar menutupi air mata yang sudah tidak dapat terbendung lagi. Aku memeluk Jared erat. Jika saja Jared dan aku tidak akan dilahirkan sebagai saudara mungkin aku akan menikahi Jared. Dia adalah pria yang akan menjadi ayah dan suami yang terbaik bagi anak dan istrinya. Aku yakin itu. "Jared berhentilah memikirkan kami. Sekarang pikirkan dirimu sendiri, kau telah cukup menjadi figur ayah untukku, aku sangat menghargai apa yang kau lakukan tapi jika kau tidak menemukan kebahagianmu maka aku tidak bisa menjadi adik yang baik. Kumohon, jika kau ingin pergi silahkan, Kami tidak akan menahan. Aku tahu kau ingin ke New York tapi sungguh tidak mungkin untuk membawa kami semua. Tapi itu keinginanmu selama ini jadi kenapa tidak kau ikuti saja impianmu, lakukan hal yang kau mau dan pulang saat kau terluka. Kami akan menerimamu selamanya." "Ah, Mika. Kali ini aku mendengarmu berkata sebijak itu," sindir Jared yang kutahu itu ia katakan karena ia tidak biasa memujiku. "Aku menyayangimu Jared. Sangat menyangimu," ujarku. "Aku juga menyangimu," balasnya sembari mencium puncak kepalaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD