"Ini untukmu?" Jordan memakaikanku sebuah cincin dengan batu besar di tengahnya, sangat manis.
"Kau melamarku?" tanyaku.
Jordan tertawa, ia mengusap jemariku lalu menatap kedua bola mataku. "Jika bisa aku akan melamarmu sesegera mungkin tapi sayangnya, cincin ini bukanlah cincin yang bagus untuk melamarmu."
"Apa maksudmu?" tanyaku tidak mengerti, terlalu ambigu.
"Cincin ini berguna untuk melindungimu dari sinar matahari sehingga kau tidak akan terbakar dan taringmu tidak akan keluar tanpa keinginanmu. Artinya dengan cincin ini, rasa nafsu dari vampir itu akan terkontrol."
Aku menggeleng tidak percaya. "Aku tidak pernah mengetahui hal seperti itu. Kupikir itu mitos!"
Jordan mengedikkan bahunya lalu berkata, "Kenapa tidak kau coba?" tawarnya.
Aku mengangguk lalu berjalan perlahan ke arah sinar matahari yang terik. Dengan perlahan aku ulurkan tanganku hingga jemariku terpapar oleh sinar matahari dan tidak, tidak ada luka terbakar sedikit pun seolah aku masih manusia normal.
"Kau menyukainya?"
Aku terkejut saat menemukan Jordan sudah berada di sampingku.
"Aku sangat menyukainya,"
"Ada keuntungan yang bisa kau dapatkan dari menjadi vampir, Mika." ujarnya yang membuatku penasaran.
"Apa itu?"
Jordan berdiri di pembatas pagar balkonnya. "Lihat aku." ujarnya dan seperkian detik, ia menjatuhkan dirinya dari lantai ini yang mana tingginya 4 lantai.
Aku langsung melihat ke bawah dan tidak menemukan tubuh Jordan yang tergeletak di tanah yang kurasakan tiba-tiba leherku terasa ada hembusan.
"Aku disini,"
Aku tersentak, Jordan sudah berada di belakangku dengan senyuman mautnya. Ia tertawa melihat reaksiku.
"Bagaimana? Menarik bukan?" tanyanya dan aku mengangguk antusias.
"Aku masih berpikir ini hanyalah mimpi, Jordan."
"Sadarlah, kau akan tahu ini adalah hal nyata."
Aku tersenyum sembari menatap mentari yang kian terbenam. Berpikir ini hanyalah mimpi atau imajinasiku semata.
"Bagaimana dengan Mike?" tanyaku yang membuat Jordan sedikit tersentak.
"Aku hanya nemberikannya sedikit pelajaran," ujarnya diiringi sudut bibirnya yang terangkat.
Aku tersenyum. "Dia pantas mendapatkannya!"
"Tapi, kenapa semua orang membenciku?" kata-kata itu keluar begitu saja.
Jordan ikut bersandar di pagar pembatas balkon menikmati senjanya hari ini. Jordan dengan perlahan menyelimuti tanganku dengan jemari dinginnya.
"Mereka tidak membencimu, mereka hanya suka memperhatikanmu. Kau menganggap apa yang mereka lakukan adalah membenci padahal sebenarnya tidak."
Aku menggeleng. "Kau tidak tau apa yang mereka katakan padaku. Mereka mengungkapkan kata-lata kebencian padaku." entah kenapa, ingatan itu menbuatku merasa gemetar dan takut.
Senuah usapan mampir di kepalaku. Aku menatap Jordan yang kini tengah mengusap rambutku. Ia tersenyum menenangkan.
"Biarkan kata-kata itu menjadi pembangkit untukmu. Kau harus menerima kata-kata itu dengan begitu kau akan menjadi kuat. Menurutmu apa yang membuatmu bisa tahan setelah semua ini?"
Aku tertegun, Jordan benar. Karena terbiasa oleh kata-kata kebencian itu sekarang aku merasa tidak apa-apa dan tidak peduli dengan apa yang mereka katakan.
Aku tersenyum. Jordan memang tahu segala hal melebihiku.
"Aku terbiasa dan akhirnya tidak peduli dengan perkataan mereka. Terima kasih Jordan, kau memang penyelamat," ujarku tulus.
Jordan balas tersenyum. "Tidak perlu berterima kasih. Seharusnya kau mengatakan itu pada dirimu sendiri yang kuat oleh semua kebencian itu. Kau hanya harus bisa menghargai dirimu sendiri dan mengapresiasinya. Ini bukan narsistic atau terlalu overproud pada diri sendiri tapi ini cara menghargai diri sendiri dan melindunginya," jelas Jordan yang kusimak baik-baik.
"Kau benar. Aku tidak percaya pada diri sendiri dan berakhir begini. Aku salah."
Setelah itu hening. Kami sibuk menyaksikan matahari tenggelam dengan indahnya.
"Kau tidak apa pulang malam, Mika?"
"Huh?"
Ah! Pulang! Jared akan memarahiku jika aku terlambat pulang.
"Kau benar, aku harus pulang!"
Jordan terkekeh. "Biarkan aku mengantarmu," tawar Jordan yang kubalas anggukan.
Hanya butuh 15 menit agar sampai kerumahku dari rumah Jordan. Cukup dekat menurutku.
Aku hendak keluar dari mobil sebelum sebuah lintasan pemikiran datang di kepalaku. Aku menghentikan kegiatanku yang membuka pintu mobil lalu menatap Jordan.
"Jordan," panggilku.
"Ya,"
Aku mengernyit. "Mengapa kita memakai mobil jika kita bisa sampai di rumahku dalam waktu yang singkat?" tanyaku.
Jordan tertawa. Sudahkah kukatan jika ia tertawa wajah yang tadinya dingin dan datar tiba-tiba tertarik semua hingga menjadi pahatan yang sempurna.
JORDAN SANGAT TAMPAN JIKA TERTAWA!
"Bukankah aneh jika Jared yang berdiri di depan pintu itu melihat kita tiba-tiba berada di depannya?" ujar Jordan yang spontan membuatku menatap pintu rumahku dan menemukan Jared bersidekap d**a.
Aku mengangguk, masih menatap Jared. "Kau benar, lebih baik aku segera menghampirinya sebelum ia mengeluarkan tanduknya. Bye! Jordan!" pamitku.
"Bye! Mika!" balasnya dan aku memasuki perkarang rumah dengan tatapan Jared yang terus menusukku.
"Aku pulang!" teriakku padanya yang menatapku intens.
"Darimana saja dan siapa yang mengantarmu pulang barusan?" tanya Jared yang mulai mengintrogasi.
Aku memutar kedua bola mataku dan menyuruhnya menuju mobil untuk menyapa Jordan. Setelah itu aku masuk ke dalam rumah dan berlari ke kamar lalu beranjak melihat ke balkon.
Aku penasaran apa yang dibicarakan Jared dan Jordan. Aku menatap mereka hati-hati dan menemukan Jordan menatapku dengan smirknya membuatku berlari masuk ke dalam kamar.
Ia mengetahuiku memata-matai dirinya.
Akhirnya aku memilih membersihkan diriku dan bersiap untuk makan malam. Aku juga akan mengatakan pada Logan apa yang kualami tadi siang karema kekasih sialannya itu.
"Mika, ayo makan malam!" teriak Logan dari bawah.
Aku ke lantai bawah dan mengambil duduk disebelah Jared yang mana berhadapan langsung dengan Logan. Aku menatapnya kesal, ingin sekali memakinya habis-habisan.
"Ada apa?" tanyanya polos dan aku hanya menatapnya kesal sembari memakan makananku.
Saat setelah selesai makan, aku pergi ke kamarnya dan melemparkannya bantal dengan brutal. Logan menangkis semuanya dan menatapku bingung.
"Ada apa, Mika?" tanyanya.
"Gara-gara kau, aku ma-- aku hampir mati oleh Mike! Kau sialan!" sial! Hampir saja kukatakan.
Wajah Logan terlihat serius kini, "Apa yang ia lakukan padamu?" tanyanya dengan nada yang dingin.
"Ia mencekikku! Kau tau?! Dan untungnya Jordan menyelamatkanku, jika tidak aku pasti sudah mati di tangan pria sialan itu!" teriakku.
Wajah Logan langsung saja tertarik menjadi kaku, dirinya juga tiba-tiba terdiam tanpa menangkis pukulan brutalku lagi. Dan seperkian detik langsung berdiri lalu pergi meninggalkanku yang kini menatapnya kesal. Bisa-bisanya ia menghiraukanku!
Ck! Lebih baik aku kembali ke kamarku. Kamarku tudak jauh dari kamar Logan, sehingga aku dapat bertemu dengan kasur kesayanganku lebih cepat. ah aku merindukannya secepat ini, benar-benar membuatku ketergantungan.
Aku menjatuhkan diriku di atas kasur. Ini kenikmatan yang tidak dapat kulupakan!
Tok!
Aku menoleh ke arah balkon, itu... Itu seseorang, bukan?