I'm Ok, You're Not!

1500 Words
Hari ini aku memilih mengenakan dress batik berkerah Shanghai. Panjangnya sebatas lutut, membalut tubuhku dengan pas. Sambil menunggu pintu lift terbuka, mataku sibuk menatap pantulan diri di pintu besi itu, sementara telingaku mendengarkan suara Tiara, sahabatku, lewat sambungan telepon. Aku begitu senang mendengar kabar bahwa Tiara akan datang ke Bandung untuk urusan bisnis, sekaligus ingin menghabiskan akhir pekannya bersamaku di sini. Asyik berbincang dengan Tiara, aku tidak menyadari bahwa Kak Damar sudah berdiri di belakangku, sama-sama menunggu pintu lift terbuka. “Ehem.” Aku sontak menoleh. “Silakan, Pak,” ucapku buru-buru, begitu sadar akan keberadaannya. Aku mempersilakan dia masuk terlebih dahulu. “Tidak masuk?” tanyanya singkat. “I—iya, Pak.” Aku segera mengakhiri telepon dengan Tiara lalu melangkah masuk ke dalam kotak besi itu. Suasana tampak menegangkan, yang ada hanya keheningan. Ketika lift berhenti di lantai tiga tepat di mana ruanganku berada, aku keluar lebih dulu. “Saya harap ini kali terakhir saya melihat kamu memakai rok, dress atau sejenisnya ke kantor.” Aku refleks membalikkan badan setelah mendengar ucapan Kak Damar, lalu menunduk sekilas menatap ujung dress yang kupakai. Pintu lift kembali tertutup, meninggalkanku dalam kebingungan. Di sisi lain, Rita juga tampak sama bingungnya melihatku masih terpaku di depan lift. “Jingga! Ngapain melamun di situ?” kekehnya kemudian. “Ta.” Aku menyamakan langkahku padanya—masuk ke dalam ruangan. “Hm, kenapa?” Aku meminta pendapatnya tentang penampilanku hari ini, apa ada yang salah dengan pakaianku. Rita mendekat dan mencolek daguku setengah menggoda. “Nggak, kok. Cantik dan … seksi,” bisiknya mengedipkan sebelah matanya. Aku hanya memutar bola mata mendengar tanggapannya. Belum sempat menurunkan tubuh ke kursi, Dimas sudah lebih dulu mengingatkan agar aku segera bersiap. Kami akan berangkat menghadiri meeting dengan klien di luar kantor. “Aku tunggu di lobi, cepat!” “Dimas, tunggu,” pekikku tertahan, buru-buru menyusul Dimas. Aku termenung, masih memikirkan ucapan Kak Damar. Rasanya tidak ada yang salah dengan penampilanku. Aku terbiasa mengenakan blus atau kemeja dipadukan dengan rok span, atau sesekali dress, dan memang jarang memakai celana panjang. Aneh sekali, selama ini tak pernah ada yang menegurku secara khusus mengenai pakaian yang kukenakan. Menurut penilaianku sendiri, penampilanku masih dalam batas sopan. *** Sore harinya, aku berlari menghampiri Tiara dan langsung memeluknya erat. Sepertinya ia sudah cukup lama menungguku di lobi kantor. Terakhir kali kami bertemu adalah saat aku pulang ke Yogyakarta, beberapa bulan lalu. Kini kami sudah berada di dalam mobil. Tiara bercerita bahwa ia membawa beberapa titipan dari mamaku. Ah, senangnya mendengar itu. Aku pun segera memintanya membuat daftar kegiatan yang harus kami lakukan bersama selama dua hari ini. Sebelum pulang, aku mengajaknya mampir ke swalayan tak jauh dari apartemen. Baru kusadari stok di kulkas sudah menipis. “Ti, malam ini mau makan apa? Pesan online atau masak sendiri?” tanyaku sambil mendorong troli, mengitari rak-rak swalayan dan mengambil beberapa camilan serta minuman. “Masak, yuk. Rabokki,” jawab Tiara antusias. Ia meraih satu pax kemasan topokki dan aku langsung mengiyakan. Setelah itu, kami menambahkan sayuran, daging slice, dan keju ke dalam troli. Begitu dirasa cukup, kami menyudahi belanja kecil itu dan segera menuju kasir untuk membayar. Aku mengajak Tiara mampir sebentar ke food court. Ada sebuah stand makanan Korea yang menjual jajanan khas. Kami membeli kimchi dan odeng sebelum kembali ke parkiran. Namun, langkah kami terhenti begitu saja saat hendak memasuki mobil. Dari kejauhan, mataku menangkap sosok yang familiar—Kak Damar. Ia tampak menunduk dengan senyum lembut, perlahan menurunkan seorang anak kecil dari gendongannya. “Mama ….” Anak kecil itu tiba-tiba berlari ke arah wanita yang sedang membawa barang belanjaan dan Kak Damar dengan sigap mengambil barang belanjaan memasukkannya ke dalam mobilnya. “Kenapa lari, sih? Bahaya loh.” Wanita itu dengan hati-hati menggendong anak kecil itu melihat ke kiri dan kanan jalan. “Sudah semua, kita pulang?” Kak Damar mengelus kepala anak kecil itu lembut. “Let’s go!” sorak riang anak kecil bertopi itu. Pemandangan seperti apa ini, dadaku sesak menyaksikannya. Aku masih melihat hingga mobil yang dikendarai Kak Damar menghilang dari pandanganku. Kak Dinda, gumamku. “Jingga.” Tiara menyentuh lembut bahuku, aku menyeringai lalu merogoh tasku mengeluarkan kunci mobil. Sepanjang perjalanan aku tetap diam hanya fokus pada jalan di depan. Ketika mobil berhenti di lampu merah, aku melihat seorang pria yang menggendong anak kecil sedang menyeberangi jalan dan itu mengingatkanku pada kejadian yang baru saja terjadi di basement swalayan. Tiara dengan cepat menegurku saat suara klakson dari kendaraan lain terdengar bersahutan. Aku menyadari bahwa lampu lalu lintas telah berubah menjadi hijau dan gegas melanjutkan perjalanan. Setibanya di apartemen, Tiara langsung merebahkan tubuhnya di sofa, sementara aku masuk ke kamar untuk membersihkan diri. “Ti, nggak bersih-bersih dulu?” tanyaku dari balik pintu kamar. “Gantian!” Usai mandi, aku berjalan ke dapur, menyusun belanjaan tadi ke dalam kulkas, lalu mulai mengolah rabokki yang sudah kami rencanakan sebagai menu makan malam. Aroma bumbu pedas manisnya segera memenuhi ruangan. Beberapa menit kemudian, aku muncul di ruang tamu yang sekaligus jadi ruang nonton, membawa sepanci rabokki hangat. Tiara, yang sudah berganti baju dengan sigap membantuku menata peralatan makan di meja. Antusias sekali wajahnya, seolah sudah tak sabar mencicipi masakan itu. “Mau lanjut nonton drama kemarin, ah,” ucapku sambil meraih remote. Jari-jariku sibuk mencari judul drama yang kumaksud, sementara mulutku tak berhenti mengoceh menceritakan alurnya pada Tiara. Katanya, ia memang belum sempat menonton drama terbaru ini. “Jingga,” panggil Tiara pelan. Aku tidak langsung menjawab. Hanya meliriknya sekilas sambil menyeruput ramen buatanku. Rasanya pas sekali—gurih dan pedasnya seimbang. Enak. “Ada yang mau kamu ceritakan ke aku?” tanyanya kemudian. Nada suaranya datar, tapi tatapannya penuh arti. Aku sebenarnya paham betul maksud Tiara. Namun, sengaja kutahan diri untuk tidak langsung menanggapi. Sesekali mengisenginya memang menyenangkan. “Apa tuh?” “Yo mbuh.” Aku tak kuasa menahan tawa melihat ekspresi Tiara. Padahal, sebenarnya aku sendiri bingung harus mulai dari mana. Akhirnya, aku hanya menceritakan secuil hal tentang jabatan Kak Damar di perusahaan tempatku bekerja, juga sikapnya yang kini terasa dingin padaku. Sesingkat itu saja. Aku meminta Tiara untuk tidak menceritakan apa pun pada orang tuaku—aku belum siap. “Lalu, yang tadi?” tanya Tiara, mungkin maksudnya kejadian di basement swalayan, saat kami melihat Kak Damar bersama anak kecil itu. “Sejak awal di kantor memang sudah beredar kabar kalau direktur kami sudah menikah. Sepertinya kabar itu benar.” Aku melanjutkan melahap ramen, entah sudah berapa kali menambah. Rupanya aku benar-benar lapar. Tiara tiba-tiba meraih tanganku. Saat itu pula aku sadar ada genangan bening di kedua mataku. “Jingga,” ucapnya pelan. “I’m okay, Ti,” jawabku dengan tawa sumbang. Bisa-bisanya ada air mata di mataku. Ah, mungkin karena ramen ini pedas. Iya, pasti karena itu. “You’re not.” Suara Tiara begitu lembut. Dan seketika air mataku benar-benar pecah. “Pertama kali lihat Kak Damar tadi, rasanya aku pengen lari dan peluk dia. Serindu itu aku, Ti. Nggak tahu diri banget, ya.” Tiara tak banyak bicara, hanya mengelus pundakku lembut. “Sekarang hubungan kami hanya sebatas atasan dan bawahan. Baik di kantor maupun di luar. Cukup.” Aku menyeka jejak air mata di pipi. Sudah. Aku tidak mau lagi berlarut-larut. Patah hatiku seharusnya sudah selesai sejak lama. Bukankah sebelumnya aku sudah baik-baik saja? Lagi pula, mereka berdua masih orang yang sama dengan delapan tahun lalu. Harusnya aku tidak terkejut lagi. Suara bel membuatku mengernyit. Siapa yang datang malam begini? Saat kulihat melalui lubang intip, aku langsung menghela napas. Ah, ternyata si paling posesif. Habis aku kalau dia tahu mataku sembap. Aku melirik Tiara. Dia hanya mengulum senyum, seolah sudah tahu siapa yang ada di balik pintu. “Kamu menangis?” Dimas langsung bertanya tanpa basa-basi begitu pintu terbuka. Aku buru-buru kabur ke dapur, pura-pura sibuk mengambil minum. “Jingga!” serunya. “Wa’alaikumsalam,” sahut Tiara, mengingatkan. “Assalamu’alaikum, kenapa dia?” tanya Dimas penasaran. Ia sudah duduk di samping Tiara, sesekali melirik ke arahku di dapur. Aku tahu, dia tidak akan berhenti bertanya sebelum mendapat jawaban. “Wa’alaikumsalam,” jawabku dan Tiara hampir bersamaan. Aku kembali membawa segelas jus jeruk dan meletakkannya di hadapan Dimas. Itu caraku meredam omelannya—melayani lebih dulu sebelum dia sempat naik pitam. Sejujurnya, kalau saja tidak ada Tiara, mungkin aku sudah memilih masuk kamar dan tidur untuk menyembunyikan mata sembabku ini. Dimas menatapku lekat. “Kalau kamu diam begini, aku tahu alasannya. Kamu terlalu berharga untuk menangisinya, Jingga. Kamu harus berdamai dengan masa lalu. Life must go on.” Ucapannya tegas, lalu ia meraihku dalam dekapannya. Syukurlah, sajenku berhasil. Dia tidak mencak-mencak seperti dulu ketika tahu aku menangisi mantan. Padahal aku sudah baik-baik saja… sebelum kembali bertemu dengannya. “Jadi, apa agenda kita besok, Ga?” tanya Tiara, memecah suasana saat aku melepas pelukan Dimas. Benar juga, kami sudah menulis daftar kegiatan weekend ini sebelum ia kembali ke Yogyakarta. “Batalin saja agenda kalian. Besok temani aku,” sela Dimas tiba-tiba. Aku dan Tiara saling berpandangan. "Eh? Mau ke mana?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD